Senin, 20 Juli 2009

curhatan janda kepada anaknya

Anakku menanyakan keberadaan ayahnya yang pergi, hilang dari semesta inderaku.

Setiap hujan turun, tanah itu melembek dan menjadi lumpur. Dia bertanya tentang air mulanya, kemudian merembet menjadi kata-kata yang berat bagi hatiku berjalan dalam pengalaman, dulu. dalam basah malam itu, genangan itu mengubah kerdip menjadi tanya.

Sejuk, ibu, itu, mata air, itu?

Entah apa yang ada di benak seorang bocah berumur empat tahun mengenai mata air. Ibu hibuk dengan jarum di telunjuk dan ibu jarinya di genggaman sambil berkata, kemudian berhenti, mengingat.

Oh, itu hanyalah air nak, kau masih bisa melihatnya. Jangan sampai, mata air yang kau perbincangkan kini, menjadi air mata saat nasib berbeda paham denganmu. Ayahmu demikian adanya.

Bocah itu, senyap dari kalimat dan sesaat memandang raut muka yang ibu pasang. Tiada yang lebih menyakitkan daripada ditinggal suami yang pergi, mengkhianati, dari seorang ananda yang pernah digombalinya.

Ayah kemana ibu?

Teruk sang bocah seakan-akan mengerti apa yang lalu dan kini diemban oleh ibunya. Dengan mata berkaca akibat kantuk karena malam kian larut, bocah itu menunggu, menunggu.

Tidulah nak, ayahmu sedang bekerja. Nanti juga pulang. Sabarlah menunggu hingga umurmu cukup untuk kedatangan ayahmu, bukan di matamu, melainkan dari kalimatku tentang ayahmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar