Selasa, 22 Juni 2010

aku tulis

aku tulis, rasa-rasanya hati menjadi gamang;
liar tak terpecar.
aku tulis, kira-kiranya dalam diam, gerak menjadi habis.
mundur dan terkikis.

kulihat wajah yang kuyu, kubiarkan setan bermimpi basah.
lalu kita pergi tak kemana, sendiri;
dengan kaki-kaki yang terlipat di atas ubin.

tangisku berkapur, rambutku mengeriting.
aku punya lagu yang tak selamanya merdu.
ada diriku, ada diriku.

mata yang sayu. bawalah aku menjadi sesuatu.
biarlah babi menjelma harimau.




Jatinangor. 19 Juni 2010
Redbook

Minggu, 20 Juni 2010

suatu hari

Oh, daun yang jatuh cepat berlalu dibawa angin kelabu.

Ia naik lagi, ia pergi ke pohon lainnya.

Aku tumbuh di cabang batang seribu.

Ditinggalkannya, aku derita hidupnya.


Pantun-pantun dari deru sepatu kita,

Membuat ramai alam semesta raya.

Dan kita terlupa, mendadak berhenti untuk tertawa.

Kemudian mata mulai menangis, ia tak tahu dirinya sangat manis.


Ada rindu dibalik dirimu,

Itu aku dari kemudian hari-hari yang berlalu.

Lemah kaki-kakiku, teriak hati-hatiku,

Aku ingin meluncur, pergi bersama pelangi.

Suatu hari, waktu disanalah.

Jumat, 18 Juni 2010

tuhan juga Uang

aku jelek, bagaimana bisa aku menjadi baik dan rupawan? ada pengemis di pinggir jalan sana, tanpa busana. dan semua orang berkata, "dia jelek". kemudian persepsi tentang baju saja yang melekatkan itu kepada pengemis. karena ia tanpa busana, karena ia duduk sambil menengadahkan tangan. jelek dibilangnya.

sedangkan ada wanita, dengan tubuh sintal dan selaras dengan mata, dengan busana motif bunga, cantik dan bagus dibilangnya. apa karena sebuah busana, profesi, atau mata yang membikin semua itu tampak berbeda?

aku merasa tubuh, hati dan kesemuanya yang aku punya tidak berbeda dengan pengemis tadi. pengemis itu punya tubuh, aku juga punya. aku punya hati, ia juga punya. aku punya busana dan ia tidak, tapi aku jelek sama sepertinya, lalu aku ini jelek atau tidak? mereka bilang aku jelek. karena apa? aku, katanya.

loh, bagaimana ini? mereka bilang, aku memang memakai busana, tapi bukan motif bunga. oh itu, memang aku tidak punya. apakah mata cuma ingin melihat yang cantik, elok, indah, menarik, baik dan bagus? sedangkan jelek tidak dilihat? begitukah?

aku juga tidak mengerti. apalagi, semua orang berusaha menutupi kejelekannya. benar begitu bukan? tapi pengemis itu tidak. ia berani-berani saja tampil begitu. muka kusut, badan lusuh dan mungkin saja bau. baju compang-camping atau barangkali telanjang dada. ia biasa saja hidup seperti itu. karena uang bukan?

dan lagi-lagi, uang adalah segalanya. dan manusia bukan apa-apa tanpanya. ia bisa membeli keindahan, kecantikan dan sebagainya. ia juga sengaja menyewa algojo untuk membasmi kejelekan dari muka dunia. untuk itu pengemis meminta uang untuk membeli kecukupan. dari keindahan dan ketercukupan, semua bergantung kepada uang.

digantung-gantung, dicekik, dijerat dan ditikam. apalagi kalau ada sekata hutang.

aku jelek, bagaimana bisa aku menjadi baik dan rupawan? uang kuncinya. jika kamu tidak punya uang? kamu bisa bertahan, tapi hanya sementara. kemudian mati?mungkin saja, karena manusia adalah mahkluk sosial. bersosial kepada siapa? kepada mereka yang punya uang untuk dipinjami. apa tuhan punya uang? tidak, uang itu adalah tuhan. bagaimana bisa?

lihat saja, lebih banyak recehan tersebar di lantai kamarmu daripada sujud sembahmu kepada tuhan. betul bukan?

malam bulan sabit

di belakang hujan ada malam berbulan sabit;
nyalanya mencubit.
senyumnya dengan rintik menghaluskan debu-debu jalan;
sementara mataku, menangkapmu di sela genting rumah itu.

dingin sembilu dengan angin yang berpacu.
degup mengintip, adakah hujan aku bersamamu;
bulan itu berjaga malu di depan pintu;
adakah aku adalah aku;
yang telah pergi, meninggalkan masa lalu.
adakah itu, senyum-senyum baru, jauh dari album biru?

perempuan di mataku

Perempuan, ada yang membuatku berpikir. Bukan bermain, tapi peristiwa di sekitarku. Seperti waktu yang bertanya pada dirinya sendiri, perempuan, kamu berada di guratan keningku. Berjalan dan menjalar, seperti kaki-kakiku adalah kamu. Dan tapak-tapak atau jejak di pasir-pasir pantai, terdapat kamu, perempuan di pinggir samudera. Perempuan di jauh kota.

Perempuan muda, selalu bertanya tentang dirinya sendiri, dan aku adalah awan yang memberikan hujan atas pinta jawabmu. Perempuan, lihatlah di masa kecilku. Terlihat kamu adalah wanita. Wanita yang memburu waktu demiku. Wanita yang mau dibujuk rayu oleh depanku semu.

Perempuan, menyalaklah seperti anjing, senyumlah seindah kupu, dan belailah selembut kucing. Duniaku yang menanti terjadi dan dijadikan olehmu, perempuan. Perempuan, matanya selalu berkeliling di selang-selang waktu. Dia tiada memilikiku dulu. Dia, yang sudah berubah menjadi wanita, memintaku melangkah tanpa warisan kata-kata. Perempuan, malangnya kita dipertemukan. Andai saja besok masih ada, andai saja hujan tak lagi bercanda, cuma kita yang menggenggam semua, satu keranjang penuh cerita, satu baskom penuh cinta. Abadi. Selamanya.

Perempuan, apakah menjadi wanita itu sungguh berbeda? Apakah masa yang merentangkan dunia berada dalam dua, perempuan dan wanita? Keduanya, susah sekali aku sentuh. Wanita, cepat sekali kamu menguburkan dirimu dalam kenangan. Kembalikan wanita menjadi perempuan, supaya sederhana, supaya ia tak bisa melahirkan tanpa benih sperma. Masih suci. Belum ternodai.

Sehingga aku tak bertemu kamu. Supaya tiada tangisan, takkan ada sebuah penyesalan. Hingga emansipasi yang terlihat samar dalam Kartini. Aku yang meminta? Salahkah Tuhan dalam penciptaan-Nya? Jika ada setitik tangis, itu bukan aku, itu penyesalan, itu kekesalan. Jika ada sebahana tawa, ketahuilah itu bukan aku, itu kesempatan, itu satu-satunya kesempatan, kamu perempuan. Sebuah sentuhan perempuan.

Aku tidak minum susu darimu. Aku minum dari kotak air berwarna. Dan itu bukan susu. Itu cuma mainan. Kita tak pernah bersentuhan, kita dibiarkan jarak, sampai suatu saat cakrawala menagih janji. Aku tidak bisa menepati. Linglung, bingung, tergopoh, jatuh bangun. Perempuan, jangan jadi wanita. Itu akan membuatmu tua, dan membiarkan kesukacitaanmu padaku hilang bersama luka.

Perempuan, dengar, jangan tutup telingamu.
Perempuan, kesini. Lihat bulan itu, bagus sekali seperti ibu
Perempuan, pakai bajumu, udelmu membolong kesana kemari. Aku malu
Perempuan, aku butuh kamu, seperti siang butuh matahari
Perempuan, ikat selendangmu. Awas bayimu. Kamu sudah jadi wanita.
Perempuan, jangan pergi dulu. Aku cinta kamu, seperti Tuhan mencintai bumi.

Perempuan. Apa yang menjadi kendala saat menjelmamu? Tak pernah terbayangkan. Sekalipun, susah sekali terpikirkan. Kamu yang membuatku dari jatuh kembali berdiri atau membunuhku dari melihat kepada buta sama sekali.

Disini hujan, rintik rindu dan sendu. Kasat mata dan mendayu. Melayu sekali. Wanita, jangan coba ambil perempuan itu. Kamu belum siap mencakarnya, merenggutnya dari nikmat dunia. Tidak ada sorga kata Pram, karena ini bumi, bukan akhirat. Karena ini Indonesia, bukan luar negeri. Perempuan belum ingin bekerja, ia masih ingin bertamasya dengan mentari, dengan ilalang yang tinggi. Ia masih ingin menari seperti balerina dan bernyanyi seperti Arina Mocca. Perempuan sejati tidak menangis. Ingat, itu cuma kesal, bukan kamu. Itu cuma sesal, bukan badanmu.

Ingat Hudan Hidayat? Ingat Mariana Amirudin? Mereka berkata jika tidak salah, “aku kosong, bukan tubuh, bukan diriku”. Perempuan tidak mengakhiri cerita harinya, ia akan terus membagi sebanyak matahari membagi cahaya kepada orang, tumbuhan, hewan serta imaji. Perempuan jangan kecil lagi. Lihatlah dirimu menjadi perkasa, punya senjata, tapi bukan wanita. Awas, bukan wanita. Aku tidak ingin ada kej. Aku tidak ingin ada maki. Aku cuma merasa, wanita terlalu sibuk dengan dapur, sayur, dan uang untuk anak-anaknya. Uang adalah anaknya. Dan wanita adalah mesin. Mencetak lembaran, masih banyak tinta untuk nominal uang.

Menjadi wanita sama saja menunggu tua seperti yang tadi. Tidak hanya anak yang menjadikannya mesin dan menunggu, tapi kebutuhan barangkali, mungkin saja, untuk biaya ke sorga atau biaya sanjungan tinggi saat anaknya wisuda. Hasil uang tidak berguna. Hasil perasaan dan kasih sayang lebih berarti. Lihat saja Tuhan, ia tidak pernah membeli. Malaikat pun tak dibayar gajinya. Namun Tuhan terlalu sayang, sampai hina dan haram sudah aku laksanakan, ia tetap sabar, ia tidak meninggalkanku dalam kesendirian dan dosa-dosa yang tak tersadari.

Perempuan. Aku punya kepala botak. Aku ingin di elus. Tanganmu sama bukan dengan Bunda Maria? Kata-katamu hangat bukan, seperti Buddha? Aku tahu kamu, perempuan. Aku ingin kita sejajar, saling membutuhkan. Tapi, apalah artinya utopia jika kenyataan memang benar-benar menghindar dari dirinya. Kadang, aku benci diriku menjadi musuh dan merasa berkuasa. Kadang, aku terlalu menyayangimu sampai aku takut digeser olehmu. Kadang-kadang, jarang-jarang, manusia bisa hidup harmoni. Tapi perempuan, bukankah kemarin kita bertengkar hebat, seperti tokoh-tokoh mainan televisi yang tiada henti saling hujat?

Hari ini, sekarang dan nanti, perempuan, cuma satu permintaanku, “aku ingin disayang”. Andai saja Tuhan tak menghukum Adam gara-gara sebiji Khuldi.