Senin, 22 Juni 2009

Lorengmu Kecoreng Pak !!!

musim ekstrim
kenapa angin itu meliung membuka bencana?
mengantar mereka, pejuang dari moyang maritim,
duduk manis disamping-Mu, Tuhan, tanpa alasan berlencana.

kerabatnya terisak, menangisi
baju loreng, melekat lecak dalam pukaunya.
besar, kekar, dan kini gosong berpupur pasi.
berdoa, merah putih kemudian bertanya tanda dan bertanda tanya.

harusnya, nyawa itu melayang melenggang,
dalam tegang, baku tembak perang,
tertembus selongsongan, bukan memutar gasing,
yang kau mainkan seraya terhunus meruncing

baret itu milikmu,
bintang itu kehormatanmu
ayolah sayang, berhenti berpamer!
tengoklah! mereka terpanggang lalu melumer

tolong jangan coreng itu loreng,
dengan retorikamu, dengan kunjungan
rehatlah! istirahatkan soal janjimu, turunlah ke lereng
lihatlah! INDONESIA membajuhitami kenangan berdarah kenangan

(untuk kecelakaan yang meminta rentet dan untuk duka yang menjadi nasib masa kabinet, semua berduka. ya, benar, semua berduka tanpa cita)

Selami Dirimu dalam Diriku

Orang itu mengalungkan rosario dibalik kaus yang dikenakannya.
Dan dia, menggenggam erat tasbih di sela jemarinya.
Tuhan, kumohon jangan jadikan kami yang beragama,
berputus asa mengenalmu, di setiap pagi, siang, dan malam.

Di setiap hujan yang kau anugerahkan, sebenarnya aku lelah,
mencarimu dalam basah itu.
Tanpa memerdulikan kata mereka, sifat kesempurnaan-Mu kini kulekatkan, kudekatkan, kusimpan
dalam rohani yang sempat kutanggalkan.

Karena, semua, merasa sementara, seperti bumi yang mengancam lewat kiamat,
aku tersenyum masih mencari dirimu.
Dari agama yang telah kau bentuk
hingga penyelewenganmu yang kau kutuk,
kau seharusnya membiarkan mereka, pergi jauh ke dalam hatinya.

Dalam pemahaman yang mungkin saja kau titahkan,
berlaku sempurna hanya untukmu.
Dan kami, hanya jenar diantara emas dan ayat.
Karena ujung jalan ini, kami melihat kami menjadi mayat.
Sebelum itu menjadi,
hendaklah kau mempersilakan kami mengenalmu
dari tadi, kemudian, dan kemudian kemudian nanti.
Karena tidak sama, diriku, sejawatku, dengan mereka yang menyelam bersama kalam.

Sungguh,
profan ini masih ringan.
Berikan pemantik agar aku mencari dalam lelehan nantinya.
Karena dirimu tidak serupa jarum dalam jerami.
Aku tidak bisa menemukanmu meski kau tidak tertumpuk.

Waktuku Waktumu Kian Terkikis

Kemasanku kini padat
Maafkan waktu itu, waktuku waktumu kian terkikis
Dan kamu, semoga tidak berat
Menggandengku di bawah hujan rimis

Waktu, detik sepersekon
Menjadi tabu, dramaku menjadi pelakon.
Kau, mungkin hanya bisa menangis
Bukan aku, tapi waktu yang manis.

Sepi, sangkaanmu atas dunia
Memberi anggapan aku, bahkan tiada
Terlalu lelah, cekoki lagi
Oleh perangai, terbangun, meracau sejak pagi

Aku bukan waktu, cantik
Menjadi debatan kala terbang itu sputnik
Apa itu cinta dan waktu?
Karena aku cuma ingin, KAMU.

Puncak Dua Belas

Dua belas, Jarum itu menyatu, vertikal satu.
Kini, bertambah dan hilang deret belas
Kemana larinya usia itu?
Hilang, kebelakang dalam kenangan memelas

Detik. Coba kau berbalik
Lihatlah, aku malu tersipu
Dari ranting mata itu, mengawasiku
Dari belakang batu itu, berbisik

Esok hari diam-diam menilik
Usia fajar dan hitungan hari
Jadi mentor bertopeng, mengusik
Karena hidup-mati saing berlari

Puncak dua belas
Kalungkan itu dalam simbol, hidup.
Saat embun membias di bening gelas
Aku tau, semakin lama, jengah dan renta menjadi temanku menghirup.

Rabu, 03 Juni 2009

Nafsu dan Irama Palsu

new version
Sebuah surga dimana kelamin menjadi haram
Ada noda yang bertanya sedang jatuh dan karam
kemana murka dan publisitas mencakup tinggi
sementara posisi seperti polisi
hanya diam tanpa aksi
menunggu telpon dan uang embel-embel sesuap nasi
semua polah ini mengerubungi
tatanan nadi seolah menyetubuhi
apatis
egois
diluar kenistaan yang kau anggap najis
Nafsu ini menjamur
Seperti babi yang melumpur
Ratusan
Kepingan wafer yang terpariwara
menyetop diksi dan makna
Mengenyam suara dari melodi
Menatap estetik dari balik kemudi
Raga hitam semakin panas
mengacungkan jari tengah dan dilacurkan ke dalam kertas
kosmik
kebhinekaan raut dan keriput menjadi mimik
gelombang kumpulan tanah bergetar eksotik
utara kembali selatan
Perihal darah yang dikucurkan
Pelbagai masalah yang ditimbulkan
Aloha
Badan ini memerlukan irama
Membangkitkan seperti pejuang empat lima
Dan sekarang
Dalam alunan suara dari liang tenggorokan
Aku teriak sekencang-kencangnya
dan terkencing bertanya-tanya

old version---------------------------------------------------------------------------------]
Sebuah surga dimana ku berpijak
Ada noda yang ingin ku mengelak
Dari mei ke juni
Dari setiap rasa di akhir masa usia
Nafsu ini menjamur
Seperti babi yang melumpur
Ratusan
Kepingan wafer yang terpariwara
Tak cukup menggerakan hati dan kata
Mengenyam suara dari melodi
Menatap estetik dari kemudi
Raga hitam semakin panas
Melontar tanya kepada dirinya yang di atas
Semua
Perihal darah yang dikucurkan
Pelbagai masalah yang ditimbulkan
Aloha
Badan ini memerlukan irama
Membangkitkan seperti pejuang empat lima
Dan sekarang
Dalam alunan suara dari liang tenggorokan
Aku teriak sekencang-kencangnya.


disaat semua realita menatap karunia. semboyan dahaga kerap disajikan dari tiap ke dalam tiap anugerah. merasa tidak terpuaskan dan sengaja mengubur orang lain demi kepentingan. sesajen yang cetek dengan harapan yang menggebu.