Jeihan Sukmantoro dan Remy Silado, dua sastrawan yang telah memelopori puisi Mbeling. Puisi yang dikenal dengan puisi nakal itu mengacau, mendobrak dunia kepenyairan yang selalu berpesan. Dengan lambang dan kata, puisi Mbeling yang mereka bentuk memiliki wajah atas protes ekspresi sastra angkatan tua seperti Chairil Anwar dkk. Sudah empat puluh tahun sejak lahirnya puisi Mbeling dan kini terangkum dalam sebuah buku hasil interpretasi Jakob Sumardjo atas puisi Mbeling Jeihan dalam bedah buku “Bukuku-Kubuku, Sajak Filsafat”.
Puisi Mbeling itu bergema sesaat sebelum acara dimulai. Hadirin terlihat antusias dengan tepukan tangan mereka meramaikan Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (25/10). Bedah buku yang digelar oleh majelis sastra bandung seakan tidak biasa. Topik kali ini adalah puisi Mbeling yang masih asing bagi mereka-mereka yang tidak berkecimpung di ranah sastra. Dengan sofa panjang yang terbentang dan sebuah meja berlapis kaca menjadi tempat para pembicara memadukan ilmu mereka mengenai puisi Mbeling.
Nama-nama pembicara yang menghadiri bedah buku ini sebagian besar berasal dari kalangan sastrawan dan menghadirkan seorang budayawan. Soni Farid Maulana yang juga seorang penyair menjadi moderator acara ini. Kemudian datang, salah satu pelopor puisi Mbeling Jeihan Sukmantoro dengan langkah kaki yang pendek. Meskipun tidak dalam situasi berduka, Jeihan terlihat memakai busana berwarna hitam dari ujung kepala hingga ujung rambutnya. Kopiah dan kacamata dengan lensa bundarnya masih lekat menutupi rambutnya yang mulai memutih dan matanya yang mulai tak awas. Kemudian hadirin terdiam ketika sambutan dibuka oleh moderator. Kini, puisi Mbeling sahut-sahutan di mulut para pembicara.
Puisi Mbeling adalah puisi yang unik. Hal tersebut disampaikan oleh penyair dari Tasik, Acep Zamzam Noor yang duduk paling kiri dari penglihatan para hadirin. Mendengar dari namanya, kata Mbeling berasal dari bahasa jawa yang artinya “nakal”. Usut punya usut, nama Mbeling bukanlah nama yang diciptakan orang bagi puisi ini melainkan nama yang diusung oleh pembuat puisi Mbeling. “Puisi ini berasal dari kaum muda dan untuk kaum muda”, begitulah Hawe Setiawan yang juga seorang budayawan memaparkan soal sejarah puisi Mbeling. Hawe mengetahui puisi Mbeling pada zaman pembentukannya dibuat oleh kaum muda yang berasal dari ekonomi menengah ke atas dan termasuk pula dari golongan terdidik.
Acep Zamzam Noor dan Hikmat Gumelar kemudian saling mengisi kekosongan mengenai nilai filosofis dalam puisi Mbeling yang mereka singkirkan dari sejarahnya. Acep dengan lantang mengatakan puisi karya Jeihan memiliki nilai filosofis meskipun dalam hal penulisannya memakai bahasa yang aneh. Jeihan pun ikut bicara. Dengan pelan tapi pasti ia meminta mic yang tengah dipegang oleh moderator. Jeihan langsung tanpa ancang-ancang berbicara mengenai penyair dan filsafat. Menjadi seorang penyair adalah satu fase untuk menjadi pemikir. Hal itu sangat berkaitan dengan pesan-pesan yang terdapat dalam puisi Mbeling karya Jeihan. Acep kemudian mengambil alih diskusi kembali dan sependapat dengan jeihan.
Acep memiliki pengalaman mengenai sajak dan filsafat yang juga tertulis dalam buku yang sedang dikupas pada siang itu. Acep dikejutkan dengan serangkaian kejadian aneh yang menimpa seorang anak muda akibat mengonsumsi makna sajak hingga ke akarnya. Acep berkelakar sehingga membuat bibir hadirin serta pembicara termasuk Jeihan melebar dan membuat gaduh seisi ruangan. Jelas saja, cerita mengenai seorang pemuda tersebut akibat efek samping dari sajak yang diutarakan oleh Acep. Korslet adalah istilah yang sering dipakai untuk gangguan arus pendek dalam dunia PLN, namun di dalam ruangan itu kata tersebut menjurus kepada kerusakan otak.
Acep yang memegang kendali tersebut tanpa gangguan terus melanjutkan kelakarnya yang berisi informasi. “Sudah saya bilang untuk menjadi penyair itu tak perlu belajar filsafat”. Rupanya ada seorang pemuda berusia sekitar 17 hingga 20 tahun yang mempelajari dunia kepenyairan. Semua terdiam dan dengan muka penasaran, hadirin dan pembicara menunggu kelanjutan cerita dari Acep. Acep bercerita jika anak muda itu kini menjadi gila lantaran terlalu dalam mempelajari filosofi dibalik tiap sajak. Anak muda tersebut sengaja masuk jurusan filsafat hanya untuk menjadi penyair. “Filsafat sebenarnya tidak perlu dipelajari oleh seorang penyair karena dengan sendirinya ia akan menjadi pemikir” seru acep yang sembari tertawa dan menghibur 30 hadirin yang datang.
Jeihan kemudian menambahkan komentar acep perihal penyair dan filsafat. Menurutnya seorang penyair adalah seorang yang kreatif sedangkan seorang filsuf itu adalah seorang yang cerdas. “Namun penyair bisa menjadi orang yang kreatif dan cerdas”, begitulah argumen Jeihan menyoal kepenyairan. Dan seorang filosofis itu nantinya menjadi dosen menurut Acep yang dibarengi dengan tawaan seluruh hadirin dan pembicara. Hawe dan Hikmat tidak terlalu bersuara kala topik mulai didominasi oleh acep dan jeihan. Mereka berdua duduk manis dan sesekali menyantap kue yang telah tersedia.
Puisi mbeling juga bisa dijadikan alat kritik sosial seperti yang tertulis dengan rapih dalam makalah yang disusun oleh hawe. Pada masanya, puisi mbeling kerap kali dijadikan alat menentang kebijakan orde baru yang membuat kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Hawe berupaya mengabarkan bahwa puisi mbeling memang merupakan puisi yang nakal namun patuh pada aturan. Sempat terlintas dalam pikiran hawe, puisi mbeling adalah langkah paling aman yang bisa dilakukan oleh pemuda untuk mengritik kebijakan orde baru tanpa kena ciduk. Jarang ada yang bisa menafsirkan puisi mbeling karena bentuknya yang aneh. Dan jeihan adalah pelopor kaum mbeling itu.
Jeihan kembali berbicara dan kali ini ia membacakan sebuah puisi yang baru saja dibuatnya pada acara ini. Puisi Mbeling yang berjudul sabun. “Sabun, istri kepada suami, cuci pake sabun, jangan lama-lama”. Jeihan tertawa sambil melemparkan pertanyaan kepada seluruh hadirin, “silahkan tafsir puisi tersebut menurut anda sekalian”. Dengan dibacanya puisi tersebut oleh Jeihan dan jarum jam bergerak membentuk 90 derajat ke arah angka 3 menandakan berakhirnya acara bedah buku ini.
Puisi Mbeling adalah puisi yang sengaja dibuat sebagai kritik sastra yang ekspresif. Puisi ini tak kenal gaya penulisan yang baku namun memiliki pesan-pesan di tiap baitnya. Dan untuk menjadi penyair, tidak perlu mempelajari pesan itu sampai belajar ke lain hal. Jeihan masih menginformasikan jika puisi Mbeling atau jenis puisi apapun bisa menjadi alat kritik sosial karena didominasi oleh kaum muda yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungannya. “Anak muda itu yang penting tertib berbahasa, tertib berpikir, dan tertib bertindak”, kalimat terakhir Jeihan bagi para pemuda yang menjadi generasi penerus bangsa ini.
Anak-anak adalah generasi penerus di masa depan. Namun, banyak dari mereka yang serba kekurangan dalam menjalani hidupnya menuju dewasa. Ditambah, bangunan-bangunan menjulang tinggi ke langit dengan tembok angkuh kian membatasi ruang gerak anak-anak dalam meluapkan emosinya. Seorang laki-laki bernama Phaerly Maviec Musadi Ratulangie atau yang akrab dengan sapaan Pei merasa terpanggil untuk menampung anak-anak dalam mengembangkan bakat serta menjaga eksistensi komunikasi antara orang tua dan anak. Pei selanjutnya membuat taman bermain yang diberi nama “Neverlands” di jalan Baranang Siang Kota Bandung yang masih satu pekarangan dengan kantor produksi clothing United Moron, Distribute dan Parental Advisory Baby Clothing. Dengan luas beberapa meter persegi dilengkapi arena skateboard mini, Pei mencoba untuk menampung aspirasi anak-anak dalam meluangkan waktunya untuk bermain.
Pei memang bukan orang ternama di Indonesia, namun rasa sosial dan rasa belajar dari pengalaman membuatnya patut untuk ikut campur baik secara moral maupun fisik demi masa depan anak-anak yang lebih baik. Pei memiliki pengalaman sewaktu ia kecil sehingga melatarbelakangi terbentuknya Neverlands. Dan semuanya berawal dari kisah masa kecil yang memicu dendam kepada sang ayah.
Sewaktu kecil, Pei berada dalam lingkungan keluarga yang berkecimpung di dalam militer. Kekerasan untuk Pei bukan lagi hal yang menghebohkan di sebuah keluarga. Sikap kasar kerap kali diterima Pei dari ayahnya mulai dari tamparan hingga pukulan-pukulan kepalan tangan yang bersarang ke wajahnya. “Apabila sepulang sekolah saya tidak mengangkat telepon lebih dari dua kali deringan, maka saya pasti disiksa oleh ayah saya”, ucap Pei yang mengenang masa lalunya yang tidak mengenakkan. Hingga kini, rasa dendamnya itu tidak luntur dalam ingatannya.
Pernah suatu ketika, Pei bersama kakaknya dibawa kabur oleh ibunya untuk menghindari sang ayah. Pei juga pernah tinggal di Jerman ketika ia dibawa oleh ayahnya yang terlebih dulu memutuskan mahligai rumah tangganya dengan sang ibu. Di Jerman, ia kembali mendapat perlakuan kasar dan beberapa kali disiksa oleh ibu tirinya. Perlakuan kasar itu ia terima hanya karena wajah Pei sangat mirip dengan wajah sang ayah. Hal itu ternyata dampak dari kekerasan rumah tangga yang sebelumnya dilakukan oleh sang ayah.
Kini, usia Pei sudah menginjak umur 33 tahun. Ia memang belum bisa melupakan kekerasan ayahnya namun ia mendapatkan pelajaran berharga dari sang ayah. “Dengan perlakuan kasar ayah, saat ini saya bisa sukses. Akan saya buktikan jika tanpa kekerasan pun, masa depan anak-anak pasti bakal lebih sukses daripada saya.”
Dari pengalaman tersebut, pada tahun 2006 Pei mengampanyekan hubungan orang tua kepada anak yang diberi nama “Never Grow Up Champagne”. Disini, Pei mengajak kepada orang tua untuk tetap memiliki jiwa kekanak-kanakan atau dengan sebutan stay young. “Masalah yang paling mendasar antara orang tua dan anak-anak adalah komunikasi”, seru Pei yang mencoba memberitahu kepada para orang tua mengenai komunikasi kepada anak. Semakin Pei menjadi dewasa, ia semakin yakin bahwa dirinya yang mesti disalahkan. Sebagai orang tua, ia terkadang memaksakan anaknya untuk menjadi dewasa.
Pei selaku orang tua mencoba untuk menyampaikan pesan ini kepada orang tua lainnya untuk tidak menuntut anak-anak mereka menjadi dewasa sebelum waktunya. Biarkanlah anak-anak tetap menjadi anak-anak dan jika sudah waktunya cepat atau lambat mereka pasti jadi dewasa. “Kepada orang tua, janganlah sok dewasa”, lanjut Pei dengan sigap. Dalam kampanye ini, ia menitikberatkan kepada orang tua atau orang dewasa untuk bermain bersama anak-anak, meluangkan waktunya demi kesenangan anak-anak. Kampanye bermain bagi anak-anak yang dibentuknya tidak lengkap tanpa ada fasilitas bermain. Pei akhirnya membuat Neverlands sebagai hasil dari kampanyenya tersebut.
Di Neverlands, tidak hanya skateboard yang menjadi arena bermain melainkan komputer, kamera, sepeda serta alat-alat sablon pun disediakan oleh Pei. Ia senang melihat anak-anak tumbuh dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Selain menyediakan tempat bermain, Pei memantau langsung perkembangan anak-anak di Neverlands.
Selain kebaikannya membuka lahan bermain untuk anak-anak, Pei memberlakukan tiga aturan utama yang harus dijalani oleh setiap anak. Tiga aturan utama yang dibuat Pei adalah jaga kebersihan, jaga antrean, dan jangan bicara anjing. Meskipun berada di daerah pemukiman yang padat dan di sekitaran gedung-gedung tinggi, Pei memberi tahu pentingnya untuk menjaga kebersihan lingkungan. Selain itu, anak-anak yang ingin bermain di Neverlands harus menjaga antrean. Dengan lokasi yang sempit, anak-anak harus bersabar menunggu giliran untuk bermain entah bermain skateboard, sepeda, komputer dan alat-alat yang lain.
Peraturan ketiga yang paling ditekankan oleh Pei kepada anak-anak adalah untuk tidak bicara anjing. Anjing dianggap sebagai imbuhan walaupun secara bunyi merupakan hinaan. Setiap anak yang berbicara anjing akan diberlakukan hukuman yaitu dengan push up sebanyak tiga kali. Dengan peraturan itu, Pei mencoba untuk menghilangkan kebiasaan buruk yang melekat di mulut anak-anak khususnya mereka yang tinggal di Bandung.
Mengubah kebudayaan yang telah mengakar sangatlah sulit namun tidak demikian dengan Pei. Dengan peraturan jangan bicara anjing ia mencoba menghilangkan budaya kasar tersebut. “Untuk mengubah suatu budaya salah satu caranya dengan membuat budaya yang baru”. Untuk menjadi nakal, seseorang tidak perlu mengikuti perbuatan buruknya. Pei memang mengaku anak metal namun ia juga tidak mengonsumsi rokok dan alkohol atau yang biasa disebut straight edge. “Mungkin itulah yang menjadikan anak-anak enggan untuk merokok dan minum-minum karena melihat saya”.
Pei menginginkan anak-anak tumbuh seperti apa adanya anak-anak. Jika di antara mereka ada yang nakal, ia berharap kenakalan mereka haruslah keren. Keren dalam arti mengesampingkan sifat-sifat buruk dan beralih kepada sifat-sifat yang berkesan di mata orang lain. “Selagi mereka masih anak-anak, kita harus mengarahkannya ke cara hidup yang baik dan hal itu tidak susah seperti menasehati remaja.”
Sosok Pei menjadi inspirasi bagi anak-anak yang bermain di Neverlands. Salah satunya adalah Rifki yang biasa dipanggil Iki. Iki mengaku selalu diajarkan oleh Pei bagaimana nakal yang keren. Ia juga menganggap Pei sebagai salah satu sahabat. Ia menganggap Pei sebagai seseorang yang dapat dipercaya karena bisa menjadi pendengar yang baik.
Banyak yang tidak terlalu tanggap tentang eksistensi dari taman bermain Neverlands ini. Masyarakat sekitar Neverlands hanya sebatas mengetahui jika tempat itu memang tempat bermain tanpa tahu alasan mengapa tempat itu berdiri. Oba, salah satu bocah yang biasa bermain di Neverlands juga mengaku bahwa orang tuanya tidak pernah menanyakan rutinitasnya bermain disitu. Menurut orang tuanya, Neverlands hanya taman bermain biasa seperti taman kanak-kanak. Meskipun dilengkapi dengan fasilitas yang bisa dibilang berbeda dari TK, Neverlands tidak terlalu mendapatkan perhatian dari orang tua sang anak.
Meskipun begitu, Pei tetap menjalan misinya tersebut. Ia tetap menyuarakan misinya kepada seluruh orang tua agar tidak harus berlaku seperti orang dewasa. Pei memosisikan dirinya sebagai orang yang lebih tua daripada anak-anak yang bermain di Neverlands dan mencoba menghargai apa yang dilakukan oleh mereka. Pei bisa dikatakan sebagai orang yang bermuka dua. Meskipun ia tidak menyukai apa yang anak-anak inginkan, namun ia mencoba untuk menghargai dan mencoba untuk memahami pikiran mereka. Dengan begitu, misi Pei untuk menjaga rasa kekanak-kanakan pada orang dewasa atau orang tua bisa tercapai dalam kampanye Never Grow Up, dalam taman bermain Neverlands.
***
Bisnis: Memulai Dari Roda Yang Paling Bawah
“Orang nakal juga bisa sukses”, begitulah ucapan Pei mengenai kisah hidupnya yang saat ini menjadi seorang enterpreneur. Ia mengalami begitu banyak halang rintang dalam meniti usahanya. Usaha yang ia jalani beragam dimulai dari bisnis clothing, retail hingga sablon. Dan untuk menjalani usahanya tersebut, kisah Pei dimulai dari titik nol.
Perjalanan karir Pei di dunia bisnis masih berhubungan dengan masa kecilnya. Setelah beberapa saat menetap dengan keluarga tirinya di Jerman, akhirnya Pei kembali ke Indonesia dan tinggal satu atap dengan neneknya. Ternyata, nenek Pei membuka usaha konveksi rumahan. Dari situ, ia belajar banyak mengenai teknik-teknik produksi konveksi hingga pemasarannya.
