Minggu, 19 Desember 2010

selang

pada waktu yang selang,
dan langit sedang dirundung malang,
ah, kita masih duduk,
untuk tujuan yang tak satu setan pun mengerti.

atau Tuhan yang berbaik hati,
menempatkanku padamu,
atau memang bumi,
yang pasrah untuk kita tempati selalu?

Kamis, 02 Desember 2010

Gaib

tuhan, manusia gaib
atau manusia yang gaib, dalam alam tuhan yang nyata?
lalu kehilangan menjadi keberadaan,
saat semua menjadi kekal dalam dunia.

aku tak pernah sampai ke langitmu,
apa memang ada, ruangan disana seperti petak kamarku
dan aku tak pernah melihatmu,
aku hanya tahu, bahwa ada dirimu, yang tak ada, andai logika.

Kamis, 11 November 2010

Memulai

telah kukatakan, sebagian waktuku telah dihabiskan

belum kuhabiskan, aku, padamu perempuan

dan kita berdiri bagai monumen, dimana kekal sebuah kenangan

sehingga tak pernah dilupakan, kita, sebagai plesiran.


dan kuseka namamu, atau telah terseka nama kita

pada ujung dunia, dimana perjumpaan telah mengawali

satu bundaran tak bertepi, saat aku sedang sendiri

dan kamu tak punya nyali, sampainya suatu ketika, kita tak sadar telah memulai.



12 November 2010

Minggu, 07 November 2010

mata

ada apa dengan mataku, yang kini merah dan bernanah.
setianya ia pedih pada pagi, dan kusam di lain bagian hari.
tiap ku berkaca, kutemukan tonjolan kecil.
seperti kulit-kulit terluka, yang tergaris persis, di depan bola mata.

kenapa, orang bertanya.
menyipitkan mata, bergetar bahasa tubuhnya.
pandanganku kabur, ku biarkan kaca yang menyangganya.
nyatanya, aku tetap sakit, tak tahu diagnosisnya.

lagu dan puisi

kudengar lantunan melayu kondang, bercampur nada sumbang
ibarat panggung yang megah dengan terpal jadi penopangnya
jasadku berdansa, darahku bergejolak bagai ombak
tuturku tak keluar, cuma meram, aku cium nada itu, semarak.

dan saat puisi menjadi tonggak unjuk gigi,
aku yang kesekian setia kepadanya
dan habis malam tumbuh pagi,
akulah udara, yang dasamuka pada alamnya.

kesempatan

padanya, aku temukan batu logam yang cemerlang
di belantara pasir putih yang tersebar sampai ujung arena sana
aku menyimpannya, sebagai kenangan, sebagai benda jasa
dan yang kekal mengerti, kenapa kita hidup seperti ini
ditemukan, kemudian disimpan.
atau dibuang, tak terpakai lagi.

bubuhkan butir sayang, cinta mati niscaya tumbuh lagi
selagi kesempatan menghampiri, orang bilang tak datang dua kali
sesibuknya, alangkah nikmat, membuat diri dalam kertas
atau foto, biar terseka yang tak kembali lagi.

Sabtu, 06 November 2010

The Differences between code of ethics from AJA and AJI

hukum dan etika pers:


AJA CODE OF ETHICS

1. Report and interpret honestly, striving for accuracy, fairness and disclosure of all essential facts. Do not suppress relevant available facts, or give distorting emphasis. Do your utmost to give a fair opportunity for reply.

2. Do not place unnecessary emphasis on personal characteristics, including race, ethnicity, nationality, gender, age, sexual orientation, family relationships, religious belief, or physical or intellectual disability.

3. Aim to attribute information to its source. Where a source seeks anonymity, do not agree without first considering the source’s motives and any alternative attributable source. Where confidences are accepted, respect them in all circumstances.

4. Do not allow personal interest, or any belief, commitment, payment, gift or benefit, to undermine your accuracy, fairness or independence.

5. Disclose conflicts of interest that affect, or could be seen to affect, the accuracy, fairness or independence of your journalism. Do not improperly use a journalistic position for personal gain.

6. Do not allow advertising or other commercial considerations to undermine accuracy, fairness or independence.

7. Do your utmost to ensure disclosure of any direct or indirect payment made for interviews, pictures, information or stories.

8. Use fair, responsible and honest means to obtain material. Identify yourself and your employer before obtaining any interview for publication or broadcast. Never exploit a person’s vulnerability or ignorance of media practice.

9. Present pictures and sound which are true and accurate. Any manipulation likely to mislead should be disclosed.

10. Do not plagiarise.

11. Respect private grief and personal privacy. Journalists have the right to resist compulsion to intrude.

12. Do your utmost to achieve fair correction of errors.

13. Guidance Clause

14. Basic values often need interpretation and sometimes come into conflict. Ethical journalism requires conscientious decision-making in context. Only substantial advancement of the public interest or risk of substantial harm to people allows any standard to be overridden.

Kode Etik Jurnalistik versi Aliansi Jurnalistik Independen (AJI)

1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.

2. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.

3. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.

4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.

5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.

6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.

7. Jurnalis menghormati hak narasumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.

8. Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.

9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.

10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.

11. Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.

12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual.

13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.

14. Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan.
Catatan: yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.

15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.

16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.

17. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.

18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.

The differences which i know between this both of ethics are the law institution if the ethics doesnt obey by the people around the press institution. On AJI, the cases of press which are relation with code of ethics will be finished or be judge by code of ethics institution. In the other hand, AJA doesn’t mention who suppose to be responsibility if the ethics are broken.

The other differencess are the information including visualization on sound in the information which they publish. In the ethics of AJA, there are a broadcasting system inside it. Meanwhile, on the ethics of AJI, the broadcasting system which show the visualization and the sound are include to the true information. On AJI’s ethic, information means visualization, sound, and script. In indonesia, the law which discusse about press and broadcasting are separated.

There aren’t significan differencess on both ethics. Last meeting, John Arnold from Monash University said that the Australian press was behind indonesian’s press. John also said that there were 25% of journalist who involved to the AJA and other were independent journalist. They who involved to AJA must be obey the ethics which were written and tried to not broke the rule. In indonesia, i thinnk the ethics which exist right now are the firewall for the journalit to hunt the news.

Obviously, there are so many differences in both ethics. But there are so many problems too that makes me cannot explain it all. In the journalist world, ethics are important at least just for the information. If we publish the wrong news, the risk which grow on the surface will be bigger even biggest than you imagine.

News is for public. When they get the wrong news, the wrong things will influence them in long term. News sometimes become a window through the world but sometimes news become a disaster when it create with wrong orientation. All the mistaken or the beneffit with news comes from who create it. The only person who create the news are journalist.

Resensi Buku: Bahasa Jurnalistik (Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis)

Judul : Bahasa Jurnalistik (Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis)

Pengarang : Drs. AS Haris Sumadiria M.Si.

Penerbit : Simbiosa Rekatama Media

Tahun Terbit : 2006

Cetakan : Pertama, Mei 2006

Tebal Buku : 267 Halaman

Buku “Bahasa Jurnalistik (Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis)” ini adalah buku seri jurnalistik ketiga yang ditulis dan dikaji oleh Drs. AS Haris Sumadiria M.Si. Buku ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan para dosen dan mahasiswa yang senantiasa merindukan dan membutuhkan kehadiran buku-buku panduan praktis jurnalistik dengan harga yang cukup terjangkau. Karena pertimbangan nilai itulah, buku ini tidak memasukkan bab atau bahasan yang secara khusus membahas aspek-aspek sosiologis bahasa jurnalistik.

Buku ini sendiri terdiri dari sembilan bab dan dalam bagian lampiran disisipkan juga pedoman EYD beserta salinan Kode Etik Jurnalistik tahun 2006. Haris Sumadiria berkata bahwa melalui buku ini, kita diajak meluangkan waktu diantara kesibukan, berlibur ke objek-objek dunia bahasa jurnalistik, seperti mengenal arti dan fungsi bahasa jurnalistik serta bercanda dengan kata-kata dan diksi. Kita belajar mendalami dan menghayati karakteristik kalimat jurnalistik, dan istirahat sejenak dengan menulis paragraf jurnalistik.

Dengan merujuk kepada pendapat para pakar, di dalam buku ini, bahasa jurnalistik sendiri diartikan sebagai bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan, dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya atau kontennya dan cepat ditangkap makna dan tujuannya. Setiap organisasi profesi, termasuk profesi kewartawanan, terikat kewajiban untuk senantiasa memberikan pembekalan, pelatihan, dan pencerahan kepada para anggotanya secara berkala. Jika tidak demikian, maka organisasi itu tidak layak dan tidak pantas menyebut dirinya organisasi profesi. Suatu profesi membutuhkan suatu persyaratan tertentu. Dengan persyaratan itulah keahlian atau profesionalitas dapat diciptakan, dipertahankan, dan bahkan terus ditingkatkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika masyarakat dan bangsa.

Persatuan Wartawan Indonesia, adalah sebagai salah satu organisasi profesi dan terikat dengan kewajiban serta ketentuan tersebut. Itulah sebabnya, PWI bekerja sama dengan beberapa lembaga untuk menyelenggarakan pelatihan wartawan. Hasil dari pelatihan tersebut dimasukkan kedalam sejumlah acuan penulisan. Dalam buku ini, pedoman etis itu disajikan walaupun tidak secara kronologis atau berdasarkan urutan peristiwa, namun merujuk pada hubungan dan berbobotnya buku itu.

Hal dasar mengenai bahasa jurnalistik telah dituliskan dalam buku ini. Seperti fungsi utama bahasa jurnalistik, karakteristik bahasa jurnalistik, kata dan diksi jurnalistik, kaidah diksi jurnalistik, karakteristik kalimat jurnalistik, paragraf jurnalistik, ejaan dalam bahasa jurnalistik, gaya bahasa jurnalistik, dan yang terakhir adalah etika dan pedoman bahasa jurnalistik. Namun kajian mengenai kiat dan asas penulisan berita radio serta kiat dan asas penulisan naskah televisi juga dikupas dalam buku ini.

Seorang jurnalis juga harus pandai dan cerdas memilih kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan atau isi pikiran dan perasaannya agar maksud yang akan disampaikan menjadi menjurus kepada intinya. Ia juga harus piawai merangkai kata dalam kalimat yang ringkas, jelas, dan efektif. Ia harus menyadari, setiap kalimat tidak ringkas, jelas, dan tidak efektif yang disusunnya hanya akan melahirkan keluhan, bahkan protes dari khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa.

Resensi Buku: Bahasa Jurnalistik Indonesia Dan Komposisi

Judul : Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi

Pengarang : H. Rosihan Anwar

Penerbit : Proyek Pembinaan dan Pengembangan Pers Departemen Penerangan R.I.

Tahun Terbit : 1979

Cetakan : Kedua, April 1980

Tebal Buku : 144 Halaman

***

Buku yang berjudul “Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi” ini ditulis oleh H. Rosihan Anwar dan diterbitkan oleh Proyek Pembinaan dan Pengembangan Pers Departemen Penerangan R.I. pada tahun 1979. disebutkan dalam buku ini, penerbitan buku Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisimerupakan salah satu kegiatan dalam rangka usaha pembinaan pers nasional dalam berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangannya. Buku ini, terbagi menjadi 30 bagian dan 3 lampiran yang secara umum berisi tentang pedoman secara tertulis khusus di bidang bahasa jurnalistik dan komposisi.

Apabila melihat buku Bahasa Jurnalistik lain yang bermunculan akhir-akhir ini, banyak penulis yang menggunakan buku karangan H. Rosihan Anwar ini sebagai acuan dan referensi untuk bukunya. Hal itu berarti buku ini telah dijadikan pedoman bagi para penulis dan pengarang buku. Mungkin hal ini diakibatkan karena buku ini sudah lama diterbitkan dan dipasarkan.

Di dalam buku ini ada beberapa hal yang dibahas. Salah satunya yang dibahas adalah ikhtisar bahasa jurnalistik itu sendiri. Seperti buku-buku bahasa jurnalistik lain, bagian pertama buku ini membahas tentang ikhtisar mengenai bahasa jurnalistik. Di dalam buku ini, bahasa yang digunakan oleh wartawan disebut bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Oleh karena itu, bahasa jurnalistik juga harus didasarkan pada bahasa dan ejaan yang baku. Beberapa ahli bahasa banyak yang mendukung pernyataan di atas.

Apabila disebutkan bahwa bahasa jurnalistik harus mengutamakan kaidah-kaidah tata bahasa, maka secara praktis wartawan harus mengetahui pokok aturan bahasa Indonesia. Dalam bagian pertama buku ini, bahasan mengenai pokok aturan bahasa Indonesia pun dikupas dengan jelas beserta contoh penggunaannya dan berdasarakn ejaan yang disempurnakan dan kamus besar bahasa Indonesia.

Di buku ini, penulis H. Rosihan Anwar selalu memberikan bahasan dan kajian yang didukung dengan contoh penerapan bahasa jurnalistik yang dapat dibilang baik. Pada salah satu bagian yang dibahas, diberikan beberapa contoh kata yang dipopulerkan melalui peranan wartawan dan media massa.

Kata-kata ialah alat dan mainan utama para wartawan, mereka tidak dapat bekerja jika tidak memiliki jumlah kata yang cukup. Untuk itu harus diperoleh suatu penguasaan baik kosakata atau vocabulary dan ungkapan-ungkapan atau phrases. Umumnya, wartawan dan media massa diakui mempunyai peranan besar dalam menciptakan kata-kata baru dalam perkembangan kosakata.

Sejarah kata heboh menjadi sebuah kata yang cukup populer pada tahun 1953 saat wartawan harian Abadi, Mohammad Sjaaf, meninjau dan mengamati Sumatera Utara dan menulis dalam surat kabarnya tentang peristiwa Tanjung Morawa. Kata heboh berasal dari bahasa Melayu yang berarti gaduh, ribut, huru-hara dan arti yang sejenis. Di Sumatera Barat, kata heboh sudah bukan kata yang aneh lagi, namun di dataran nasional Indonesia kata itu belum tersebar luas. Sekembalinya dari Sumatera Utara, Mohammad Sjaaf menulis serangkaian karangan tentang heboh di Tanjung Morawa. Dengan cepat, kata tersebut menjadi terkenal secara nasional. Penggunaan kata ini pun sempat digunakan untuk judul dalam sebuah film. Sejak peristiwa sengketa tanah di Tanjung Morawa, kata heboh menjadi umum dan biasa dicerna khalayak dan dipakai secara luas. Dari cerita diatas, dapat kita ketahui bahwa bahasa jurnalistik memanfaatkan semua itu. Wartawan yang mempunyai kredibilitas dan totalitas dalam dunia jurnalisme pasti akan memberikan suguhan bagi penikmat dunia jurnalisme yang lain.

Analisis Pembangunan


Perubahan sosial

Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Inilah definisi yang telah saya baca dari tulisan dosen saya sendiri yaitu Gumgum Gumilar. Selanjutnya yang dijelaskan oleh dosen saya tersebut adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.

Perubahan sosial yang dapat saya telaah adalah perubahan yang merupakan bagian dari bergantinya zaman dan hilangnya kebudayaan yang telah ada. Mengapa terjadi perubahan? Perubahan terjadi karena terjadi ketidakpuasan terhadap apa yang dilakukan oleh manusia sebelumnya. Manusia menyadari sisi negatif dari kebiasaannya tesebut sehingga ingin membuat perubahan dalam dirinya.

Disini saya mengungkapkan perubahan sosial yang saya tangkap selama hidup. Lupakan dulu teori-teori. Sepengetahuan saya, perubahan sosial yang dialami oleh manusia ada dua jenis. Pertama, perubahan sosial didasarkan oleh gejolak pemikiran manusia. Gejolak ini diakibatkan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya. Contoh nyatanya adalah teman saya sendiri yang menutup diri dari teman-temannya akibat konflik yang terjadi di dalam keluarga sehingga pola pikiran yang dahulu terbuka menjadi tertutup selama sekian tahun.

Kedua, perubahan sosial terjadi akibat pudarnya budaya dan bergantinya trend. Budaya yang dialami oleh manusia mulai dilupakan. Hal ini akibat perubahan gaya hidup yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Contohnya adalah seseorang yang melupakan kebiasaan yang diterapkan oleh orang tuanya dan beralih menjadi manusia yang bebas dan tanpa aturan.

Apa yang diharapkan oleh manusia dalam perubahan sosial itu menjadikan manusia itu sendiri menjadi kaku dan tidak dinamis. Mereka menganggap perubahan yang dialami oleh dirinya itu merupakan sesuatu tindakan yang benar. Padahal itu hanya apa yang ada di otaknya.

Kemudian saya melanjutkan mengutip dari tulisan dosen saya bahwa perubahan itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam arti lebih luas lagi, mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola keperilakuan, struktur-struktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat, relasi-relasi sosial, sistem sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.

Ada pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial itu merupakan suatu respons ataupun jawaban dialami terhadap perubahan-perubahan tiga unsur utama :

1. Faktor alam

2. Faktor teknologi

3. Faktor kebudayaan

Ada pihak lain yang menyebabkan perubahan sosial terjadi pada diri manusia. Salah satunya adalah media massa. Media massa terkadang terlalu frontal dalam penyampaian berita. Pernah disebutkan dalam Koran Tempo, bahwa media menginspirasi tindak kriminal. Salah satu media yang mengakibatkan perubahan sosial yang begitu besar adalah televisi. Televisi merupakan media massa yang dapat dengan cepat memengaruhi khalayak. Oleh sebab itu, televisi terkadang mendapatkan kesan menciptakan perubahan sosial dengan sengaja.

Hal inilah yang menjadikan perubahan sosial yang terlalu dini bagi anak-anak. Sewajarnya anak-anak dibawah umur belum bisa memilah-milah atau kritis terhadap apa yang ia dengar, ia tonton, dan ia inderai. Contoh kasus dari TV terhadap perubahan sosial yang terjadi bagi anak-anak adalah siaran televisi yang menampilkan kekerasan dan hal yang vulgar. Tayangan ini menyebabkan perubahan sosial yang terjadi pada anak-anak menjurus ke arah yang negatif.

Perdebatan mengenai perubahan sosial yang terjadi akibat pengaruh media tidak prnah mengalami titik simpul. Alasan-alasan yang menyudutkan dan membela kian menghiasi kasus perubahan sosial yang ada di Indonesia. Inilah realitas sosiologi yang terjadi di zaman yang sudah edan ini.

Mobilitas sosial

Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain.Kata sosial yang ada pada istilah mobilitas sosial untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial jadi. Mobilitas Sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain.

Bentuk Mobilitas Sosial

Mobilitas sosial terdapat dua jenis yaitu mobilitas vertikal, mobilitas horizontal dan mobilitas antargenerasi. Mobilitas vertikal dibagi lagi menjadi mobilitas vertikal yang naik dan turun.

Mobilitas Vertikal

Mobilitas vertical adalah pepindahan status sosial yang dialami seseorang atau sekelompok warga pada lapisan sosial yang berbeda.

Mobilitas Vertikal naik memiliki dua bentuk ,yaitu sebagai berikut:

§ Naiknya orang-orang berstatus sosial rendah ke status sosial yang lebih tinggi, dimana status itu telah tersedia. Misalnya:seorang camat diangkat menjadi bupati.

§ Terbentuknya suatu kelompok baru yang lebih tinggi dari pada lapisan sosial yang sudah ada.

Mobilitas Vertikal turun juga mempunyai dua bentuk sebagai berikut.

§ Turunnya kedudukan seseorang kedudukan lebih rendah ,Misalnya, seseorang prajurit yang dipecat karena melakukan desersi.

§ Tidak dihargai lagi suatu kedudukan sebagai lapisan sosial atas,misalnya , seorang yang menjabat direktur bank,karena bank yang dipimpinya bermasalah maka ia diturunkan menjadi staf direksi.

Mobilitas Horizontal

Mobilitas Horizontal adalah perpindahan status sosial seseorang atau sekelompok orang dalam lapisan. Ciri utama mobilitas horizontal adalah lapisan sosial yang ditempati tidak mengalami perubahan. Contohnya adalah memindahkan korban banjir ke tempat yang lebih tinggi.

Mobilitas Antargenerasi

Mobilitas Antargenerasi adalah perpindahan antara dua generasi atau lebih, Mobilitas Antargenerasi dapat dibedakan menjadi dua ,yaitu sebagai berikut.

a) Mobilitas Intergenerasi

adalah perpindahan status sosial yang terjadi di antara beberapa generasi.

b) Mobilitas Intragenerasi

Adalah perpindahan status sosial yang terjadi dalam satu generasi yang sama.

Faktor Penghambat Mobilitas Sosial

1. Faktor Kemiskinan

2. Faktor Diskriminasi Kelas

3. Faktor Perbedaan Ras dan Agama

4. Faktor Perbedaan Jenis Kelamin {Gender}

5. Faktor Pengaruh Sosialisasi yang Sangat Kuat

Dampak Mobilitas Sosial

Menurut Horton dan Hunt (1987),ada beberapa konsekuensi negative dari adanya mobilitas sosial vertical , antara lain sebagai berikut.

1) Kecemasan akan terjadi penurunan status bila terjadi mobilitas menurun.

2) Ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat

3) Keretakan hubungan antaranggota kelompok primer.

Adapun dampak mobilitas sosial bagi masyarakat ,baik yang bersifat positif maupun negatif antara lain sebagai berikut.

Dampak Positif

a) Mendorong seseorang untuk lebih maju

Semangat dan kreatif seseorang mengakibatkan dirinya termotivasi di dalam memobilisasi dirinya.

b) Mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.

Dampak Negatif

a) Timbulnya konflik

Konflik yang terjadi menjadi akibat negatif yang menjadikan mobilitas sosial tidak berjalan sesuai rencana.

Ketergantungan Sosial

Ketergantungan sosial terjadi akibat pengaruh keras dari dunia luar yang menyebabkan suatu kaum tidak bisa lepas dari pengaruh tersebut. Ketergantungan sosial sebagai contoh mudahnya adalah orang yang memakai narkoba. Jika ia tidak mengonsumsi narkoba maka badannya akan terasa gelisah dan sakit yang luar biasa. Apapun yang sudah mengalami ketergantungan maka ia tidak akan lagi sembuh atau sulit untuk kembali seperti semula. Obat yang paling ampuh dalam mengatasi ketergantungan adalah insan yang ada di dalam diri masing-masing individu atau personal.

Di dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga karya Arif Budiman juga dijelaskan beberapa teori ketergantungan yang dialami oleh negara-negara kecil. Banyak ahli yang mempunyai opini mengenai masalah ketergantungan.

Negara yang mengalami ketergantungan biasanya menjadi negara yang terbelakang. Menurut sumber mengenai ketergantungan sosial, struktur ketergantungan secara bertingkat mulai dari negara pusat sampai periferi disampaikan oleh Galtung. Imprealisme ditandai satu jalur kuat antara pusat di pusat dengan pusat di periferi (CC-CP). Ditambahkan Frank, bahwa daerah desa yang terbelakang akan menjadi penghalang untuk maju bagi negara bersangkutan. Struktur kapitalisme juga dapat dikaitkan dengan Cardoso tentang dependensi ekonomi. Ketergantungan ekonomi terjadi melalui perbedaan produk dan kebijakan hutang yang menyebabkan eksploitasi finansial.

Analisis Manajemen Media Massa: Majalah Otonom

Permasalahan media tidak semudah yang dibayangkan. Begitu banyak kerumitan dalam membangun sebuah media. Dari pembangunan hingga berjalannya suatu media tidak akan pernah lepas dari masalah. Di awal pembangunan media, kesulitan yang dialami pertama kali adalah masalah dana dan pemasaran produksi. Tiap media pasti memiliki permasalah yang serupa. Permasalah tersebut dapat diatasi dengan cara berbeda tergantung kocek yang harus dikeluarkan. Apakah pemilik media tersebut memiliki kocek yang besar dalam mengatasi masalah tersebut.

Majalah otonom yang telah saya wawancarai juga memiliki persoalan yang sama. Sebelumnya dijelaskan bahwa majalah otonom adalah pecahan dari majalah hukum Ombudsman. Karena kebijakan redaksi yang memangkas idealis wartawannya maka Donny yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala biro majalah Ombudsman mengundurkan diri.

Ia merasa kebijakan redaksi dalam soal pemberitaan sangatlah rumit. Wartawan tidak boleh mencari berita semaunya dan tidak mengikuti aturan redaksi. Ia juga berpendapat bahwa sikap dari redaksi Ombudsman menjajah mereka. Atas keputusannya sendiri, akhirnya ia keluar bersama pegawai biro majalah Ombudsman yang berjuang bersamanya membangun majalah Otonom. Pegawai itu adalah Riska yang saat ini menjadi Pemimpin Redaksi majalah otonom.

Mereka berdua berpendapat bahwa masalah keredaksian haruslah transparan. Ia harus melihat bagaimana si wartawan dalam merancang berita. Ia harus mengarahkan anak buahnya dalam membuat berita yang sesuai dengan majalahnya. Majalah otonom baru berjalan selama dua tahun dan itu dianggap oleh Riska masih belia atau masih bayi sekali. Majalah mereka belum mampu bersaing dengan majalah Tempo atau majalah Forum. Majalah otonom yang mereka berdua jalankan haruslah menjadi majalah yang disenangi oleh pembaca baik dari segi tampilan maupun dari segi isi berita.

Majalah otonom memiliki orientasi ke permasalah hukum dan badan pemerintahan. Pihak redaksi dari majalah otonom yang dipimpin oleh Riska menginginkan sebuah keterbukaan dari bawahan ke atasan. Hal ini biasa disebut sebagai komunikasi vertical. Komunikasi yang terjalin antara bawahan dan atasan. Komunikasi ini juga dapat disebut sebagai komunikasi ke atas. Dalam sebuah organisasi, komunikasi ke atas sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman yang terjadi antara bawahan dan atasan. Riska mengatakan bahwa di dalam otonom, mereka semua saling berinteraksi. Setiap akhir pekan mereka berkumpul untuk membahas kesulitan-kesulitan yang terjadi oleh tiap wartawannya.

Masalah keredaksian di majalah otonom tidak sesulit di media besar dan yang mempunyai sistem yang tangguh. Riska mengatakan bahwa majalah otonom belum memiliki sistem yang kukuh seperti media lain. Ia juga mengatakan bahwa majalah otonom belum mempunyai karaktersistik selain isi berita. Riska menganalogikan bahasa yang mereka gunakan dengan bahasa yang digunakan oleh majalah Tempo dan Koran Kompas. Majalah Tempo mempunyai bahasa yang unik. Tempo juga mendapatkan penghargaan dalam bahasa terbaik diantara media-media lainnya.

Majalah otonom mencoba menyadur gaya bahasa dari kedua media besar tersebut. Majalah otonom masih bertahan hingga saat ini adalah berkat kerja keras dan semangat para pengurus dan seluruh pegawainya. Mereka menerbitkan majalah otonom pada tengah bulan. Hal ini dikarenakan persaingan antara media besar seperti Tempo dan Forum. Jika majalah otonom diterbitkan bersamaan dengan media tersebut maka mereka yakin tidak akan meraih untung atau setidaknya laku terjual. Itu adalah permasalahan yang mereka sangat pertimbangkan.

Majalah otonom juga mempunyai cara yang selama ini mampu mendongkrak penjulannya. Mengapa mereka menerbitkan pada tanggal 15 setiap bulannya? Majalah otonom memiliki ide yang brillan. Mereka menerbitkan berita yang sudah tidak menjadi bahasan media lain. Ambil contoh berita kebakaran yang terjadi di Plumpang. Di media lain, berita mengenai kebakaran tersebut diangkat di awal bulan dan setelah periodisasi media itu habis barulah otonom mulai mengerjakan berita tersebut.

Berita tadi hanyalah sebagai contoh. Seperti yang kita ketahui, isi majalah otonom lebih kepada permasalah hukum dan badan pemerintahan. Majalah otonom dalam menjalankan usahanya tersebut sama sekali tidak mengutamakan dana. Meskipun dana sangat dibutuhkan tetapi yang lebih utama menurut Pemimpin Umum Majalah Otonom adalah networking. Bagaimana mereka akan menjual produksinya tersebut jika tidak ada network. Dana tidak ada, yang penting networking.

Saat ditanya bagaimana mereka bertahan selama dua tahun ini, pemimpin umum majalah otonom memaparkan dengan tegas. Majalah otonom dapat bertahan karena semangat para pegawainya dan dibantu oleh iklan. Iklan masih menjadi faktor utama dalam mengatasi keuangan mereka. Majalah otonom yang baru berusia dua tahun masih terseok-seok dalam urusan finansial. Apalagi pegawainya atau wartawan yang mereka miliki sebagian besar masih mengikuti pendidikan di perguruan tinggi.

Donny menyatakan dengan tegas bahwa untuk membiayai kuliah mereka, salah satu jalan keluar yang baik adalah dengan pergi ke pemasang iklan. Dengan datang ke pemasang iklan, si wartawan itu bisa membiayai kuliahnya. Hal ini juga menjadi persoalan tersendiri bagi Donny. Ia berpendapat bahwa idealisme dapat begitu saja dijual dengan uang. Riska sebagai pemimpin redaksi juga berpendapat demikian. Wartawan boleh saja menerima uang asalkan itu tidak memengaruhi berita yang sedang dikerjakan. Kegiatan semacam ini biasa disebut sebagai wartawan amplop.

“Budaya amplop” juga mengurangi profesionalisme para wartawan, termasuk bobot berita. Berita adalah laporan peristiwa. Namun tidak semua peristiwa layak dilaporkan. Sebuah peristiwa layak dibertakan hanya jika mengandung nilai-nilai jurnalistik atau news value, seperti aktual, faktual, penting, dan menarik.

Sebuah amplop dapat membuat wartawan menjalankan tugasnya secara tidak fair, berat sebelah, bias, hanya menguntungkan satu pihak. Sedangkan wartawan profesional menulis berita secara seimbang (balanced), cover both side, memegang teguh fairness doctrine (doktrin kejujuran). Jika demikian, pembaca atau masyarakat yang dirugikan karena tidak mendapatkan informasi yang utuh dan berimbang.

Entah siapa yang memulai, wartawan yang minta duit ataukah panitia yang menyuap wartawan, sehingga terbentuk “budaya amplop” itu. Yang jelas, kebiasaan buruk itu harus segera dihentikan sekarang juga. Toh jika ada acara bagus dan layak diberitakan, wartawan akan datang dengan sendirinya, bahkan tidak diundang sekalipun. Panitia acara cukup mengirimkan pemberitahuan atau menulis siaran pers (press realease).

Memang, “budaya amplop” merupakan salah satu ciri jurnalistik negara berkembang. Menurut Albert L. Hester dalam Handbook for Third World Journalist (sudah diterjemahkan dengan judul Pedoman untuk Wartawan, USIS, 1987), fenomena itu muncul karena kurangnya permodalan industri pers sehingga pers belum mampu memberikan imbalan yang laiak bagi wartawannya.

Pilihan antara kepentingan bisnis dan kepentingan pemberitaan yang berimbang telah menjadi bahan perdebatan besar. Baru-baru ini saya membaca seorang penulis freelance, penulis lepas, yang merasa puas karena tidak bergabung dengan media manapun. Dia merasa bahwa dengan bersikap seperti itu bebas dari kepentingan bisnis manapun dan bisa melahirkan idealismenya.

Sikap ini benar namun mengandung sisi kekurangan. Benar bahwa idealisme bisa diwujudkan sebagai freelancer. Benar bahwa dirinya tidak terkooptasi oleh kepentingan bisnis pemilik media. Benar bahwa dirinya bebas memilih sikap dalam masalah tertentu.

Kelemahan dari sikap ini adalah, media besar meski pemiliknya swasta dijalankan secara profesional. Didalamnya terdapat sejumlah wartawan senior yang setia kepada sikap profesionalismenya. Di dalam media besar inilah bisa belajar bagaimana dilema antara idealisme dan kepentingan bisnis ini dijalankan.

Tidak ada 100 persen perusahaan media swasta apalagi pemerintah yang bebas dari campur tangan pemilik. Pemilik atau pemegang saham -misalnya suatu departemen - tidak akan membiarkan media massa miliknya menggerogoti kepentingannya.

Pergulatan antara idealisme sebuah media dengan kepentingan praktis pemilik akan berjalan terus. Disinilah sikap profesionalisme orang media berperan. Mereka harus memberikan argumentasi intelektual untuk mencegah campur tangan secara sembrono kepentingan bisnis pemilik.

Semakin banyak perbenturan itu, maka media akan menjadi dewasa. Jurnalis profesional akan memberikan pelajaran penting bagi pemilik media akan pentingnya independensi dalam bekerja. Sebaliknya pemilik media yang memiliki kepentingan besar atas usahanya juga menjadi sadar akan keterbatasan campur tangannya.

Menurut buku Sembilan Elemen Jurnalisme, kebenaran harus dijaga dalam setiap pelaporannya. Memahami kebenaran jurnalistik sebagai sebuah proses atau perjalanan berkelanjutan menuju pemahaman sebenarnya lebih membantu dan realistis, dan hal ini dimulai dengan berita yang timbul di hari pertama dan perkembangan selanjutnya. Upaya jurnalisme untuk sampai kepada kebenaran dalam dunia yang kabur adalah dengan memilah sedari awal fakta dari informasi keliru yang ikut bersamanya, ketiadaan informasi, atau promosi. Pencarian kebenaran akhirnya jadi komunikasi dua arah.

