Sabtu, 06 November 2010

Analisis Manajemen Media Massa: Majalah Otonom

Permasalahan media tidak semudah yang dibayangkan. Begitu banyak kerumitan dalam membangun sebuah media. Dari pembangunan hingga berjalannya suatu media tidak akan pernah lepas dari masalah. Di awal pembangunan media, kesulitan yang dialami pertama kali adalah masalah dana dan pemasaran produksi. Tiap media pasti memiliki permasalah yang serupa. Permasalah tersebut dapat diatasi dengan cara berbeda tergantung kocek yang harus dikeluarkan. Apakah pemilik media tersebut memiliki kocek yang besar dalam mengatasi masalah tersebut.

Majalah otonom yang telah saya wawancarai juga memiliki persoalan yang sama. Sebelumnya dijelaskan bahwa majalah otonom adalah pecahan dari majalah hukum Ombudsman. Karena kebijakan redaksi yang memangkas idealis wartawannya maka Donny yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala biro majalah Ombudsman mengundurkan diri.

Ia merasa kebijakan redaksi dalam soal pemberitaan sangatlah rumit. Wartawan tidak boleh mencari berita semaunya dan tidak mengikuti aturan redaksi. Ia juga berpendapat bahwa sikap dari redaksi Ombudsman menjajah mereka. Atas keputusannya sendiri, akhirnya ia keluar bersama pegawai biro majalah Ombudsman yang berjuang bersamanya membangun majalah Otonom. Pegawai itu adalah Riska yang saat ini menjadi Pemimpin Redaksi majalah otonom.

Mereka berdua berpendapat bahwa masalah keredaksian haruslah transparan. Ia harus melihat bagaimana si wartawan dalam merancang berita. Ia harus mengarahkan anak buahnya dalam membuat berita yang sesuai dengan majalahnya. Majalah otonom baru berjalan selama dua tahun dan itu dianggap oleh Riska masih belia atau masih bayi sekali. Majalah mereka belum mampu bersaing dengan majalah Tempo atau majalah Forum. Majalah otonom yang mereka berdua jalankan haruslah menjadi majalah yang disenangi oleh pembaca baik dari segi tampilan maupun dari segi isi berita.

Majalah otonom memiliki orientasi ke permasalah hukum dan badan pemerintahan. Pihak redaksi dari majalah otonom yang dipimpin oleh Riska menginginkan sebuah keterbukaan dari bawahan ke atasan. Hal ini biasa disebut sebagai komunikasi vertical. Komunikasi yang terjalin antara bawahan dan atasan. Komunikasi ini juga dapat disebut sebagai komunikasi ke atas. Dalam sebuah organisasi, komunikasi ke atas sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman yang terjadi antara bawahan dan atasan. Riska mengatakan bahwa di dalam otonom, mereka semua saling berinteraksi. Setiap akhir pekan mereka berkumpul untuk membahas kesulitan-kesulitan yang terjadi oleh tiap wartawannya.

Masalah keredaksian di majalah otonom tidak sesulit di media besar dan yang mempunyai sistem yang tangguh. Riska mengatakan bahwa majalah otonom belum memiliki sistem yang kukuh seperti media lain. Ia juga mengatakan bahwa majalah otonom belum mempunyai karaktersistik selain isi berita. Riska menganalogikan bahasa yang mereka gunakan dengan bahasa yang digunakan oleh majalah Tempo dan Koran Kompas. Majalah Tempo mempunyai bahasa yang unik. Tempo juga mendapatkan penghargaan dalam bahasa terbaik diantara media-media lainnya.

Majalah otonom mencoba menyadur gaya bahasa dari kedua media besar tersebut. Majalah otonom masih bertahan hingga saat ini adalah berkat kerja keras dan semangat para pengurus dan seluruh pegawainya. Mereka menerbitkan majalah otonom pada tengah bulan. Hal ini dikarenakan persaingan antara media besar seperti Tempo dan Forum. Jika majalah otonom diterbitkan bersamaan dengan media tersebut maka mereka yakin tidak akan meraih untung atau setidaknya laku terjual. Itu adalah permasalahan yang mereka sangat pertimbangkan.

Majalah otonom juga mempunyai cara yang selama ini mampu mendongkrak penjulannya. Mengapa mereka menerbitkan pada tanggal 15 setiap bulannya? Majalah otonom memiliki ide yang brillan. Mereka menerbitkan berita yang sudah tidak menjadi bahasan media lain. Ambil contoh berita kebakaran yang terjadi di Plumpang. Di media lain, berita mengenai kebakaran tersebut diangkat di awal bulan dan setelah periodisasi media itu habis barulah otonom mulai mengerjakan berita tersebut.

Berita tadi hanyalah sebagai contoh. Seperti yang kita ketahui, isi majalah otonom lebih kepada permasalah hukum dan badan pemerintahan. Majalah otonom dalam menjalankan usahanya tersebut sama sekali tidak mengutamakan dana. Meskipun dana sangat dibutuhkan tetapi yang lebih utama menurut Pemimpin Umum Majalah Otonom adalah networking. Bagaimana mereka akan menjual produksinya tersebut jika tidak ada network. Dana tidak ada, yang penting networking.

Saat ditanya bagaimana mereka bertahan selama dua tahun ini, pemimpin umum majalah otonom memaparkan dengan tegas. Majalah otonom dapat bertahan karena semangat para pegawainya dan dibantu oleh iklan. Iklan masih menjadi faktor utama dalam mengatasi keuangan mereka. Majalah otonom yang baru berusia dua tahun masih terseok-seok dalam urusan finansial. Apalagi pegawainya atau wartawan yang mereka miliki sebagian besar masih mengikuti pendidikan di perguruan tinggi.

Donny menyatakan dengan tegas bahwa untuk membiayai kuliah mereka, salah satu jalan keluar yang baik adalah dengan pergi ke pemasang iklan. Dengan datang ke pemasang iklan, si wartawan itu bisa membiayai kuliahnya. Hal ini juga menjadi persoalan tersendiri bagi Donny. Ia berpendapat bahwa idealisme dapat begitu saja dijual dengan uang. Riska sebagai pemimpin redaksi juga berpendapat demikian. Wartawan boleh saja menerima uang asalkan itu tidak memengaruhi berita yang sedang dikerjakan. Kegiatan semacam ini biasa disebut sebagai wartawan amplop.

“Budaya amplop” juga mengurangi profesionalisme para wartawan, termasuk bobot berita. Berita adalah laporan peristiwa. Namun tidak semua peristiwa layak dilaporkan. Sebuah peristiwa layak dibertakan hanya jika mengandung nilai-nilai jurnalistik atau news value, seperti aktual, faktual, penting, dan menarik.

Sebuah amplop dapat membuat wartawan menjalankan tugasnya secara tidak fair, berat sebelah, bias, hanya menguntungkan satu pihak. Sedangkan wartawan profesional menulis berita secara seimbang (balanced), cover both side, memegang teguh fairness doctrine (doktrin kejujuran). Jika demikian, pembaca atau masyarakat yang dirugikan karena tidak mendapatkan informasi yang utuh dan berimbang.

Entah siapa yang memulai, wartawan yang minta duit ataukah panitia yang menyuap wartawan, sehingga terbentuk “budaya amplop” itu. Yang jelas, kebiasaan buruk itu harus segera dihentikan sekarang juga. Toh jika ada acara bagus dan layak diberitakan, wartawan akan datang dengan sendirinya, bahkan tidak diundang sekalipun. Panitia acara cukup mengirimkan pemberitahuan atau menulis siaran pers (press realease).

Memang, “budaya amplop” merupakan salah satu ciri jurnalistik negara berkembang. Menurut Albert L. Hester dalam Handbook for Third World Journalist (sudah diterjemahkan dengan judul Pedoman untuk Wartawan, USIS, 1987), fenomena itu muncul karena kurangnya permodalan industri pers sehingga pers belum mampu memberikan imbalan yang laiak bagi wartawannya.

Pilihan antara kepentingan bisnis dan kepentingan pemberitaan yang berimbang telah menjadi bahan perdebatan besar. Baru-baru ini saya membaca seorang penulis freelance, penulis lepas, yang merasa puas karena tidak bergabung dengan media manapun. Dia merasa bahwa dengan bersikap seperti itu bebas dari kepentingan bisnis manapun dan bisa melahirkan idealismenya.

Sikap ini benar namun mengandung sisi kekurangan. Benar bahwa idealisme bisa diwujudkan sebagai freelancer. Benar bahwa dirinya tidak terkooptasi oleh kepentingan bisnis pemilik media. Benar bahwa dirinya bebas memilih sikap dalam masalah tertentu.

Kelemahan dari sikap ini adalah, media besar meski pemiliknya swasta dijalankan secara profesional. Didalamnya terdapat sejumlah wartawan senior yang setia kepada sikap profesionalismenya. Di dalam media besar inilah bisa belajar bagaimana dilema antara idealisme dan kepentingan bisnis ini dijalankan.

Tidak ada 100 persen perusahaan media swasta apalagi pemerintah yang bebas dari campur tangan pemilik. Pemilik atau pemegang saham -misalnya suatu departemen - tidak akan membiarkan media massa miliknya menggerogoti kepentingannya.

Pergulatan antara idealisme sebuah media dengan kepentingan praktis pemilik akan berjalan terus. Disinilah sikap profesionalisme orang media berperan. Mereka harus memberikan argumentasi intelektual untuk mencegah campur tangan secara sembrono kepentingan bisnis pemilik.

Semakin banyak perbenturan itu, maka media akan menjadi dewasa. Jurnalis profesional akan memberikan pelajaran penting bagi pemilik media akan pentingnya independensi dalam bekerja. Sebaliknya pemilik media yang memiliki kepentingan besar atas usahanya juga menjadi sadar akan keterbatasan campur tangannya.

Menurut buku Sembilan Elemen Jurnalisme, kebenaran harus dijaga dalam setiap pelaporannya. Memahami kebenaran jurnalistik sebagai sebuah proses atau perjalanan berkelanjutan menuju pemahaman sebenarnya lebih membantu dan realistis, dan hal ini dimulai dengan berita yang timbul di hari pertama dan perkembangan selanjutnya. Upaya jurnalisme untuk sampai kepada kebenaran dalam dunia yang kabur adalah dengan memilah sedari awal fakta dari informasi keliru yang ikut bersamanya, ketiadaan informasi, atau promosi. Pencarian kebenaran akhirnya jadi komunikasi dua arah.

Hal-hal seperti itu merupakan bagian dari sebuah media dalam memanajemen sistemnya. Memanajemen media itu tidak hanya berada di dalam pemasaran produksi media itu saja. Manajemen media harus berawal dari memanejemen wartawan dan segenap staff dari media tersebut.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 553, 1990) menyebutkan, manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mecapai sasaran.

Bagaimana Menerapkan Kebijakan dan Strategi

1. Semua kebijakan harus didiskusikan dengan semua personel manajerial dan staf.

2. Manajer harus mengerti dimana dan bagaimana mereka menerapkannya.

3. Rencana sebuah tindakan harus diberitahukan pada setiap departemen.

4. Kebijakan dan strategi harus diperiksa ulang secara berkala.

5. Perencanaan cadangan harus dipikirkan dalam kasus perubahan.

Fungi Manajemen

Manajemen beroperasi melalui bermacam fungsi, biasanya digolongkan pada perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan atau motivasi dan pengaturan.

1. Perencanaan: memutuskan apa yang harus terjadi esok hari dan seterusnya dan membuat rencana untuk dilaksanakan.

2. Pengorganisasian: membuat penggunaan maksimal dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana dengan baik.

3. Leading/Kepemimpinan dan Motivasi: memakai kemampuan di area ini untuk membuat yang lain mengambil peran dengan efektif dalam mencapai suatu rencana

4. Pengendalian: monitoting – memantau kemajuan rencana, yang mungkin membutuhkan perubahan tergantung apa yang terjadi

Tingkatan Manajemen Keredaksian

1. Pimpinan Redaksi Merupakan manajemen tingkat atas. Bertugas merencanakan kegiatan dan strategi keredaksian secara umum dan mengarahkan jalannya proses redaksi.

2. Middle management atau manajemen tingkat menengah bertugas sebagai penghubung antara manajemen puncak dan manajemen lini pertama, misalnya Wakil Pimpinan Redaksi atau Redaktur Pelaksana.

3. Lower management atau manejemen lini pertama (first-line management) adalah manajemen yang memimpin dan mengawasi tenaga-tenaga operasional. Manajemen ini dikenal pula dengan istilah manajemen operasional. Umumnya para redaktur halaman atau redaktur desk. Ada khusus halaman ekonomi, politik, pendidikan, kriminal, hukum dst.

Manajemen Mengandung Lima fungsi. Pertama, perencanaan. Kedua, pengorganisasian. Ketiga, kepemimpinan. Keempat, koordinasi. Kelima, pengaturan.

Manajemen keredaksian dapat diartikan proses antar orang yang merupakan satu kesatuan secara efektif dalam sebuah organisasi media massa untuk mencapai tujuan atau sasaran. Manajemen keredaksian adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, kompensasi, integrasi dan pemeliharaan orang-orang dengan tujuan membantu mencapai tujuan organisasi (pers), individual dan masyarakat.

Paling penting adalah bagaimana individu-individu yang terlibat dalam organisasi harus mampu terlebih dahulu memanajemen pribadinya masing-masing. Manajemen pribadi tersebut meliputi beberapa hal antara lain: perencanaan kegiatan, pengorganisasian kegiatan, pelaksanaan kegiatan, evaluasi kegiatan dan pengawasan kegiatan dengan pemanfaatan waktu seefektif dan seefisien mungkin.

Bila tiap individu di dalam organisasi menyadari betul akan posisi masing-masing dengan job description (deskripsi tugas) yang jelas dan tegas, maka perencanaan akan mudah dibangun dan diterapkan.

Ada dua bagian besar sebuah penerbitan pers atau media massa: Bagian Redaksi (Editor Department) dan Bagian Pemasaran atau Bagian Usaha (Business Department). Bagian Redaksi dipimpin oleh Pemimpin Redaksi. Bagian Pemasaran dipimpin olen Manajer Pemasaran atau Pemimpin Usaha. Di atas keduanya adalah Pemimpin Umum (General Manager). Ada juga Pemimpin Umum yang merangkap Pemimpin Redaksi.

Bagian Redaksi tugasnya meliput, menyusun, menulis, atau menyajikan informasi berupa berita, opini, atau feature. Orang-orangnya disebut wartawan. Redaksi merupakan merupakan sisi ideal sebuah media atau penerbitan pers yang menjalankan visi, misi, atau idealisme media.

Bagian Redaksi dikepalai oleh seorang Pemimpin Redaksi. Di bawah Pemred biasanya ada Wakil Pemred yang bertugas sebagai pelaksana tugas dan penanggungjawab sehari-hari di bagian redaksi.

Pemred/Wapemred membawahi seorang atau lebih Redaktur Pelaksana yang mengkoordinasi para Redaktur (Editor), Koordinator Reporter atau Koordinator Liputan (jika diperlukan), para Reporter dan Fotografer, Koresponden, dan Kontributor. Termasuk Kontributor adalah para penulis lepas (artikel) dan kolumnis.

Di Bagian Redaksi ada pula yang disebut Dewan Redaksi atau Penasihat Redaksi. Biasanya terdiri dari Pemred, Wapemred, Redpel, Pemimpin Usaha, dan orang-orang yang dipilih menjadi penasihat bidang keredaksian.

Ada pula yang disebut Staf Ahli atau Redaktur Ahli, yakni orang-orang yang memiliki keahlian di bidang keilmuwan tertentu yang sewaktu-waktu masukan atau pendapatnya sangat dibutuhkan redaksi untuk kepentingan pemberitaan atau analisis berita.

Bagian lain yang terkait dengan bidang keredaksian adalah Redaktur Pracetak yang membidangi tugas Desain Grafis (Setting, Lay Out, dan Artistik) serta Perpustakaan dan Dokumentasi. Dalam hal tertentu, bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dapat masuk ke bagian Redaksi. (http://stefanusakim.wordpress.com/2007/12/09/manajemen-keredaksian)

Transkrip wawancara

I. Riska Melanie Harianja (Pemred majalah Otonom)

Apa sebenarnya Majalah Otonom itu?

Majalah yang memuat berita mengenai hukum dan badan pemerintahan. Majalah ini pecahan dari majalah Ombudsman.

Bagaimana awal Anda masuk ke dunia jurnalistik?

Sejak saya SMP saya suka tulis menulis dan kebetulan paman saya juga bekerja di Kompas. Karena sering ikut paman saya jadi tertarik untuk masuk ke dalam dunia jurnalistik.

Apa kendala terbesar yang dihadapi oleh Otonom dalam pembuatan beritanya?

Kendala yang paling besar ada di narasumber. Terkadang narasumber kami bisa hilang kontak secara tiba. Kedua, mungkin penulisan berita.

Apakah pihak Otonom bermasalah dengan isu wartawan amplop?

Wartawan amplop itu suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari dunia kewartawanan. Jika amplop tersebut terkait dengan penulisan berita yang sedang dikerjakan itu haram tetapi kalo tidak menggangu kegiatan wartawan dan murni hadiah itu sah-sah saja.

Bagaimana Anda menanggapi komersialisme media dan idealisme wartawan?

Mulanya Otonom sendiri lahir karena bentuk ketidakpuasan beberapa orang di Ombudsman, saya, bang donny serta pegawai yang lain. Pernah ada cerita mengenai pemberitaan yang menyudutkan pemprov Jabar. Pas ingin diterbitkan tiba-tiba redaksi diperintahkan untuk cari berita lagi. Kami kesal dengan sikap bagian marketing itu. Setelah ditelusuri pemprov Jabar melobi marketing agar tidak memuat hasil liputan mengenai mereka. .

Jadi kami di Otonom, soal pemberitaan tidak ada negosiasi. Kami masih punya cukup dana dari para pelanggan untuk menghidupi Otonom. Tapi kamu juga sebenarnya tidak menutup diri terhadap iklan, ya bisa dibilang 50:50 antara idealisme dan komersialisme.


II. Donny Budiman (Pemimpin umum majalah Otonom)

Bagaimana awal mula didirikannya majalah Otonom?

Kami sadar menjalankan usaha ini tidak sekedar iseng melainkan karena kami mencintai secara murni kegiatan jurnalistik. Dari pengalaman di Ombudsman, saya bersama rekan-rekan membangun majalah ini dan kami juga memiliki beberapa kontak narasumber. Nah kira-kira begitu majalah ini berdiri. Majalah ini juga berdiri karena ketidakpuasan kami di Ombudsman. Kami memutuskan keluar dan membuat usaha media ini untuk memberikan berita jurnalistik yang benar.

segi finansial dan SDM majalah Otonom dapat dikatakan minim. Tapi karena ada dukungan dari jaringan yang kita punya dan juga rekan-rekan wartawan lain, kami maju terus.

Apakah majalah Otonom hanya memuat berita hukum saja?

Otonom tidak bisa dibilang majalah hukum, tapi majalah pemerintahan juga. Semua hal dilandasi aturan-aturan. Soal otonomi, ya itu juga dilandasi aturan yang jelas, yakni undang-undang otonomi daerah. Mungkin ketika kita bicara hukum dan etika orang akan tertarik, kepercayaan pembaca akan meningkat dan otomatis iklan pun masuk dengan sendirinya.

Darimana pendapatan majalah Otonom?

Pendapatannya jelas dari iklan. Setahun berdiri memang Otonom dibantu sama jaringan. Mereka para relasi membantu produksi kita dengan memasang iklan di Otonom. Biasanya, jika para relasi tersebut tidak memasang iklan, mereka akan merekomendasikan kepada teman atau relasi mereka. Jaringan atau networking sangat penting bagi kami. Begitupun dengan media lain. Gak mungkin cuma mengandalkan dana bisa terus jalan. Memang dana vital tapi klo tanpa jaringan apakah akan berjalan?

Siapa target audiance Otonom?

Kita larinya ke menengah lah. Middle juga dibagi tiga kan, low middle, middle-middle, high -middle. Kalo tingkat middle-high mungkin kita bisa sebut Tempo dan Gatra. Kalau Otonom ya middle-nya middle lah.

Sirkulasi Otonom sudah sejauh mana? Saya kok jarang lihat Otonom di eceran ya

Nah itu,kita belum percaya diri. Artinya ketika kita masuk ke pasar bebas, konsekuensinya kita harus siap beradu dengan media massa yang sudah eksis. Nah Otonom itu cari celah-celah pasar untuk bisa dimasuki lah. Makanya Otonom tidak akan membahas hal yang dusah dikupas oleh Tempo, Gatra, dan lain-lain. Kita akan buat berita yang belum mereka buat. Lebih dalam tentunya.

Makanya Otonom terbit tanggal 15 setiap bulannya?

Ya, betul itu. Coba kalo kita beradu dengan Tempo, kasus Munir misalnya, Otonom sudah dapat 2 sumber, Tempo itu sudah 20 sumber barangkali. Otonom berusaha mencari berita yang memang luput dari perhatian media-media besar. Kasus Gasibu misalnya, Trust dan Gatra itu sampai telepon kita loh. Kalau Otonom terus bersaing di bahasan yang sama, kita tidak akan sanggup karena resource kita terbatas.

mana yang lebih diutamakan antara dapur redaksi dan hadirnya iklan?

Keduanya harus berjalan beriringan. Tidak bisa hanya salah satu yang didahulukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar