Minggu, 17 Januari 2010

Jane


Mendung
januari ini masih belia, belum habis dimakan usia.
ketika semua bersandar pada pundak senja, aku berkata, bangkitlah dalam malam purnama.
romantis itu tidak muncul bulan ini,
mungkin nanti, saat dewasa sudah memberikan janji
kepada sang setia.

saat itu, biarlah kita bermandi ricik hujan bersama, basah dalam ruang, senyap dalam cinta.

malam itu, dengan balutan jaket tipis tanpa busa, aku duduk
memandangi langit yang pekat, tanpa bintang, dengan angin menyiung berkejar-kejaran
sementara dia, entah dimana, kala jarum detik semakin merunduk,
aku masih percaya, ada esok, ada lusa, memberiku sejuta kejutan.
dengan hujan.

Rabu, 13 Januari 2010

mimpi

Ini sudah malam, tidakkah sebaiknya engkau lekas tidur?

Suara manis ibu menyuruhku untuk pergi beranjak dari meja kerja, dengan lampu remang dan beberapa pena berserakan. Aku diam, tidak menggubris. Ibu habis waktu, kemudian pergi. Aku terbiasa dengan seruan ibu, yang selalu mengingatkan kala waktu telah berganti hari, matahari siap memanggang bumi. Tapi aku sudah lelah, pada masa itu, tiap kali ibu menyerukan, aku tidak diberi kesempatan untuk bertanya kepadanya.

Dan ibu tidak pernah menyadari, putra satu-satunya ingin sekali bertanya, dengan kata-kata yang terlalu berat untuk dilepaskan. Tertahan.

Ibu, mengapa aku tidak pernah diberikan kesempatan untuk memiliki cita-cita sedari dulu, selagi aku menikmati masa kecilku?

Waktu itu, umurku masih tujuh tahun, saat aku mulai sering bepergian keluar dengan sepeda butut yang dibelikan ayah. Saat itu pemilu, saat tiga partai masih mendominasi jajaran televisi, dan menghabiskan kertas untuk ruang publikasi. Dari situ, aku bisa memandangi lambang-lambang partai di pinggir jalan yang ku telusuri dengan sepedaku.

Keesokan harinya, teman sejawatku mulai bercerita mengenai cita-cita. Ia mengatakan ingin menjadi presiden karena terkena imbas euforia waktu itu, dan sejawatku yang lain mengatakan, aku ingin menjadi pilot, menjadi dokter, dan semua profesi yang terlihat indah di mata mereka. Kemudian mereka berbalik bertanya kepadaku, cita-citamu apa? Aku dengan datar menjawab, tidak ada. Hah? Mereka tercengang. Mereka heran.

Lalu aku kembali kerumah dan segera mencari ibuku. Kemudian aku menyeruduk, memeluk ibu sangat erat.
Kamu kenapa? Ketus ibuku.
Bu, aku ingin bertanya sesuatu, pintaku dengan nada rendah dan wajah yang terus kutenggelamkan dalam perutnya.
Jangan sekarang nak, nanti saja, ibu masih ada urusan. Tiba-tiba ibu meninggalkanku dan berjalan ke ruang keluarga dengan maksud menghubungi kawan lewat pesawat udara.

Dari situ, aku tidak pernah lagi bertanya kepada ibu tentang diriku selama 16 tahun lamanya. Aku selalu memendam. Aku selalu marah kepada diri sendiri. Mengapa aku tidak punya cita-cita? Tanyaku dalam hati. Mengapa aku tidak diberikan mimpi untuk menjadi sesuatu yang bakal kukejar nanti, seperti lirik laskar pelangi yang berbunyi “mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia”. Dan ternyata, aku tidak bermimpi, aku tidak pernah menaklukan dunia ini. Aku hanya mengenal duniaku dengan semua yang bisa terlihat dengan mata, yang bisa terdengar dengan telingaku, diri sendiri.

Aku tumbuh dengan mimpi yang utopia, dan menjadikan masa kecilku sebagai dendam yang tidak akan pernah terbalaskan. Aku ingin menangis, sendiri, bersama mimpi yang meninggalkanku tanpa pernah membukakan pintu, walau sekali. Sekarang, umurku sudah menginjak dewasa, usiaku sudah dimakan untuk bekerja, apa adanya. Aku mendiami profesi yang sama sekali tidak pernah aku adakan, dalam mimpi. Sekali lagi, aku tidak bermimpi.

Ibu tidak pernah mengerti bagaimana aku tumbuh, bagaimana aku ingin menjadi seorang yang kaya mimpi agar bisa kukejar, nanti. Sepertinya lebih baik aku tidak dilahirkan, karena aku tidak bisa memilih.

Itulah yang selalu kukatakan kepada kertas, itulah yang selalu kupeluk kepada pena. Sampai suatu ketika aku menyimpulkan, lebih baik memilih untuk tidak diberikan hidup daripada hidup untuk tidak bisa memilih. Aku sudah kalah. Keinginan untuk bermimpi sepertinya terlambat. Ibu, terima kasih telah melahirkanku tanpa mimpi. Semua orang bermimpi, sukses dalam dunia dan akhirat. Keputusan kedua (akhirat) akhirnya aku terima dan menyerahkan semua kepada tuhan. Aku ingin mati, dan tuhan, tolong hidupkan aku kembali dalam dunia berikutnya, dengan mimpi semua anak di indonesia. Amin. Sekali lagi, tolong tuhan.

what you scare of? nothing.

Sabtu, 02 Januari 2010

menarimenarimenari

Semua orang ingin menari, semua orang ingin bergerak dimana pun, sesuka hati. Sebagian memilih lantai dansa untuk menciptakan seni, sebagian lainnya memilih kertas, irama, dan takdir. Aku mungkin memang kenal dengan teolog konservatif fundamentalis, yang berupa wahyu, yang secara historis sulit atau bahkan mustahil untuk diuji kebenarannya. Apakah menari itu teruji? Takdir itu teruji? Tidak ada rumus, tidak ada barang uji. Namun, aku tetap ingin menari, meski dalam jeruji, meski dalam takdir yang sekali lagi tidak teruji.

Menari di atas balok-balok minimalis dengan rangkaian alfabetis yang tidak berurut, tidak bertaut, itu kegemaranku, mungkin, kegemaranmu juga. Aku suka menciptakan cerita buatan yang hanya ada di kognisi, berdasarkan realita yang terjadi. Aku suka makna “kata adalah senjata” dan “kata adalah mainan”.

Selagi aku masih punya jari, selagi aku masih memiliki kuku di atas daging yang memadat, yang bisa digerak dengan saraf, aku akan mencoba tetap menari, dengan jangkauan hanya beberapa senti. Tapi, dengan gaya postmodern, beberapa lainnya menyebut menari dalam seni, adalah gerakan diri dalam dunia yang bulat, bumi yang luas tiada bertepi.

“Postmodernisme dimengerti sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam perubahan jaman ini ke dalam suatu seni yang diwarnai oleh ketakmendalaman, ketakterpusatan, ketakberdasaran; seni yang self-reflexive, penuh permainan, ekletik, serta pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya ‘tinggi’ dan budaya ‘pop’, antara seni dan hidup harian (Therry Eagleton, 1996: vii-viii).”

Namun, aku menentang takdir dalam menari. Aku lupa dengan siapa diri ini dibalut, dengan siapa akal dan semua itu dibentuk. Tuhan. Aku lupa menari untuk tuhan. Aku lupa bagaimana caranya menari dalam lima waktu, dalam tujuh belas rakaat. Aku ingin sekali menari bersamanya, bercanda dalam doa, bergumam segala nada, namun apa daya, segala welas asih yang telah tuhan tuangkan, aku tak dapat menampungnya.

Apa yang aku tanyakan kepadanya soal diri ini, soal menari, soal hidup yang akan mati dan tuhan kuasa atas seutas tali?

Karena, selalu timbul tanya, untuk siapa diriku bernapas, untuk siapa badan ini melepaskan semua derai panas. Karena Derrida, dalam Defferance yang ia kemukakan, mengucapkan, “sesuatu yang harus ditunda hingga saatnya tiba untuk membentuk suatu keyakinan final”. Dari situ, aku selalu bertanya, apa sorga itu ada, sedangkan hamba, belum pernah menjamah barang secuil kecuali di dunia.

Oleh karena itu, beberapa saat yang lalu, aku mengajak setan untuk menari, dan bertanya kepadanya, apakah kau (setan) dibentuk agar tuhan memuluskan dirinya menjadi esa dan perkasa? Dalam bacaan curhat setan yang telah kulahap beberapa waktu lalu, setan mengeluhkan dirinya yang sebatas halus nan dijiwai untuk menjadi kambing hitam.

Dan sial, kepalaku selalu penuh dengan teka-teki. Aku ingin menari dengan tuhan, bukan setan, karena tuhan lebih tahu, apa yang menjadi butuh ku, butuh mu, dan butuh kalian. Tanpa tuhan, aku tak akan bisa menari dalam kotak ini, pelacur takkan bisa menari lewat pasangan dada dan vaginanya untuk sang bayi, untuk memenuhi dasar ekonomi.

Sempat terbaca, orang-orang yang paling mengenal tuhannya, adalah penentang yang keras. Semoga aku bisa menjadi penentang yang baik, karena aku kenal siapa tuhan ku. Aku hanya berteman, belum mengakrabkan diriku dalam dirinya. Salam. Semoga aku selalu menari dalam seluncur ini, untuk tuhan yang mengadakan semua dengan dosa dan pahala. Menarilah selagi kau mampu. :)

Jumat, 01 Januari 2010

Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2009

Ibu, ajari aku bagaimana mengucapkan sayang kepadamu, tanpa isyarat, tanpa gelagat yang dingin.
bagaimana caranya aku membalas semua kebaikanmu, semua kasih sayang dan cintamu yang kau bagikan tanpa harga yang pernah kau ucapkan.
Aku ingin selalu bersama ibu, menjalani dunia ini dengan ayomanmu.
Biarlah aku menjadi payung kini, yang melebar, yang menutupimu dari air hujan dan terik mentari.
Aku pasti menjagamu, saat putih itu hadir di helaimu, saat keriput mulai menempel di wajahmu.
Aku sayang kepadamu, untuk hari ibu, untuk tahun-tahun yang terlewat dalam anganku.
Aku merindukan masa, tanpa kenal tiada, tanpa kenal airmata.
Aku butuh bunda bersama ayahanda
Lengkap dengan cengkerama dan canda tawa.
Terima kasih tuhan, telah menempatkanku, bersama mereka.

Pesta Megamendung

Matahari, menjelang tahun baru.
Lalu hilang, ditelan mendung
Besok, mulai lagi, langit biru
Tapi pasti, kembali mendung.

Pesta ini hanya sesaat, sebelum mati,
Sebelum hidup, menjelma tragedi.
Aku tunggu, dirimu, suatu waktu
Sampai kabar, menyuruh burung, untuk insan menyatu.

Satu, dua, jam itu lantang dengan jarum,
Menggeser parodi tengah masa, masih masa.
Ceria, kukatakan, menggantung senyum,
Berteriak riak, dalam sempit, kebaruan masa.

Aku hanya ingin berdoa, dalam malam, dini hari menjelang.
Seperti ruh, halus, tanpa dosa.
Sayang, baik ini tidak terang,
Dalam bangunan, dalam kemasan nista, dalam kerang-kerang sisa.

Bulan hujan, desember kelabu,
Berubah panjang, januari menunggu.
Aku tunggu kabar, dari seberang,
Mematahkan linang, dari kelopak, untuk sengat kumbang.

Airmata dalam wadah, bercampur canda,
Satu himpun pahala, yang tak kunjung bernyawa.
Setan bilang, malam ini, bunyi petasan.
Dia bebas, dalam angan, dalam kunjungan.

Serentetan roda, menyapu debu dari muka jalan
Orang tua itu, mengangkat beban, kaleng kerontang.
Ku hentikan tawa, dan seketika, orang tua itu berjalan
Menyusuri pelesiran tawa, ditengah kita, bukan orang.

Aku tidak ingin senang, di penghujung curam.
Setara, tanpa mengais sejumlah butir air demi beras.
Berdoa, kepada tuhan, bukan doa, tapi prosa.
Bukan prosa, kepada tuhan, tapi doa, untuk kesenangan, umat manusia.

Disini, disana, sama saja.
Sama saja, disana, disini, dalam senja kemudian.
Taruhlah itu benang, dalam gulungan,
Dalam warna indah bersatu, menumpuk asa.

Tuan dan Dia

Dia lebih merah ketimbang mawar, lebih indah ketimbang sakura yang berguguran di jepang. Dia mengelak, entah kabur kemana tanpa pesan yang bertanda, yang menyerahkan isyarat kepada tuan tentang irama. Tuan lupa akan irama, dan dia pergi meninggalkan bekas jarinya di putihnya tuts piano. Waktu itu, dia sempat mendentingkannya dalam hujan sore, malam, kemudian dini hari. Dan sekarang, tuts itu kembali berdebu dengan semut-semut yang berjajar mengerubungi. Jarimu ternyata terlalu manis, untuk semut, untuk semua yang pernah menangkapmu dalam gerhana bulan.

Jangankan manis, dia pun tidak terjangkau oleh nada yang musisi itu dendangkan, dengan pelan, dengan anak tangga yang disempurnakan. Tuan melihatnya sebagai lampu pijar, lampu menerangi segala ruang, terang benderang, menyaingi matahari tanpa terik yang membuat gusar, ini sungguh nyaman, saat tuan menikmatinya di teras taman.

Andai semua itu masih tuan dapat simpan, cinta mungkin hinggap di keduanya. Nona seribu sayang, dia terbang, bagaikan merpati ditelan awan. Tuan hanya punya jejak, bukan tapak, tapi senyum hangat dari dia yang menawan. Ingin dicari kemana dia? Tuan bingung sembari berbaring menelungkupkan wajahnya ke bantal. Tuan pusing. Tuan mual.

Sampai akhirnya, tuan marah besar. Tuan membenci cinta serta cinta atas kebencian. Tuan berharap dia kembali ke awal, dalam tuts piano, dalam irama klasikal kedaerahaan yang kental. Tuan sayang, tuan malang, kembalilah dia, dalam tatapan, dalam lalu lintas pandangan. Radang tuan kini menempel, bukan hanya di tenggorokan melainkan dalam jiwa, hati dan pikiran.

Tuan pernah meminta dia menjadi melati putih di taman, namun dia hanya tersenyum dengan seribu utopia yang terbesit di matanya. Alangkah kaget kala itu, saat dia meraba tuan, tidak seperti yang dia harapkan. Dan setan, kini mengajak tuan berteman, bersama malam-malam di depan dengan seribu tajuk rencana yang dituliskan. Akhirnya, tuan benar-benar kehilangan sepadat bait irama klasikal itu, dan kini, tuan semakin dirasuki dan dijejali dengan lagu-lagu setan nusakambangan. Inilah ujung dunia, dan tuan semakin tidak menemukan dirinya berada dalam hangat anugerah si kuasa. Tuan mati, tuan kini menjelma menjadi mayat hidup tanpa jari. Jari yang mengingatkan tuan kepada dia, yang terlalu manis.

Apa salahku kepadamu? Apa dosaku bersamamu? Aku hanya ingin dirimu, meski cukup untuk melihat saja. Aku mencintaimu bukan untuk mendapatkan sesuatu, namun memberi apa yang ku punya untuk dirimu, seorang. (Tuan)

Tuan malang, kembalilah kepada dirimu sebelum bertemu diriku. Selamat tinggal. Tetaplah mencinta, karena dengan itu, kau bisa merubah dunia, tuanku sayang. (Dia)