Hal-hal seperti itu merupakan bagian dari sebuah media dalam memanajemen sistemnya. Memanajemen media itu tidak hanya berada di dalam pemasaran produksi media itu saja. Manajemen media harus berawal dari memanejemen wartawan dan segenap staff dari media tersebut.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 553, 1990) menyebutkan, manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mecapai sasaran.

Bagaimana Menerapkan Kebijakan dan Strategi

1. Semua kebijakan harus didiskusikan dengan semua personel manajerial dan staf.

2. Manajer harus mengerti dimana dan bagaimana mereka menerapkannya.

3. Rencana sebuah tindakan harus diberitahukan pada setiap departemen.

4. Kebijakan dan strategi harus diperiksa ulang secara berkala.

5. Perencanaan cadangan harus dipikirkan dalam kasus perubahan.

Fungi Manajemen

Manajemen beroperasi melalui bermacam fungsi, biasanya digolongkan pada perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan atau motivasi dan pengaturan.

1. Perencanaan: memutuskan apa yang harus terjadi esok hari dan seterusnya dan membuat rencana untuk dilaksanakan.

2. Pengorganisasian: membuat penggunaan maksimal dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana dengan baik.

3. Leading/Kepemimpinan dan Motivasi: memakai kemampuan di area ini untuk membuat yang lain mengambil peran dengan efektif dalam mencapai suatu rencana

4. Pengendalian: monitoting – memantau kemajuan rencana, yang mungkin membutuhkan perubahan tergantung apa yang terjadi

Tingkatan Manajemen Keredaksian

1. Pimpinan Redaksi Merupakan manajemen tingkat atas. Bertugas merencanakan kegiatan dan strategi keredaksian secara umum dan mengarahkan jalannya proses redaksi.

2. Middle management atau manajemen tingkat menengah bertugas sebagai penghubung antara manajemen puncak dan manajemen lini pertama, misalnya Wakil Pimpinan Redaksi atau Redaktur Pelaksana.

3. Lower management atau manejemen lini pertama (first-line management) adalah manajemen yang memimpin dan mengawasi tenaga-tenaga operasional. Manajemen ini dikenal pula dengan istilah manajemen operasional. Umumnya para redaktur halaman atau redaktur desk. Ada khusus halaman ekonomi, politik, pendidikan, kriminal, hukum dst.

Manajemen Mengandung Lima fungsi. Pertama, perencanaan. Kedua, pengorganisasian. Ketiga, kepemimpinan. Keempat, koordinasi. Kelima, pengaturan.

Manajemen keredaksian dapat diartikan proses antar orang yang merupakan satu kesatuan secara efektif dalam sebuah organisasi media massa untuk mencapai tujuan atau sasaran. Manajemen keredaksian adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, kompensasi, integrasi dan pemeliharaan orang-orang dengan tujuan membantu mencapai tujuan organisasi (pers), individual dan masyarakat.

Paling penting adalah bagaimana individu-individu yang terlibat dalam organisasi harus mampu terlebih dahulu memanajemen pribadinya masing-masing. Manajemen pribadi tersebut meliputi beberapa hal antara lain: perencanaan kegiatan, pengorganisasian kegiatan, pelaksanaan kegiatan, evaluasi kegiatan dan pengawasan kegiatan dengan pemanfaatan waktu seefektif dan seefisien mungkin.

Bila tiap individu di dalam organisasi menyadari betul akan posisi masing-masing dengan job description (deskripsi tugas) yang jelas dan tegas, maka perencanaan akan mudah dibangun dan diterapkan.

Ada dua bagian besar sebuah penerbitan pers atau media massa: Bagian Redaksi (Editor Department) dan Bagian Pemasaran atau Bagian Usaha (Business Department). Bagian Redaksi dipimpin oleh Pemimpin Redaksi. Bagian Pemasaran dipimpin olen Manajer Pemasaran atau Pemimpin Usaha. Di atas keduanya adalah Pemimpin Umum (General Manager). Ada juga Pemimpin Umum yang merangkap Pemimpin Redaksi.

Bagian Redaksi tugasnya meliput, menyusun, menulis, atau menyajikan informasi berupa berita, opini, atau feature. Orang-orangnya disebut wartawan. Redaksi merupakan merupakan sisi ideal sebuah media atau penerbitan pers yang menjalankan visi, misi, atau idealisme media.

Bagian Redaksi dikepalai oleh seorang Pemimpin Redaksi. Di bawah Pemred biasanya ada Wakil Pemred yang bertugas sebagai pelaksana tugas dan penanggungjawab sehari-hari di bagian redaksi.

Pemred/Wapemred membawahi seorang atau lebih Redaktur Pelaksana yang mengkoordinasi para Redaktur (Editor), Koordinator Reporter atau Koordinator Liputan (jika diperlukan), para Reporter dan Fotografer, Koresponden, dan Kontributor. Termasuk Kontributor adalah para penulis lepas (artikel) dan kolumnis.

Di Bagian Redaksi ada pula yang disebut Dewan Redaksi atau Penasihat Redaksi. Biasanya terdiri dari Pemred, Wapemred, Redpel, Pemimpin Usaha, dan orang-orang yang dipilih menjadi penasihat bidang keredaksian.

Ada pula yang disebut Staf Ahli atau Redaktur Ahli, yakni orang-orang yang memiliki keahlian di bidang keilmuwan tertentu yang sewaktu-waktu masukan atau pendapatnya sangat dibutuhkan redaksi untuk kepentingan pemberitaan atau analisis berita.

Bagian lain yang terkait dengan bidang keredaksian adalah Redaktur Pracetak yang membidangi tugas Desain Grafis (Setting, Lay Out, dan Artistik) serta Perpustakaan dan Dokumentasi. Dalam hal tertentu, bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dapat masuk ke bagian Redaksi. (http://stefanusakim.wordpress.com/2007/12/09/manajemen-keredaksian)

Transkrip wawancara

I. Riska Melanie Harianja (Pemred majalah Otonom)

Apa sebenarnya Majalah Otonom itu?

Majalah yang memuat berita mengenai hukum dan badan pemerintahan. Majalah ini pecahan dari majalah Ombudsman.

Bagaimana awal Anda masuk ke dunia jurnalistik?

Sejak saya SMP saya suka tulis menulis dan kebetulan paman saya juga bekerja di Kompas. Karena sering ikut paman saya jadi tertarik untuk masuk ke dalam dunia jurnalistik.

Apa kendala terbesar yang dihadapi oleh Otonom dalam pembuatan beritanya?

Kendala yang paling besar ada di narasumber. Terkadang narasumber kami bisa hilang kontak secara tiba. Kedua, mungkin penulisan berita.

Apakah pihak Otonom bermasalah dengan isu wartawan amplop?

Wartawan amplop itu suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari dunia kewartawanan. Jika amplop tersebut terkait dengan penulisan berita yang sedang dikerjakan itu haram tetapi kalo tidak menggangu kegiatan wartawan dan murni hadiah itu sah-sah saja.

Bagaimana Anda menanggapi komersialisme media dan idealisme wartawan?

Mulanya Otonom sendiri lahir karena bentuk ketidakpuasan beberapa orang di Ombudsman, saya, bang donny serta pegawai yang lain. Pernah ada cerita mengenai pemberitaan yang menyudutkan pemprov Jabar. Pas ingin diterbitkan tiba-tiba redaksi diperintahkan untuk cari berita lagi. Kami kesal dengan sikap bagian marketing itu. Setelah ditelusuri pemprov Jabar melobi marketing agar tidak memuat hasil liputan mengenai mereka. .

Jadi kami di Otonom, soal pemberitaan tidak ada negosiasi. Kami masih punya cukup dana dari para pelanggan untuk menghidupi Otonom. Tapi kamu juga sebenarnya tidak menutup diri terhadap iklan, ya bisa dibilang 50:50 antara idealisme dan komersialisme.


II. Donny Budiman (Pemimpin umum majalah Otonom)

Bagaimana awal mula didirikannya majalah Otonom?

Kami sadar menjalankan usaha ini tidak sekedar iseng melainkan karena kami mencintai secara murni kegiatan jurnalistik. Dari pengalaman di Ombudsman, saya bersama rekan-rekan membangun majalah ini dan kami juga memiliki beberapa kontak narasumber. Nah kira-kira begitu majalah ini berdiri. Majalah ini juga berdiri karena ketidakpuasan kami di Ombudsman. Kami memutuskan keluar dan membuat usaha media ini untuk memberikan berita jurnalistik yang benar.

segi finansial dan SDM majalah Otonom dapat dikatakan minim. Tapi karena ada dukungan dari jaringan yang kita punya dan juga rekan-rekan wartawan lain, kami maju terus.

Apakah majalah Otonom hanya memuat berita hukum saja?

Otonom tidak bisa dibilang majalah hukum, tapi majalah pemerintahan juga. Semua hal dilandasi aturan-aturan. Soal otonomi, ya itu juga dilandasi aturan yang jelas, yakni undang-undang otonomi daerah. Mungkin ketika kita bicara hukum dan etika orang akan tertarik, kepercayaan pembaca akan meningkat dan otomatis iklan pun masuk dengan sendirinya.

Darimana pendapatan majalah Otonom?

Pendapatannya jelas dari iklan. Setahun berdiri memang Otonom dibantu sama jaringan. Mereka para relasi membantu produksi kita dengan memasang iklan di Otonom. Biasanya, jika para relasi tersebut tidak memasang iklan, mereka akan merekomendasikan kepada teman atau relasi mereka. Jaringan atau networking sangat penting bagi kami. Begitupun dengan media lain. Gak mungkin cuma mengandalkan dana bisa terus jalan. Memang dana vital tapi klo tanpa jaringan apakah akan berjalan?

Siapa target audiance Otonom?

Kita larinya ke menengah lah. Middle juga dibagi tiga kan, low middle, middle-middle, high -middle. Kalo tingkat middle-high mungkin kita bisa sebut Tempo dan Gatra. Kalau Otonom ya middle-nya middle lah.

Sirkulasi Otonom sudah sejauh mana? Saya kok jarang lihat Otonom di eceran ya

Nah itu,kita belum percaya diri. Artinya ketika kita masuk ke pasar bebas, konsekuensinya kita harus siap beradu dengan media massa yang sudah eksis. Nah Otonom itu cari celah-celah pasar untuk bisa dimasuki lah. Makanya Otonom tidak akan membahas hal yang dusah dikupas oleh Tempo, Gatra, dan lain-lain. Kita akan buat berita yang belum mereka buat. Lebih dalam tentunya.

Makanya Otonom terbit tanggal 15 setiap bulannya?

Ya, betul itu. Coba kalo kita beradu dengan Tempo, kasus Munir misalnya, Otonom sudah dapat 2 sumber, Tempo itu sudah 20 sumber barangkali. Otonom berusaha mencari berita yang memang luput dari perhatian media-media besar. Kasus Gasibu misalnya, Trust dan Gatra itu sampai telepon kita loh. Kalau Otonom terus bersaing di bahasan yang sama, kita tidak akan sanggup karena resource kita terbatas.

mana yang lebih diutamakan antara dapur redaksi dan hadirnya iklan?

Keduanya harus berjalan beriringan. Tidak bisa hanya salah satu yang didahulukan.