Rabu, 13 Januari 2010

mimpi

Ini sudah malam, tidakkah sebaiknya engkau lekas tidur?

Suara manis ibu menyuruhku untuk pergi beranjak dari meja kerja, dengan lampu remang dan beberapa pena berserakan. Aku diam, tidak menggubris. Ibu habis waktu, kemudian pergi. Aku terbiasa dengan seruan ibu, yang selalu mengingatkan kala waktu telah berganti hari, matahari siap memanggang bumi. Tapi aku sudah lelah, pada masa itu, tiap kali ibu menyerukan, aku tidak diberi kesempatan untuk bertanya kepadanya.

Dan ibu tidak pernah menyadari, putra satu-satunya ingin sekali bertanya, dengan kata-kata yang terlalu berat untuk dilepaskan. Tertahan.

Ibu, mengapa aku tidak pernah diberikan kesempatan untuk memiliki cita-cita sedari dulu, selagi aku menikmati masa kecilku?

Waktu itu, umurku masih tujuh tahun, saat aku mulai sering bepergian keluar dengan sepeda butut yang dibelikan ayah. Saat itu pemilu, saat tiga partai masih mendominasi jajaran televisi, dan menghabiskan kertas untuk ruang publikasi. Dari situ, aku bisa memandangi lambang-lambang partai di pinggir jalan yang ku telusuri dengan sepedaku.

Keesokan harinya, teman sejawatku mulai bercerita mengenai cita-cita. Ia mengatakan ingin menjadi presiden karena terkena imbas euforia waktu itu, dan sejawatku yang lain mengatakan, aku ingin menjadi pilot, menjadi dokter, dan semua profesi yang terlihat indah di mata mereka. Kemudian mereka berbalik bertanya kepadaku, cita-citamu apa? Aku dengan datar menjawab, tidak ada. Hah? Mereka tercengang. Mereka heran.

Lalu aku kembali kerumah dan segera mencari ibuku. Kemudian aku menyeruduk, memeluk ibu sangat erat.
Kamu kenapa? Ketus ibuku.
Bu, aku ingin bertanya sesuatu, pintaku dengan nada rendah dan wajah yang terus kutenggelamkan dalam perutnya.
Jangan sekarang nak, nanti saja, ibu masih ada urusan. Tiba-tiba ibu meninggalkanku dan berjalan ke ruang keluarga dengan maksud menghubungi kawan lewat pesawat udara.

Dari situ, aku tidak pernah lagi bertanya kepada ibu tentang diriku selama 16 tahun lamanya. Aku selalu memendam. Aku selalu marah kepada diri sendiri. Mengapa aku tidak punya cita-cita? Tanyaku dalam hati. Mengapa aku tidak diberikan mimpi untuk menjadi sesuatu yang bakal kukejar nanti, seperti lirik laskar pelangi yang berbunyi “mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia”. Dan ternyata, aku tidak bermimpi, aku tidak pernah menaklukan dunia ini. Aku hanya mengenal duniaku dengan semua yang bisa terlihat dengan mata, yang bisa terdengar dengan telingaku, diri sendiri.

Aku tumbuh dengan mimpi yang utopia, dan menjadikan masa kecilku sebagai dendam yang tidak akan pernah terbalaskan. Aku ingin menangis, sendiri, bersama mimpi yang meninggalkanku tanpa pernah membukakan pintu, walau sekali. Sekarang, umurku sudah menginjak dewasa, usiaku sudah dimakan untuk bekerja, apa adanya. Aku mendiami profesi yang sama sekali tidak pernah aku adakan, dalam mimpi. Sekali lagi, aku tidak bermimpi.

Ibu tidak pernah mengerti bagaimana aku tumbuh, bagaimana aku ingin menjadi seorang yang kaya mimpi agar bisa kukejar, nanti. Sepertinya lebih baik aku tidak dilahirkan, karena aku tidak bisa memilih.

Itulah yang selalu kukatakan kepada kertas, itulah yang selalu kupeluk kepada pena. Sampai suatu ketika aku menyimpulkan, lebih baik memilih untuk tidak diberikan hidup daripada hidup untuk tidak bisa memilih. Aku sudah kalah. Keinginan untuk bermimpi sepertinya terlambat. Ibu, terima kasih telah melahirkanku tanpa mimpi. Semua orang bermimpi, sukses dalam dunia dan akhirat. Keputusan kedua (akhirat) akhirnya aku terima dan menyerahkan semua kepada tuhan. Aku ingin mati, dan tuhan, tolong hidupkan aku kembali dalam dunia berikutnya, dengan mimpi semua anak di indonesia. Amin. Sekali lagi, tolong tuhan.

what you scare of? nothing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar