Selasa, 24 November 2009

Bilik Kubik (Sesi Satu)

Aku menunggumu menaruh lengan di atas dada ku. Selama kita masih satu jalan, selama kita masih satu angan. Saat pagi tiba, kau membangunkanku dengan kecupan yang membasahi keningku. Saat siang mulai terang, kau menaruh senyum bercengkerama dengan ejekan muda kita. Saat malam datang, kau meniduriku layaknya seorang dewi yang berbaring di atas awan yang putih kental tanpa angin yang kencang.

Sayangnya, selama aku menunggumu, dirimu tidak pernah hadir kembali. Kemana tawamu yang selalu melebarkan senyumku? Kemana candamu yang mengocok perutku? Aku masih menunggumu menaruh lengan di atas dada ku. Dengan dengus hangat kau selalu mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pernah aku pinta. Kau menjadikanku seorang ratu pada silam itu.

Sewaktu kita terbaring di sofa itu, bulu kudukku selalu merinding. Selalu mencari celah untuk mendapatkan cintamu yang kau satu persatukan dengan birahimu setelah menjelalat mengarsir tubuhku. Itu dulu, itu hanya mimpi sekarang.

Setelah percekcokan itu, kau menjadi buas, kau menjadi beringas. Aku tahu masalah kita bukan hal yang sepele. Namun, minuman yang kerap kali kau teguk itu membuatku tersadar meski selalu saja enggan untuk ku bayangkan, “aku mungkin masih wanita di atas ranjangmu, namun dia adalah sex mu yang membolak-balikan tubuh dengan sentuhan pori-pori sperma saat dia menyetubuhiku.”

Aku tahu kau mabuk, aku tahu kemejamu selalu lecak dengan kerahmu yang jingkrak tiap kali kubukakan pintu rumah kita. Aku tidak mengerti, aku pun tak paham mengapa kau menjadi begini. Satu hal yang ingin ku tanyakan kepadamu adalah, kemana dirimu yang dulu mengharamkan barang macam itu? kemana dirimu saat bersujud ketika adzan mulai dikumandangkan?

Aku hanya punya bilik ini, bilik yang hanya berbentuk persegi, kotak dengan hitungan matematika memakai rumus yang berkubik-kubik. Sebelum kau pergi dengan tamparan yang bersarang di pipi ku, aku selalu berdoa dan meminta, bukan kepada Tuhan tapi kepada Setan supaya kau menjadi Setan itu yang dibakar dan dikembalikan kepada Tuhan.

Untuk itu, aku tidak ingin melupakan malam kita, hari kita, bulan kita, tahun kita, dasawarsa kita, dengan saling menghujam. Dirimu memang kejam dari sudut pandang kesusilaan, namun kau berbesar hati ketika kau mengajariku cara bersusila yang baik yang benar, sebelum kemejamu berubah menjadi lecak, sebelum kerahmu berubah menjadi jingkrak, tiap malam dan tiap malam kemudian.



dimas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar