Selasa, 24 November 2009

Benjamin The Devil

Sebagian menyebut ini adalah kalam. Dengan segala sembah sujud yang pernah dilaksanakan dan kalimat-kalimat suci yang sering terucapkan di tengah rakaat-rakaat. Mereka bermimpi, bermimpi menjadi manusia yang hidup untuk akhirat. Aku pun ingin begitu, tapi nyatanya, takdirku malah menjadikanku seorang yang biadab.

Aku tidak tahu dimana diriku sebenarnya. Aku hanya hidup di bumi tempatku berpijak dan awan tempatku beratap. Aku hanya memiliki kaus ini. Kaus yang bertuliskan “am i a human?”

DAN AKU TIDAK PERCAYA KEPADA TUHAN

Aku tidak ingin menjadi manusia. Aku tidak ingin diberikan senyuman dari iming-iming tuhan atas surganya dan aku tidak ingin ketakutan atas ancaman-ancaman tuhan atas neraka jahanamnya. Sejak kecil, orang tuaku telah berpulang ke tempat sebelum ia dilahirkan. Agama yang menempel pada orang tuaku kemudian turun dengan pasti dan bukan kentara. Kental.

Saat ini, aku berada di rumah. Tanpa keramik putih yang selalu dibersihkan dengan porselain, tanpa dinding yang dibangun dengan semen berbandrol tinggi. Tak ada perkakas dalam rumahku, tak ada barang pecah belah yang membuat gaduh. Hanya ada selembar kain yang bisa dipakai untuk apa saja, bahkan untuk hal yang tidak bisa disebutkan namanya.

Kemudian, setelah memikirkan kenapa aku ada di dunia dan berwujud manusia, aku langsung berjalan menuju dapur yang tak ada tempatnya. Rumahku adalah dapur, ruang tamu, kamar mandi, dan ruang tidur. Menjadi satu. Aku menyobek kopi hitam yang baru saja kubeli. Kumasukkan pasir-pasir kopi itu ke dalam gelas yang bukan beling- bukan fragile.

Sementara itu, aku gugup. Aku memandang gelas plastik bekas yang kupungut tadi dan kemudian mataku merengut dan menarik udara masuk ke dalam, sangat dalam. Gelas itu berwarna putih dan ada bekas gincu yang menempel, berkerak. Kopi menjadikan putih menjadi hitam apabila dilihat dari atas, dari sisi tajam aves, bundar. Aku bergeser sedikit ke kanan, gelas kopi itu masih kugenggam.

Aku mencoba membayangkan dan membayangkan. Andai saja….. kemudian dalam hati ku terdiam. Mulut yang kering dan berdarah akibat kering ini tak bisa terucap. Kemudian tergerak, seluruh tubuhku menjadi sigrak dengan mendobrak pintu dan keluar. Aku memandang matahari, aku menghirup udaranya yang panas. Lalu aku berpikir, jika aku adalah kopi, aku adalah hitam dari ciptaan Tuhan yang ia maksudkan berstatus putih. Ini adalah jalan yang kupilih. Entah panas neraka itu sangatlah panas dan melelehkan, namun aku masih ciptaan-Nya yang gagal ia putihkan. Hey Tuhan, apabila takdirku ini ditangan-Mu, ubahlah aku menjadi Setan yang terbiasa dengan jilatan api neraka-Mu.

Aku adalah seorang manusia yang Kau biarkan melawan-Mu. Itu sebabnya kau menciptakan neraka? Itu sebabnya kau mengindentikan tempat haram itu sebagai kuning kecoklatan, seperti jilat api yang berkobaran untuk orang sepertiku?

sudahlah. aku terlalu bodoh untuk hal ini. Karena aku lahir dengan nama Benjamin. Benjamin The Devil.



fiction.
dimas.

Bilik Kubik (Sesi Satu)

Aku menunggumu menaruh lengan di atas dada ku. Selama kita masih satu jalan, selama kita masih satu angan. Saat pagi tiba, kau membangunkanku dengan kecupan yang membasahi keningku. Saat siang mulai terang, kau menaruh senyum bercengkerama dengan ejekan muda kita. Saat malam datang, kau meniduriku layaknya seorang dewi yang berbaring di atas awan yang putih kental tanpa angin yang kencang.

Sayangnya, selama aku menunggumu, dirimu tidak pernah hadir kembali. Kemana tawamu yang selalu melebarkan senyumku? Kemana candamu yang mengocok perutku? Aku masih menunggumu menaruh lengan di atas dada ku. Dengan dengus hangat kau selalu mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pernah aku pinta. Kau menjadikanku seorang ratu pada silam itu.

Sewaktu kita terbaring di sofa itu, bulu kudukku selalu merinding. Selalu mencari celah untuk mendapatkan cintamu yang kau satu persatukan dengan birahimu setelah menjelalat mengarsir tubuhku. Itu dulu, itu hanya mimpi sekarang.

Setelah percekcokan itu, kau menjadi buas, kau menjadi beringas. Aku tahu masalah kita bukan hal yang sepele. Namun, minuman yang kerap kali kau teguk itu membuatku tersadar meski selalu saja enggan untuk ku bayangkan, “aku mungkin masih wanita di atas ranjangmu, namun dia adalah sex mu yang membolak-balikan tubuh dengan sentuhan pori-pori sperma saat dia menyetubuhiku.”

Aku tahu kau mabuk, aku tahu kemejamu selalu lecak dengan kerahmu yang jingkrak tiap kali kubukakan pintu rumah kita. Aku tidak mengerti, aku pun tak paham mengapa kau menjadi begini. Satu hal yang ingin ku tanyakan kepadamu adalah, kemana dirimu yang dulu mengharamkan barang macam itu? kemana dirimu saat bersujud ketika adzan mulai dikumandangkan?

Aku hanya punya bilik ini, bilik yang hanya berbentuk persegi, kotak dengan hitungan matematika memakai rumus yang berkubik-kubik. Sebelum kau pergi dengan tamparan yang bersarang di pipi ku, aku selalu berdoa dan meminta, bukan kepada Tuhan tapi kepada Setan supaya kau menjadi Setan itu yang dibakar dan dikembalikan kepada Tuhan.

Untuk itu, aku tidak ingin melupakan malam kita, hari kita, bulan kita, tahun kita, dasawarsa kita, dengan saling menghujam. Dirimu memang kejam dari sudut pandang kesusilaan, namun kau berbesar hati ketika kau mengajariku cara bersusila yang baik yang benar, sebelum kemejamu berubah menjadi lecak, sebelum kerahmu berubah menjadi jingkrak, tiap malam dan tiap malam kemudian.



dimas.

Perbedaan

Tidak seperti pelangi, kali ini tidak berwarna. Kamu hanya diam. Kamu menungguku datang lagi dengan senyuman. Kamu menunggu, kamu termangu. Aku pun tak kunjung datang sampai waktu habis dimakan malam.

Aku masih berdiri di jauh sudut kota. Aku menerawang handphone hitam yang berbentuk kotak persegi. Aku ingin sekali memijit huruf-huruf itu sampai pagi bertemu pagi. Sampai saat ini, aku juga masih diam, hanya memikirkan.

Tiada gading yang tak retak, begitupun kita, berusaha menempelkan perbedaan, tapi kini perbedaan itu memilih untuk mengambil sikap suatu tindak.

Kini sayap burung itu masih di simpul, tidak mengepak. Perempuan itu beringsut cabut ke kamarnya dengan seribu jejak. Dalam dekapan guling, kadang seperti terisak, kadang seperti cekikikan. Aku pun mulai membayangkan dirinya, tersenyum tanpa harus memikirkan sesuatu yang membuatnya resah dan gelisah.

***

Sampai bumi semakin memutar dengan bulan dan mataharinya. Hanya ada cinta, yang kini hanya bisa terbayang di halaman muka. Aku mencintaimu dengan cara yang berbeda tanpa harus mengeratkan kembali genggaman tangan kita berdua.

Dan gelap, sedikit demi sedikit kuhapuskan. Dalam setiap pagi, aku membuka daun pintu itu untuk menerima segala pancaran. Ketika suhu beranjak siang, sekarang hanya bisa membayangkan, betapa berkeringatnya kita berdua saat terbuai dalam cengkerama. Aku mengerti bagaimana itu silam, semoga kamu pun sepaham.

Aku tidak mengerti apa itu cinta, sampai aku bertemu denganmu menarikku masuk ke dalamnya. Aku hanya bermain, seperti bocah dalam perosotan. Tertawa bahagia sampai sang ibu datang menjemput, hilang sudah kebahagiaan dalam licinnya perosotan.

Dalam kata, aku hanya bisa berdialog. Meski monolog, hanya abjad yang bisa membayangkan apa yang sedang ku pikirkan tanpa pikir panjang. Saat semuanya menjadi kenangan, hanya ada bayangan yang hadir namun tak bisa tersentuh. Aku memilikinya walau hanya dengan kata-kata. Aku mencintaimu dengan seribu kata dan seribu makna. Hanya itu, terima kasih.


(daripada usang di PC lebih baik ditaruh disini. hehhehe)
dimas.