Selama tinggal di rumah neneknya, Pei cenderung berkumpul bersama pegawai-pegawai di belakang atau di tempat mereka memroduksi konveksi daripada menonton acara televisi bersama keluarganya. Hal itulah yang membuat Pei bisa mandiri dalam mengerjakan bisnisnya bersama sang istri, Ashya. Bersama sang istri, Pei membagi perjalanan bisnisnya kepada sang istri tanpa dukungan dari orang tua mereka masing-masing.
Bisnis pertama yang digeluti oleh Pei dan istri adalah usaha clothing. Sekitar tahun 2001, usaha distro di Bandung cukup minim dan hal ini merupakan peluang bagi dirinya untuk menjajal bisnis tersebut. Bisnis yang ia jalani waktu itu hanya bermodal 125 ribu rupiah. Dengan uang segitu, ia hanya memroduksi kaos metal yang sedang tren di kalangan anak muda jaman itu. Latar belakang Pei yang gemar dengan aliran musik kultur Barat itu membuatnya mampu membaca pasar. Akhirnya untuk menguatkan usaha clothing yang ia bangun tersebut, ia meminjam sejumlah uang di bank sebesar lima juta rupiah.
Dari hutang tersebut, Pei bersama istrinya hidup secara sederhana. Cicilan hutang sebesar lima juta rupiah harus diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun selama tahun 2001. Tak pelak, Pei dan istrinya sering kali menyantap makanan sepiring berdua. Saat hutang mereka telah lunas, mereka bisa bernapas lega dan bisa menyantap makanan dengan piring yang terpisah.
Ashya pun dengan sabar menemani Pei dalam merintis usahanya. “Saya yakin dengan keteguhan hatinya, oleh karena itu saya terus menemaninya hingga saat ini,” ucap Ashya yang menilai tekad suaminya dalam menjalani dunia bisnis. Ia pun tidak sungkan untuk makan sepiring berdua di masa-masa awal pembangunan usaha Pei. Ia mengaku hal itulah yang menjadikan hidupnya berwarna dalam mengarungi mahligai rumah tangga dengan Pei.
Usaha yang dijajal oleh Pei bersama Ashya kemudian mulai melebarkan sayap ke arah sablon dan retail pada tahun 2004. Usaha inilah yang membuat Pei menjadi salah satu produsen sablon berkualitas di Bandung. Konsumen yang mendatanginya berdatangan dari berbagai lapisan seperti rumah distro 347, Bikers Brotherhood, Tommy Soeharto dan lain-lain. Keuntungan yang ia dapat lebih besar ia dapatkan dari bisnis retail dibandingkan sablon. Keuntungan yang ia dapatkan melalui bisnis retail mencapai 30 hingga 50 juta dibandingkan dengan bisnis sablon yang hanya beberapa persen dari harga yang ditawarkan. Pada tahun 2007, Pei membuka usaha clothing kembali dengan nama Parental Advisory Baby Clothing.
Pei juga seorang enterpreneur yang membuka rumah plastisol (elemen pembuat screen printing) pertama di Indonesia. “Saya adalah orang pertama di Indonesia yang membuat sablon plastisol dengan mesin yang saya buat sendiri”, seru Pei yang bangga menjadi putra Indonesia. Ia pernah dicibir oleh beberapa orang asing karena dianggap primitif. “Saya ini bukan primitif tapi mencoba berbeda dari yang lain”, kembali Pei mengatakan dengan muka berseri karena mampu menyaingi usaha konveksi garment.
Kesuksesan kini ia telah ia raih dengan segala usahanya. Satu hal yang membuat Pei sukses adalah hutang. “Sebenarnya hutang dalam bisnis itu mendidik agar kita menjadi disiplin dan dapat menjaga kepercayaan.” Selain hutang, satu lagi yang ia masih kedepankan adalah omongan atau janji. Pei sadar betul bahwa omongan yang konsisten bisa menjaga kepercayaan pelanggan. “Arti dari sebuah kata adalah yang paling penting dari dunia bisnis”, tegas Pei yang selalu mengutamakan kata-kata sebagai pegangan.
Ia tidak pernah menjanjikan akan membuat produk yang berkualitas jika memang Pei tidak bisa melakukannya. Kejujuran dalam omongan adalah kunci utama dalam dunia bisnis. Modal bukanlah hal yang terpenting bagi Pei. Dengan omongan atau janji yang konsisten bakal membuat seseorang memiliki karakter. Hebatnya, Pei memegang teguh karakter yang ia miliki hingga saat ini. “Karakter itu bisa menghasilkan modal dan tidak sebaliknya”, ucap Pei yang membangun bisnis dengan modal yang tidak banyak.
Semangat Punk juga menjadi salah satu pegangan bagi laki-laki ini. Baginya, semangat Punk itu adalah memilih hidup sulit namun memiliki kebebasan. “Punk itu ada di hati, Punk itu adalah ketika saya memilih hidup yang susah tapi masih bisa menggenggam kebebasan yang absolut, dan bisnis bukanlah hal yang ringan,” tegas Pei yang menganggap dirinya tidak cengeng dalam menjalani pilihan hidup. Ia juga menggambarkan semangat Punk tersebut ke dalam kehidupan yang bukan sekedar lewat, bukan sekedar bekerja lalu menerima gaji.
Ternyata, laki-laki yang pernah berkuliah di NHI dan Unpad ini tidak dengan kepala kosong dalam membangun usahanya. Ia juga menerapkan metode 5M dalam membangun fondasi usahanya. Metode 5M itu terdiri dari Man, Method, Machine, Money, dan Material. Pei menekankan bahwa dalam pengembangan usahanya, ia tidak terlalu mementingkan unsur money atau uang. Baginya, tanpa uang pun usahanya masih bisa berkembang.
Pei mengaku kalau dia adalah anak yang nakal semasa remaja. Namun berkat kenalakan, ia mendapatkan banyak teman dan networking. Kelebihan menjadi anak yang nakal ternyata membantunya dalam mengembangkan usahanya. Kini, yang terpenting dari usahanya adalah ia bisa berderma dalam menyalurkan jiwa sosialnya kepada anak-anak dan mampu menghidupi beberapa kepala yang bekerja kepadanya. “Sukses dan bahagia itu relatif, yang terpenting bagi saya adalah bisa menghidupi orang lain dari bisnis saya ini,” ucap Pei memaknai arti kesuksesan dari usaha yang telah ia bangun sejak 2001.
Pei meyakini bahwa takdir tidak selamanya buruk bagi seseorang apalagi dengan kondisi kehidupannya yang berbeda dari orang lain. Berangkat dari filosofi tersebut, Pei mencoba merintis usahanya tersebut dari roda yang paling bawah. Akhir yang bahagia ketika kita melihat kehidupan Pei yang berkutat dalam dunia bisnis. “Saya memulai bisnis dari roda yang paling bawah dan terbukti dengan kegagalan yang pernah saya alami,” tegas Pei yang menatap pengalaman dirinya silam itu. Belajar dari kegagalan yang pernah hinggap dalam usahanya membangun bisnis, Pei akhirnya mengerti bagaimana menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Ketika semua berjalan sesuai alur,Nona Rosa bisa tersenyum. Dan ketika alur itu melangkah mundur, ia akan bernostalgia dengan dirinya yang selalu murung, selalu terbujur lemas tanpa daya gizi mengangkat gerak badannya dari empuknya kasur.
Rosa, nama seorang gadis yang memiliki lesung pipit begitu indah. Gigi calingnya mempermanis senyumnya, memperdaya sang adam dengan pingkalnya yang eksotis. Rosa bukan penari striptis, bukan pula jalang dengan senyum iblis. Ia adalah kembang dari dusun yang terletak di belakang gunung, diantara lebatnya pepohonan yang menjulang menutupi sinar matahari dari sela-sela ranting.
Namun, itu dirinya empat tahun yang lalu. Kini, ia berada di sebuah kota kosmopolitan yang penuh dengan gemerlap cahaya lampu jalan, penuh dengan sorot kendaraan. Tak bisa dipungkiri, Rosa dikalahkan dengan nominal. Ia hijrah ke kota dengan tujuan mencari lembaran dengan angka nol beruntun, untuk menghidupi dirinya dan keluarga di dusun. Namun, ia terjebak dalam siklus pencarian uang, terjebak dalam harum kembang yang menjadi lahan bagi pria hidung belang.
Selama empat tahun ia berjalan terhuyung, melihat dunia yang menyetirnya dari dusun sampai ke kota yang penuh biadab. Tak lagi ia mengenal pancasila yang mencantumkan istilah manusia yang adil dan beradab. Ia menjadi jalang di usianya yang terbilang muda. Habis daya, habis upaya, habis semua tata krama yang ia tuturkan sewaktu bangku sekolahan menghiasi hidupnya selama sembilan tahun.
Kini ia merindukan adanya tuhan, adanya malaikat yang segera menghakimi dirinya dengan kalimat-kalimat suci. Entah berapa lama lagi Rosa bertahan. Tangannya selalu tergandeng pria dengan setelan parlente ala kota kosmopolitan. Ia melacur dengan terpaksa, dengan tetesan airmata yang tiada habis ia peras setelah senggama. Tubuhnya yang aduhai telah terjamah, telah dijadikan remah-remah tangan setan yang tersenyum senang.
Ya tuhan, jika dirimu memiliki kendali, jadikan aku sebagai misilmu. Jadikan aku sebagai misil penghancur segala kenikmatan. Kalau perlu jadikan aku setan, jadikan aku jilat api yang membakar kelamin-kelamin para pria. Hilangkan kecantikanku, hilangkan payudaraku, hilangkan kelamin diantara selangkanganku. Aku memilih untuk tidak diberikan hidup jika diberi hidup untuk tidak bisa memilih.
I BREATH FOR PEACEFULL LIFE, BUT NOW, I BETTER OF FUCKIN DEAD. IM THE FLOWER IN THE MIDLE OF THOUSAND BEES.
aku ingin pulang, membawa dosa yang nantinya bercampur darah akibat pecutan parang orang tuaku, kepala dusun itu.
Pada akhirnya, Rosa bertemu dengan seorang laki-laki yang membawanya kembali ke hidup normal, bukan normal menjadi jalang tetapi normal menjadi wanita yang bermoral. Laki-laki itu, malaikat yang telah membawa kalimat suci yang pernah ia pinta di kehidupan suramnya.
Tuhan, ternyata kau tidak punya kendali. Aku pernah meminta untuk menjadi misil bagi kenikmatan dan kini, aku bersama kenikmatan tanpa gangguan. Aku meminta doa yang pernah ku suratkan padamu, tapi kau memberiku liku yang berharga untuk ditolak. Aku tunggu kendalimu jika memang kau berkehendak dan tidak ingin mati dalam doaku.
Sebagian menyebut ini adalah kalam. Dengan segala sembah sujud yang pernah dilaksanakan dan kalimat-kalimat suci yang sering terucapkan di tengah rakaat-rakaat. Mereka bermimpi, bermimpi menjadi manusia yang hidup untuk akhirat. Aku pun ingin begitu, tapi nyatanya, takdirku malah menjadikanku seorang yang biadab.
Aku tidak tahu dimana diriku sebenarnya. Aku hanya hidup di bumi tempatku berpijak dan awan tempatku beratap. Aku hanya memiliki kaus ini. Kaus yang bertuliskan “am i a human?”
DAN AKU TIDAK PERCAYA KEPADA TUHAN
Aku tidak ingin menjadi manusia. Aku tidak ingin diberikan senyuman dari iming-iming tuhan atas surganya dan aku tidak ingin ketakutan atas ancaman-ancaman tuhan atas neraka jahanamnya. Sejak kecil, orang tuaku telah berpulang ke tempat sebelum ia dilahirkan. Agama yang menempel pada orang tuaku kemudian turun dengan pasti dan bukan kentara. Kental.
Saat ini, aku berada di rumah. Tanpa keramik putih yang selalu dibersihkan dengan porselain, tanpa dinding yang dibangun dengan semen berbandrol tinggi. Tak ada perkakas dalam rumahku, tak ada barang pecah belah yang membuat gaduh. Hanya ada selembar kain yang bisa dipakai untuk apa saja, bahkan untuk hal yang tidak bisa disebutkan namanya.
Kemudian, setelah memikirkan kenapa aku ada di dunia dan berwujud manusia, aku langsung berjalan menuju dapur yang tak ada tempatnya. Rumahku adalah dapur, ruang tamu, kamar mandi, dan ruang tidur. Menjadi satu. Aku menyobek kopi hitam yang baru saja kubeli. Kumasukkan pasir-pasir kopi itu ke dalam gelas yang bukan beling- bukan fragile.
Sementara itu, aku gugup. Aku memandang gelas plastik bekas yang kupungut tadi dan kemudian mataku merengut dan menarik udara masuk ke dalam, sangat dalam. Gelas itu berwarna putih dan ada bekas gincu yang menempel, berkerak. Kopi menjadikan putih menjadi hitam apabila dilihat dari atas, dari sisi tajam aves, bundar. Aku bergeser sedikit ke kanan, gelas kopi itu masih kugenggam.
Aku mencoba membayangkan dan membayangkan. Andai saja….. kemudian dalam hati ku terdiam. Mulut yang kering dan berdarah akibat kering ini tak bisa terucap. Kemudian tergerak, seluruh tubuhku menjadi sigrak dengan mendobrak pintu dan keluar. Aku memandang matahari, aku menghirup udaranya yang panas. Lalu aku berpikir, jika aku adalah kopi, aku adalah hitam dari ciptaan Tuhan yang ia maksudkan berstatus putih. Ini adalah jalan yang kupilih. Entah panas neraka itu sangatlah panas dan melelehkan, namun aku masih ciptaan-Nya yang gagal ia putihkan.Hey Tuhan, apabila takdirku ini ditangan-Mu, ubahlah aku menjadi Setan yang terbiasa dengan jilatan api neraka-Mu.
Aku adalah seorang manusia yang Kau biarkan melawan-Mu. Itu sebabnya kau menciptakan neraka? Itu sebabnya kau mengindentikan tempat haram itu sebagai kuning kecoklatan, seperti jilat api yang berkobaran untuk orang sepertiku?
sudahlah. aku terlalu bodoh untuk hal ini. Karena aku lahir dengan nama Benjamin. Benjamin The Devil.
Aku menunggumu menaruh lengan di atas dada ku. Selama kita masih satu jalan, selama kita masih satu angan. Saat pagi tiba, kau membangunkanku dengan kecupan yang membasahi keningku. Saat siang mulai terang, kau menaruh senyum bercengkerama dengan ejekan muda kita. Saat malam datang, kau meniduriku layaknya seorang dewi yang berbaring di atas awan yang putih kental tanpa angin yang kencang.
Sayangnya, selama aku menunggumu, dirimu tidak pernah hadir kembali. Kemana tawamu yang selalu melebarkan senyumku? Kemana candamu yang mengocok perutku? Aku masih menunggumu menaruh lengan di atas dada ku. Dengan dengus hangat kau selalu mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pernah aku pinta. Kau menjadikanku seorang ratu pada silam itu.
Sewaktu kita terbaring di sofa itu, bulu kudukku selalu merinding. Selalu mencari celah untuk mendapatkan cintamu yang kau satu persatukan dengan birahimu setelah menjelalat mengarsir tubuhku. Itu dulu, itu hanya mimpi sekarang.
Setelah percekcokan itu, kau menjadi buas, kau menjadi beringas. Aku tahu masalah kita bukan hal yang sepele. Namun, minuman yang kerap kali kau teguk itu membuatku tersadar meski selalu saja enggan untuk ku bayangkan, “aku mungkin masih wanita di atas ranjangmu, namun dia adalah sex mu yang membolak-balikan tubuh dengan sentuhan pori-pori sperma saat dia menyetubuhiku.”
Aku tahu kau mabuk, aku tahu kemejamu selalu lecak dengan kerahmu yang jingkrak tiap kali kubukakan pintu rumah kita. Aku tidak mengerti, aku pun tak paham mengapa kau menjadi begini. Satu hal yang ingin ku tanyakan kepadamu adalah, kemana dirimu yang dulu mengharamkan barang macam itu? kemana dirimu saat bersujud ketika adzan mulai dikumandangkan?
Aku hanya punya bilik ini, bilik yang hanya berbentuk persegi, kotak dengan hitungan matematika memakai rumus yang berkubik-kubik. Sebelum kau pergi dengan tamparan yang bersarang di pipi ku, aku selalu berdoa dan meminta, bukan kepada Tuhan tapi kepada Setan supaya kau menjadi Setan itu yang dibakar dan dikembalikan kepada Tuhan.
Untuk itu, aku tidak ingin melupakan malam kita, hari kita, bulan kita, tahun kita, dasawarsa kita, dengan saling menghujam. Dirimu memang kejam dari sudut pandang kesusilaan, namun kau berbesar hati ketika kau mengajariku cara bersusila yang baik yang benar, sebelum kemejamu berubah menjadi lecak, sebelum kerahmu berubah menjadi jingkrak, tiap malam dan tiap malam kemudian.
Tidak seperti pelangi, kali ini tidak berwarna. Kamu hanya diam. Kamu menungguku datang lagi dengan senyuman. Kamu menunggu, kamu termangu. Aku pun tak kunjung datang sampai waktu habis dimakan malam.
Aku masih berdiri di jauh sudut kota. Aku menerawang handphone hitam yang berbentuk kotak persegi. Aku ingin sekali memijit huruf-huruf itu sampai pagi bertemu pagi. Sampai saat ini, aku juga masih diam, hanya memikirkan.
Tiada gading yang tak retak, begitupun kita, berusaha menempelkan perbedaan, tapi kini perbedaan itu memilih untuk mengambil sikap suatu tindak.
Kini sayap burung itu masih di simpul, tidak mengepak. Perempuan itu beringsut cabut ke kamarnya dengan seribu jejak. Dalam dekapan guling, kadang seperti terisak, kadang seperti cekikikan. Aku pun mulai membayangkan dirinya, tersenyum tanpa harus memikirkan sesuatu yang membuatnya resah dan gelisah.
***
Sampai bumi semakin memutar dengan bulan dan mataharinya. Hanya ada cinta, yang kini hanya bisa terbayang di halaman muka. Aku mencintaimu dengan cara yang berbeda tanpa harus mengeratkan kembali genggaman tangan kita berdua.
Dan gelap, sedikit demi sedikit kuhapuskan. Dalam setiap pagi, aku membuka daun pintu itu untuk menerima segala pancaran. Ketika suhu beranjak siang, sekarang hanya bisa membayangkan, betapa berkeringatnya kita berdua saat terbuai dalam cengkerama. Aku mengerti bagaimana itu silam, semoga kamu pun sepaham.
Aku tidak mengerti apa itu cinta, sampai aku bertemu denganmu menarikku masuk ke dalamnya. Aku hanya bermain, seperti bocah dalam perosotan. Tertawa bahagia sampai sang ibu datang menjemput, hilang sudah kebahagiaan dalam licinnya perosotan.
Dalam kata, aku hanya bisa berdialog. Meski monolog, hanya abjad yang bisa membayangkan apa yang sedang ku pikirkan tanpa pikir panjang. Saat semuanya menjadi kenangan, hanya ada bayangan yang hadir namun tak bisa tersentuh. Aku memilikinya walau hanya dengan kata-kata. Aku mencintaimu dengan seribu kata dan seribu makna. Hanya itu, terima kasih.
(daripada usang di PC lebih baik ditaruh disini. hehhehe) dimas.
Apakah aku seorang biduan? Melebihkan dandanan demi panggung persegi panjang? Aku ingin menari, aku ingin berdansa bersama tuan Tanpa peduli, setruman makian mereka memaksa datang.
Aku ingin mendengar dentum desahanmu Setelah mencabik kaus yang membalutiku. Saatnya aku senang, tuan kembali meraihku dalam ranjang. Dalam seks, cinta, dan rasa membuatku seluruhnya mengejang.
Tapi sayang, tuan tak mengerti Mengapa perlu uang lembaran? Aku hanya butuh tuan, sebagai peneman rasa hinaku Aku menginginkan Tuhan, sebagai pendamping dosa kelak, di api nanti.
Dalam secarik kertas, ada noda meski kini tak lagi dicoret pena Lampu temaram, menjadi bintang, sinarnya terang. Aku bersembunyi di belakang pintu dengan kumpulan peluh dan airmata, Seolah sinar menjadi tiada dan berwujud tiada benderang.
Dari suaranya mengerang bukan kepalang, Saat datangnya keracauan dalam menyita rasa senang Adik kecil itu meminta susu, meminta cinta yang panjang Dalam kenanganmu, dalam kasih sayang, kini terbuang
Hanya sebuah laksana yang mengisyaratkan Semacam padi yang tak jadi panen Yang dulu tergenggam sebuah harapan Musnah diserang hama sebagai musuh laten.
Dari mentari yang berlari Menutupi segala gelap dari malam Aku ingin berlari, menjauh dari jilatan api Mengingat bola itu, tatapanmu yang dulu, kini membuatku terajam.
Apakah normal itu sebuah kewajaran? Tidak, ada yang lain, kau luput. Apakah itu sesuatu yang luput? Belajarlah tidak normal, seperti yang buta, yang selalu dinilai ketidakwajaran.
Sampai mana aku tadi? Aku lupa Sampai si buta memberimu dunia akan eloknya hingar Selalu membuat tanya, apa itu apa Gelap terang adalah bulat, membuatmu tertatih dalam hingar bingar.
Bentuk dunia, semua bulat, hanya kita diberi melihat Laut yang biru dan daratan yang kekuningan Tanpa melihat isi warna dibalik kalimat Hanya mereka, yang buta, mencari dunia, menaruhnya kenangan.
Saatnya kita berpulang, mereka yang melihat Yang bening sorga, kalian? Malah hitam, buta akan tubuh ini terbaring di liang lahat Sampai suatu ketika, dunia terikat kembali menjadi talian
Dewasa kian meremajakan imajinasiku. Segala bentuk berontak telah siap kusempurnakan demi menjalani apa itu yang terlarang dan terumpatkan dari perintah orang tua.
Jangan sekali-sekali kau membuat malu ayah dan ibu, nak? Memang kenapa yah? Ayahmu adalah seorang pengacara dan ibumu adalah guru, jadi bersikaplah dengan baik agar mengindahkan citra ayah dan ibumu. Tidak yah, aku sekarang sudah dewasa, sudah mampu mengendalikan mana itu kasih sayang dan egois. Apa maksudmu?
Sudah sekian lama, hati dan pikiran ini memutar rekaman perintah-perintah seperti kaset lagu di dalam sebuah tape. Mungkin, sewaktu itu, aku masih berjalan ditempat, terlalu takut untuk mengatakan ‘tidak’. Baru kali ini, aku mulai memberanikan diri, meski gugup menemani bersama gemetar di sekujur tubuhku.
Ayah kembali menitahku untuk bersikap seolah bangsawan yang tanpa cacat. Ia menerapkan peraturan yang tidak bisa ku elak kan karena aku masih, anak kesayangannya.
Apakah ayah sayang kepadaku? Tentu saja nak, coba jelaskan apa maksudmu? Apakah aku lahir atas kasih sayang atau ada rencana lain? Hah?
Ayahku terheran. Diam dan menungguku untuk berucap kembali. Namun, saat itu, aku ragu untuk menjelaskan perasaan yang seharusnya tidak kucakapkan kepada ayahku sendiri. Ia masih manunggu, berdiri di hadapanku, menatapku tajam. Aku tertunduk dengan topi yang mengenyahkan pandangan ayah ke bulatan mukaku. Aku berdoa dalam hati, ya Tuhan, jadikan apa yang baik itu menjadi kebaikan. Amin.
Andai saja, aku tidak bersikap baik bagaimana yah? Jangan kau coba mengaku sebagai anak ayah. Memang kenapa yah? Seperti yang ku katakan tadi, hal itu bisa mencoreng nama baik keluarga kita.
Dan sebelum ku mulai, emosi sekian tahun menjadi seorang anak perlahan-lahan ku kumpulkan. Saat itu juga, aku menyerang ayahku dengan tatapan bagai seorang polisi kepada kriminil.
Satu hal yang harus ayah ketahui, Aku menginginkan terlahir dengan tujuan hasil dari benih kasih sayang kalian, bukan untuk rencana lain atau untuk hasrat egois kalian berdua.. Apa maks ..? Sebentar, aku belum selesai. Tadi ayah berkata supaya jangan mencoreng nama baik keluarga kan? Memangnya aku ini apa? Anakmu atau alat untuk memperbaiki sebuah nama yang tidak nyata? Kau bisa menjawab pertanyaanku yah? Asalkan kau tidak berlaku buruk, itu tak apa. Oh ternyata ayah masih sama, EGOIS, tak paham maksudku. Ayah lihat apa yang hendak kulakukan nanti.
Aku merasa seperti robot buatan ayah dan ibuku sendiri. aku tidak melakukan apa itu yang salah, mungkin, karena itu pula, aku tidak pernah merasakan apa itu sesungguhnya benar yang sebenar-benarnya karena aku tidak melihat muka salah pada benarku. Dan untuk umurku yang beralih dewasa, ku makan semua pil pertanyaan yang ada sejak dulu. Kemudian, untuk keegoisan orang tua, aku berjalan di ruang gelap dimana tak seorang pun, melihatnya dengan mata. Aku tumbuh dan diajarkan hanya untuk membangun citra baik ayah dan ibu. Mereka menginginkanku sempurna, tak punya pilihan. Seperti hak yang telah terampas, aku mulai berkobar dengan airmata yang mungkin bakal ku teteskan.
Dan agustus, merupakan bulan aneh seribu macam. Dari hampir pusat kisaran emosi, berawal dari bulan yang menunjukkan angka delapan. Aku adalah seorang manusia yang terbit dan tenggelam bersama matahari, bulan dan bintang.
Sepak terjang bulan yang lain seperti lapuk dengan ironi yang membasahi agustus yang sendu dan melankolis. Terlalu banyak klasikal romansa yang ku amati dan ku alami. Aku tersenyum, bersedih, tertawa, bermuram durja, hasil olahan mataku yang tak kunjung sempurna.
Sehari-hari, aku mengonsumsi berbagai macam cerita yang berkutub-kutub. Tak memautkan antara satu dan yang lain. Agustus. Mengapa menjadi bersayap? Terus hinggap kesana dan kemari. Banyak ujian, bercengkerama dengan nasib-nasib yang tak terbayangkan dan ku enyahkan dari mimpiku sebagai seorang bocah yang memiliki banyak cerita.
Shakespeare, Bung Karno, dan Ramadhan berkumpul dalam bulan berwarna biru, dalam pandanganku. Dan setiap rasa yang ku lacurkan, tidak berbahasa baku. Bahasa indonesia, kuperdayakan dirinya menggambari bulan kecumbu. Bulan hasrat dan seonggok rupa-rupa kenangan.
Salam sayang sebagai seorang anak, teman, dan pacar. Setiap pergantian bulan, menyisakan memori yang terkadang membuat bibir ini melebar dan sesaat, membuat kerutan tajam pertanda tidak senang. Dan jalani, setiap keadilan yang bersaksi, karena pelanggaran akan terus teruji. Sensasi agustus, alur pendewasaan menjadi kekal dan sempurna meski hanya, sedikit saja.
Proklamasi. Secarik kertas yang kemudian Bung Karno bacakan bait demi bait. Emosi, kemenangan tertunda sekian lama akhirnya tercurah dari sebongkah liang jajah negara lain. Mereka memiliki rasa persatuan, sebuah bibit dimana kita hanya memilikinya dalam kelompok-kelompok kecil, sekarang. Yang satu ingin memisah, yang besar lainnya ingin mempertahankan. Andil menjadi sinyal kuat membentuk pasukan kemanusiaan yang berusaha nyaman dan menuntut kebenaran dari orang seorang.
Saat ini, ketika fajar mulai menyiratkan hari baru, semua berbeda. Hanya upacara dan pengibaran bendera hadir tertera dimana saja. Akhirnya, hanya canda, dan sejarah kandas seperti paus yang terguling di pesisir pantai. Andai saja aku hidup dalam 1945, mungkin terasa berbeda, airmata yang menetes akan kemerdekaan dan airmata yang menetes akan percintaan“Mari kita mengenang para arwah para pejuang indonesia”, begitulah ucapan petinggi bangsa ini seraya menuntun guru-guru secara tidak langsung untuk mengikuti hal yang sama. Aku ingin tahu bagaimana itu terjajah, bukan cinta, tapi darah yang kupertaruhkan untuk kumenangkan. Karena mereka, pejuang Indonesia, lebih beruntung dibandingkan kita semua.
Aku akan merasa lebih terhormat andaikan hidup dengan dentum bom mengiang di telingaku dan bunyi tar tar dari selongsong timah panas mendengung serta mengikat kacu merah putih di kepala ini. “Untuk melanjutkan kemerdekaan para pejuang cara yang paling tepat adalah belajar”. Tidak begitu pun adanya. Berbeda konteks dan situasi waktu. Dan pastinya, logika ku lebih memilih melawan kaum kompeni dan nippon daripada melawan diriku sendiri. Karena malas dan arogan adalah diriku, dan musuh besar seluruh umat manusia adalah dirinya sendiri.
Hanya sesampaian rekaman pidato dari Bung Karno dan perlombaan yang bersuka cita, hegemoni massa meluap tanpa rasa menang dan kalah bertumpah darah. Terima kasih pahlawan, aku iri kepadamu, selalu. Proklamasi, hingar bingar emosi yang terlupakan dan menangis tersedu sedan.
Mamih, kau kampungan. Begitu anakku memanggilku, manja dirinya menyobek hatiku, nasibku salah di kata-katanya. Aku berusaha mencari nafkah dari suara, meski mendayu, meski melenggok pinggulku terkayuh.
Aku malu mih!!! Kenapa harus dangdut? Tanya Kasih, anakku satu-satunya. Dulu, sewaktu ia balita sambil merengek pertanda haus, ia tak pernah tahu kurawat dari susu hasil menyengkok nada. Panggung itu, sebuah mata dunia dalam kisahku, Kasih. Dari ujung panggung, semua kupijaki demi uang, membesarkan anak kita, suamiku sayang.
Sepeninggalmu, aku kacau. Rautku tak tahan lagi menyembunyikan kerut pelipis yang makin hari semakin runcing, tajam. Akhirnya, sedih kujatuhkan bersama air mata ini. Ia terus menyibirku tiada henti dalam prasangka buruk seorang biduan dalam modern tingkahnya. Entah, apakah aku bisa menahan ini lebih lama lagi.
Berhentilah menyanyi dangdut mih!!! Aku muak .. Kasih!!! Cukup .. Tidak mih, aku tidak ingin dilecehkan oleh teman-temanku hanya karena mamihku adalah seorang penyanyi dangdut ..
Dan emosiku tertelan lewat ludah. Kasihku beranjak dewasa dengan segala kesempurnaan yang harus siap sedia bersanding dengannya. Aku pun kosong, ingin ku apakan anakku ini. Mataku mulai mengerut, grahamku mulai bertabrakan membentuk bunyi keletuk. Saat itu, aku coba mengutarakan profesiku atas ego nya.
Apa yang salah dengan dangdut, bisakah kau jawab? Dangdut itu norak, kampungan, apakah mamih bisa paham? Dari sekian banyak lagu, mengapa mamih memilih dangdut? Kenapa? Kenapa? Kau seharusnya malu nak, ibu memilih dangdut karena sedari dulu, jenis dangdut menjadi identitas bangsa kita. Dan saat ini, kau menghinaku, sumpah demi Tuhan kau tak benar adanya? Kau adalah karuniaku. Ibu tak mau kau tumbuh dengan hinaan dimulutmu itu menjadi paten.
Aku masih memegang teguh, dangdut adalah aku. Dangdut adalah indonesia. Untuk apa bersusah payah mencintai irama bangsa lain sementara aku, biduan, merasa terasingi karena mereka. Aku hidup penuh dengan cerca, aku menerima. Dan aku tak terima, akar musik bangsa ini dihina oleh anakku sendiri, yang lahir dari rahim seorang Indonesia.
Dangdut. Satu budaya, satu karya, dan mereka seolah enggan untuk mengakuinya. Beberapa mungkin sehat akan budaya, namun yang lainnya mungkin juga sakit. Musik seperti pop, rock, punk, jazz, dan sebagainya memang indah tetapi bukan kita, bukan ibu pertiwi. Detik ini, dangdut masih bernapas menghiasi muka kelas tengah rada ke bawah, tidak kita, apakah kamu mau mengakui? Dan seperti semua, merasa menjadi kelas atas dan kelakuan tiap desakan zaman setipe menghina, menjerumuskan selayak bangsat, dibuang dengan alih-alih MODERN.
Stop. Negara ini merdeka namun merengek-rengek bagai bayi tua berboneka. Umur boleh tua tapi warga negaranya, berpikir terbuka dan ramah tamah. Hah?
Dalam carik kertas tua, teks merdeka dibuat, mempelopori nadir perjuangan yang pernah diangkat lewat bambu runcing. Sakti. Prokalamasi, kami …….
Negara indonesia, klenik atau yang orang bilang ‘tanpa teknik’ itu ternyata sudah ada sejak dulu, dan ilmu hitam, mengapa kau tak menyantet kompeni-kompeni dan tuan tanah? Dan sekali lagi, nominal lah yang berkuasa.
Mengapa aku tidak dilahirkan sebagai orang bule, berkulit pucat dan bebercak di di dada akibat mengonsumsi daging babi? Dan sawo matang, rupanya telah menjadi darahku dan kerendahan merasuki kepribadian warga indonesia, serupa dengan kepribadian bangsa ini, rendah hati dan sayangnya, rendah diri.
Teror, tak bisa kau biasa seperti afghanistan dan palestina. Dentumnya kuat dan korban, mengintai orang luar, bukan dosa, melainkan kesalahan negara dari orang luar tersebut. Aku adalah aku, dan negara hanyalah aku hidup. kau jihad, salah tempat kiranya.
Anakku menanyakan keberadaan ayahnya yang pergi, hilang dari semesta inderaku.
Setiap hujan turun, tanah itu melembek dan menjadi lumpur. Dia bertanya tentang air mulanya, kemudian merembet menjadi kata-kata yang berat bagi hatiku berjalan dalam pengalaman, dulu. dalam basah malam itu, genangan itu mengubah kerdip menjadi tanya.
Sejuk, ibu, itu, mata air, itu?
Entah apa yang ada di benak seorang bocah berumur empat tahun mengenai mata air. Ibu hibuk dengan jarum di telunjuk dan ibu jarinya di genggaman sambil berkata, kemudian berhenti, mengingat.
Oh, itu hanyalah air nak, kau masih bisa melihatnya. Jangan sampai, mata air yang kau perbincangkan kini, menjadi air mata saat nasib berbeda paham denganmu. Ayahmu demikian adanya.
Bocah itu, senyap dari kalimat dan sesaat memandang raut muka yang ibu pasang. Tiada yang lebih menyakitkan daripada ditinggal suami yang pergi, mengkhianati, dari seorang ananda yang pernah digombalinya.
Ayah kemana ibu?
Teruk sang bocah seakan-akan mengerti apa yang lalu dan kini diemban oleh ibunya. Dengan mata berkaca akibat kantuk karena malam kian larut, bocah itu menunggu, menunggu.
Tidulah nak, ayahmu sedang bekerja. Nanti juga pulang. Sabarlah menunggu hingga umurmu cukup untuk kedatangan ayahmu, bukan di matamu, melainkan dari kalimatku tentang ayahmu.
tidak ada hujan diluar, cuma ada angin dan awan kelam. aku menunggunya hingga cemas berurat dan berakar. tak pernah sampai tujuan dimana aku mencicipi ranum indah wajahmu meski kau lalu lalang di depan mataku.
hingga kini, aku pun tak menyadari, kapan ini semua pergi dari helat kebaikan. memandangmu, seakan menghilangkan masam dari muka berlumur harapan yang mungkin saja dikremasi oleh kesatnya epidermis kulit.
karena diriku tak pernah membayangkan. meskipun dirinya semanis madu, tak begitu saja ia kureguk dan meskipun ia sepahit empedu tak begitu saja ia kumuntahkan. dirinya adalah satu diantara mutiara di dalam kerang, hanyut dalam laut dan kering tanpa basah yang menyelimut. menghanyutkan dalam tenang.
aku senang. aku bahagia..aku kalah..aku tak sengaja mengalah. merubah ingatan dalam kubah visi linier. suatu saat, aku mungkin saja terbang, terbawa sayap harapan yang mengangkatku dari derajat manusia yang tak terpuaskan oleh harta, tahta, dan wanita.
hari datang silih berganti membawa cinta dan senantiasa luka didekapmu. kemanakah senja pilu? semua menjadi satu kala butiran airmata yang kusimpan akhirnya tercurah. di depanmu, aku hanya tersipu, kutelan air liurku demi tak beroleh ucap.
kau tersenyum meski aku sama sekali tak mengerti maksud dari senyumanmu itu sayang. hanya empat pasang mata bola saling bertatap kemudian enyah dihempas angin. aku malu.
siksa aku dengan impian serupa nelayan berharap ikan. dan kemudian, kelelahan menjadi alasan disaat semua yang kuharapkan lepas begitu saja tanpa wibawa. cuma ledekan kecil di atas dagu.
kau pun aku tidak mengerti, bagaimana kemarin dan hari nanti. berlagu seperti kau adalah satu. menjadi tunggal ibarat bidadari bermandikan emas di kolam abadi. kemudian kau, tercebur, melompat sendiri, dari karang yang menggunung. hingga terjal kau abaikan namun aku memerhatikan.
waktu yang kutunggu dan kau tunggu tidaklah sama. jika milikmu berjalan konstan, jam dalam hariku berupaya curam dan kencang. periodesitas aku menginginkanmu mungkin akan habis dimakan siang, malam, dan senja di penggantian.
sengaja hanya kutuliskan dalam kertas virtual. jika aku menuliskannya di hatimu, mungkin kau akan terkejang dan bahkan tercengang. sosok dungu ingusan meresap di kepalamu dan kemudian kau cerca dan kau maki seperti lembaran daun, yang kau anggap uang bernominal tapi ternyata, hanya lembaran daun dengan belulangnya. kau sobek, kau peletek.
tulisan ini tidak menjelaskan apa-apa, hanya sebagian paradigma yang ada. aku akan menuliskannya sepanjang mungkin hingga habis sudah kata-kata untuk ku perdaya sebagai sarana penghibur hati dan curahan emosi.
dan aku enggan, menjadi sakti karena kosmologi tidak diisi oleh hal-hal yang beraroma cinta. kakus yang kau duduki itu sebenarnya adalah cinta. tidak berbentuk feses melainkan seluruh jengkal degupan hati yang menggenjot sepersekian detik. itu adalah kotoran.
egois. jika ada manusia yang berasumsi gila, cinta itu malapetaka. dan aku seraya meminta dan menyembah, kenapa aku dimiliki hidup ini bahwasanya yang maha kekal mengerti sesungguhnya apa itu cinta dan karma?
mawar, merahkan hidup ini dalam kesegaran warnamu dan warna, segarkan mawar itu dalam dekapan sayang seorang hawa kepada adam.
berat, keparat, laknat, semua berbau jahat, iblis bertahi uang, dan malaikat berdaki darah.
musim ekstrim kenapa angin itu meliung membuka bencana? mengantar mereka, pejuang dari moyang maritim, duduk manis disamping-Mu, Tuhan, tanpa alasan berlencana.
kerabatnya terisak, menangisi baju loreng, melekat lecak dalam pukaunya. besar, kekar, dan kini gosong berpupur pasi. berdoa, merah putih kemudian bertanya tanda dan bertanda tanya.
harusnya, nyawa itu melayang melenggang, dalam tegang, baku tembak perang, tertembus selongsongan, bukan memutar gasing, yang kau mainkan seraya terhunus meruncing
baret itu milikmu, bintang itu kehormatanmu ayolah sayang, berhenti berpamer! tengoklah! mereka terpanggang lalu melumer
tolong jangan coreng itu loreng, dengan retorikamu, dengan kunjungan rehatlah! istirahatkan soal janjimu, turunlah ke lereng lihatlah! INDONESIA membajuhitami kenangan berdarah kenangan
(untuk kecelakaan yang meminta rentet dan untuk duka yang menjadi nasib masa kabinet, semua berduka. ya, benar, semua berduka tanpa cita)
Orang itu mengalungkan rosario dibalik kaus yang dikenakannya. Dan dia, menggenggam erat tasbih di sela jemarinya. Tuhan, kumohon jangan jadikan kami yang beragama, berputus asa mengenalmu, di setiap pagi, siang, dan malam.
Di setiap hujan yang kau anugerahkan, sebenarnya aku lelah, mencarimu dalam basah itu. Tanpa memerdulikan kata mereka, sifat kesempurnaan-Mu kini kulekatkan, kudekatkan, kusimpan dalam rohani yang sempat kutanggalkan.
Karena, semua, merasa sementara, seperti bumi yang mengancam lewat kiamat, aku tersenyum masih mencari dirimu. Dari agama yang telah kau bentuk hingga penyelewenganmu yang kau kutuk, kau seharusnya membiarkan mereka, pergi jauh ke dalam hatinya.
Dalam pemahaman yang mungkin saja kau titahkan, berlaku sempurna hanya untukmu. Dan kami, hanya jenar diantara emas dan ayat. Karena ujung jalan ini, kami melihat kami menjadi mayat. Sebelum itu menjadi, hendaklah kau mempersilakan kami mengenalmu dari tadi, kemudian, dan kemudian kemudian nanti. Karena tidak sama, diriku, sejawatku, dengan mereka yang menyelam bersama kalam.
Sungguh, profan ini masih ringan. Berikan pemantik agar aku mencari dalam lelehan nantinya. Karena dirimu tidak serupa jarum dalam jerami. Aku tidak bisa menemukanmu meski kau tidak tertumpuk.
Dua belas, Jarum itu menyatu, vertikal satu. Kini, bertambah dan hilang deret belas Kemana larinya usia itu? Hilang, kebelakang dalam kenangan memelas
Detik. Coba kau berbalik Lihatlah, aku malu tersipu Dari ranting mata itu, mengawasiku Dari belakang batu itu, berbisik
Esok hari diam-diam menilik Usia fajar dan hitungan hari Jadi mentor bertopeng, mengusik Karena hidup-mati saing berlari
Puncak dua belas Kalungkan itu dalam simbol, hidup. Saat embun membias di bening gelas Aku tau, semakin lama, jengah dan renta menjadi temanku menghirup.
Sebuah surga dimana kelamin menjadi haram Ada noda yang bertanya sedang jatuh dan karam kemana murka dan publisitas mencakup tinggi sementara posisi seperti polisi hanya diam tanpa aksi menunggu telpon dan uang embel-embel sesuap nasi semua polah ini mengerubungi tatanan nadi seolah menyetubuhi apatis egois diluar kenistaan yang kau anggap najis Nafsu ini menjamur Seperti babi yang melumpur Ratusan Kepingan wafer yang terpariwara menyetop diksi dan makna Mengenyam suara dari melodi Menatap estetik dari balik kemudi Raga hitam semakin panas mengacungkan jari tengah dan dilacurkan ke dalam kertas kosmik kebhinekaan raut dan keriput menjadi mimik gelombang kumpulan tanah bergetar eksotik utara kembali selatan Perihal darah yang dikucurkan Pelbagai masalah yang ditimbulkan Aloha Badan ini memerlukan irama Membangkitkan seperti pejuang empat lima Dan sekarang Dalam alunan suara dari liang tenggorokan Aku teriak sekencang-kencangnya dan terkencing bertanya-tanya
old version---------------------------------------------------------------------------------]
Sebuah surga dimana ku berpijak Ada noda yang ingin ku mengelak Dari mei ke juni Dari setiap rasa di akhir masa usia Nafsu ini menjamur Seperti babi yang melumpur Ratusan Kepingan wafer yang terpariwara Tak cukup menggerakan hati dan kata Mengenyam suara dari melodi Menatap estetik dari kemudi Raga hitam semakin panas Melontar tanya kepada dirinya yang di atas Semua Perihal darah yang dikucurkan Pelbagai masalah yang ditimbulkan Aloha Badan ini memerlukan irama Membangkitkan seperti pejuang empat lima Dan sekarang Dalam alunan suara dari liang tenggorokan Aku teriak sekencang-kencangnya.
disaat semua realita menatap karunia. semboyan dahaga kerap disajikan dari tiap ke dalam tiap anugerah. merasa tidak terpuaskan dan sengaja mengubur orang lain demi kepentingan. sesajen yang cetek dengan harapan yang menggebu.
Kembali dalam proyek bersama. Mencari arti hidup tanpa harus menyesalkan badan tercebur dalam dosa.
Sepengetahuanku di dalam dunia ini hanya ada yang nyata. Keberadaan setan atau iblis dan apapun namanya tidak termasuk dalam rumus meski mereka ada. Jika boleh jujur, saya tidak meyakini bahwa hidup ini memang ada andaikata bermain dengan logika. GILA jika memikirkan mengapa tekstur manusia bisa sampai seperti ini. Namun, tidak ada pilihan lain untuk mengakui kalau kita adalah manusia. Mensyukuri menjadi jalan paling sempurna untuk tetap merasa hidup. Karena udara telah lelah untuk kita hirup.
Kemunafikan dalam diri manusia terkadang menentang banyak argumen. Mencela yang sempurna menjadi sifat yang laten. Dan ternyata, hidup ini terlalu pendek untuk ditangisi dan ditertawakan. Kita hanya memiliki dua hal yang menggiring kita ke dalam hidup yang ideal. Tanpa disadari, larutan “rasa” yang mengiringi manusia itu terlalu didewakan sehingga melupakan hati kecil yang bersemayam.
Konon, tanah adalah pembentukan struktur manusia. Berawal dari tanah dan berakhir ke dalam tanah. Di permukaan tanah, persepsi yang muncul adalah kotor, debu, berserakan, dan berbatu. Sungguhlah manusia itu kotor tanpa harus meminta pertanggungjawaban dari yang kuasa. Membersihkan diri sama saja kau mengepel lantai pasar. Akan selalu kotor, akan selalu kotor. Jadikan kotormu sebagai pembelajaran. Seperti brand sabun colek atau apalah, “gak kotor, ga belajar”(andaikan serupa seperti aslinya karena saya lupa).
Kemudian “dead end and die with that brand.”
Ajal sebenarnya sudah tercicil sejak manusia lahir hingga saat ini kau melihat jam dinding. Kematianmu berjalan sesuai detik. Bahkan, malaikat di pundakmu menyaksikan apa yang kau lakukan dari setiap pergerakan, penglihatan, hingga tekanan batin yang kau terima menuju akhir nafas. Dia mencatat tanpa ralat. Bergidik? Sungguh? Tidak!!!!!!
Sebab Tuhan menciptakan manusia itu bukan untuk takut akan kematian tetapi menghargai kehidupan menjelang kematian. Diisi macam aktivitas buruk pun Tuhan tak peduli. Inilah hidupmu dan sesekali pedulilah dengan itu. Karena hidupmu tidak hanya untuk hari ini dan maha kekal sesungguhnya mengetahui atas semua yang memiliki arti. Dan untuk manusia, berbahagialah karena mendapatkan dosa. Dosa itu adalah pembenahan dan pembelajaran menuju kebaikan. Untuk bakat yang kalian miliki, saya acungkan jempol atas karunia tersebut. Cheers for all.
"Manusia itu picik Mendapat hidup hanya setitik Kemudian mengandaikannya dalam skala statistik Keindahan itu tidak muncul dalam harimu Tetapi timbul dalam hatimu Manusia kadang menderai mau Tanpa kompas kemana ia menuju."
dan pedulilah terhadap hatimu dan hidupmu karena logika tak lagi membantu. temukan apa itu sesungguhnya dirimu. cari tahu hingga ajal itu menjemputmu.
Dimas. 01.46. diam dalam kosan ditemani kegelapan malam.
Dalam bangunan kampus Hari itu aneka canda dan guyonan pupus Menikmati candu riang hanya sementara Ketika waktu berjalan tak sesuai rencana Kisruh Dari sini semua terlihat lusuh Badan terasa memikul Setengah hati yang kemudian memukul Bertatap Dan pisau pun akhirnya tertancap Tergulai menyeluruh Saat selasa sore semua rasa berpeluh Kepingan Dirinya sebutir angan-angan Membumbung bagai mentari Namun redup dibalik selendang bidadari Hitam Aku dibalut sebuah kenangan fana Dalam dirinya ku rela tertatih Menjadi raja yang 'tunduk siap' untuk takluk Tetapi Semua kisah kasih tak lagi mendukung Optimalisasi tak lagi menggaung Hanya bisikan selenting peneman tidur Dalam layar teknologi yang mulai tersadur Koma Dalam barisan titik dan kata Tanpa mengucapkan tiada Aku masih memandangnya Meski jauh dari tirai jendela. Kepinganku tanpa susunan Tak akan menjadi satu kesatuan Aku hanya menyimpan beberapa Yang mungkin ku satukan jika terlontar kata “iya” dimas kembali ke dalam lingkaran penuh putaran atas=bawah kanan=kiri tanpa titik temu tanpa awal dan ujung sebagai hilir dan hulu
remember when you was a kid kick the ball and slips you can expect the tears but actually, you kept your ears to hear you shout you wonder
maturity one smile that i give wide lip without a measure when you think your life full of treasure
treasure inside the drama theatrical mind of pain and love cinema sometimes, i hardly to move on even the darling give me the mode on
now, i stand in the center of stage whisper that all this pain waste my age change.. we need it trying to joke and says some bullshit because your life isn't breaking the ice on your eyes
gratefull... my life is a comedy !!!! (ada kata-kata yang hilang, padahal udah dirancang di dalam otak...ada banyak nih tentang my life is a comedy.. keluarin yang satu dulu aja ah)
Aku tidak ingin memakai bahasa inggris karena ku terlahir sebagai indonesia Aku menjamah keramaian sampai ku masuk ke dalam desa Terperangah Baiklah..... Tuhan itu adil Maha kuasa Tak pernah binasa Musuh utamanya adalah berhala Dan kita? (heran) Menunduk dan mengemis doa Terlalu banyak meminta harta Tuhan bukan Bank Bukan juga sumber dana dunia Manusia kadang terlalu tolol Bermimpi meraih uang dari botol Kemana kita berlari mencari dunia dengan harta Masuk ke dalam rimba dengan aroma kemenyan yang mengelilinya Oh itu sebuah bencana..... Yah semua tahu itu bencana Namun bencana itu datang bukan karena itu-itu saja Bukan dukun atau kemenyan Tetapi manusia... Dilahirkan dengan situasi dan kompetensi sebagai durhaka Siapa peduli? Aku peduli Temanku peduli Haruskah menjadi manusia yang sempurna? Entah. Kesempurnaan hanya milik tuhan Kita hanya mensyukuri kenapa kita diberi akal dan pikiran Menghunus dunia tanpa pedang Dan untuk semua keperihan Ku pertaruhkan statusku menjadi binatang Evolusi binal kawan-kawan For the pain. Aku memilikinya For the gods have no plan. Entah dimana ku meratapinya. My vision is for me No rules that I supposed to be better I know you dear god But sometimes You give me the pain which I cant betray it. blessed me if you remember me.. god save the queen why not me?
Mata indahnya Tak dapat lagi kupandang Lebar senyumnya Tak dapat lagi kuhafal Tubuhnya Hanya angan untuk ku peluk Dirinya Sesuatu dalam diriku berpeluh Maha semesta memang penuh daya Ketika memegang kendali sang sahaya Aku mencoba membongkar Pintu hati dirinya yang keras seperti jangkar Kini jauh pun ia lontarkan Aku belum siap Aku belum tunduk tiarap
Don’t. Menangisi kejadian Yang tergaris di tangan Tuhan Dan ku hanya terdiam Berbusuk sangka dan memejamkan mata
Possible to impossible. Cantik bagai burung gelantik Elok bagai pernak-pernik Diriku dan dirinya Adalah pusaka yang hilang dalam daftar pustaka.
Jerat. Ia mengelak tentang sebuah cinta Aku tenggelam dalam muram durja Ego ini menjerat Isi hati ini menjadi keparat Sedih bertumpang tindih melihat dirinya Menjeratku dalam gegap gempita. Untuk itu Aku mencintai seorang bernama RIANE.
Kini balon itu pecah dan bunga itu patah Ego dalam khilaf maju seiring macho yang berharap Eksistensi sosok mulai lenyap Dalam selasa 17.00 Logika menjadi tumbal kepada siapa tanda ini bercumbu Benih itu tumbuh hingga mengeras membatu suka dan obsesi… menjadi rasa yang mati termakan benalu Ikatan ini sulit dilepaskan membentuk simpul dari kawat yang tajam semua tahu unggun itu berkobar dari sekecil pemantik penyulut api pembakar stressed, depressed, and frustrated menjadi satu koloni menggerogoti dalam-dalam mencoba mengalah dari segala kisah yang suatu saat pasti berujung “pisah” sedih? Sedikit! Sakit? Tidak ! Aku berhasil mencurinya dan kini kukembalikan tanpa vonis penjara Adios amigos dear vitamins There are alot of junk poems in my PC All is because of you My yesterday’s feeling