Minggu, 14 Februari 2010

kemungkinan sayonara

sudah kubuang bedilku, mungkin hilang
buruanku, entah terbang dan melayang
aku tertunduk, seribu sayang
mereka bilang, aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang (C.A)

peduli setan, aku merasa tumbang.
tapi senyum itu, penghilang bimbang
akhirnya kutemukan, sekuntum kembang
di tanah ini, untuk disimpan dan disayang.


Akhirnya kuberanikan diriku berjalan dalam gelap, sore itu, terasa gagap. Aku tahu hujan itu bakal turun, mengguyur bumi, dan tentunya, diri sendiri. Dia tepat berada di kiri, entah pucat pasi, entah terbakar birahi. Aku gugup, terlebih mendung ini berbarengan dengan geluduk. Aku telah mencium sayonara, tapi hujan sudah menyela, menungguku untuk kembali bertanya. Sayonara, ternyata bukan untuknya, tapi yang lain, resah dan gelisah. Aku pernah melihatnya terbit, resah, dan itu cepat berlalu.

sekarang resah telah hijrah, mungkin singgah ke lain rumah.
dengan indah, perlahan tapi mewah dan megah.
dan gunjang ganjing itu kini berakhir,
i love you
love is to share, and i do, i need to share it with you
:) (Putri)



sayonara audience. (the end)

dimas .

Rabu, 10 Februari 2010

kemungkinan sayonara

sudah gelap, saatnya kembali.
buruanmu lari, cepat sekali
lepas bedilmu, buang ke kali.
saatnya, boncengi pagi, ke hari hari nanti.


titik, koma itu tiada lagi.
seru pun mati
tanda tanya, masih ada, menanti
spasi, jelas sekali.


sudah habis masa, tanpa kenal tiada, tapi aku pernah membukanya. saatnya kembali ke dunia, yang dulu pernah kucari, dan sekarang mulai diteliti lagi. sudah, aku tidak ingin bermain api, dengan ribuan pinus yang menangis meniti mati.

sayonara.


kemungkinan sayonara (bagian II)

kemungkinan sayonara

lekas, bawa bedilmu
bidik buruanmu, awas, jaga mata itu.
target terkunci, tapi ternyata, itu hanya kayu, cuma semu
gumam, sial sekali, menghentakkan sepatu.


kali ini dia terbit, namun senja kala cepat datang, membawa merah itu menghilang, perlahan. setidaknya aku pernah melihatnya terbit, meski sebentar, tetap saja indah. dia cepat berlalu, entah kenapa, otakku masih terbayang, dinginnya senyuman saat dia berjalan disampingku. mungkin hina, mungkin sedikit malu berjalan beriringan. sudahlah, dia tetap tak menyambut, dia hanya kalut, saat itu, mungkin sampai habis waktu.

obsesi, pergilah saat malam ini berganti pagi.
biarkan dia menari dalam kenangannya, sampai mati.
dan kota ini menjadi tahi, seketika, saat mulutnya berucap
aneh, mendadak saja, jumawa itu terkapar tanpa senang mengecap.


kemungkinan sayonara. (bagian I)