Jumat, 28 Agustus 2009

Ayah Ibu, Antara Kasih Sayang dan Egois

Dewasa kian meremajakan imajinasiku. Segala bentuk berontak telah siap kusempurnakan demi menjalani apa itu yang terlarang dan terumpatkan dari perintah orang tua.

Jangan sekali-sekali kau membuat malu ayah dan ibu, nak?
Memang kenapa yah?
Ayahmu adalah seorang pengacara dan ibumu adalah guru, jadi bersikaplah dengan baik agar mengindahkan citra ayah dan ibumu.
Tidak yah, aku sekarang sudah dewasa, sudah mampu mengendalikan mana itu kasih sayang dan egois.
Apa maksudmu?

Sudah sekian lama, hati dan pikiran ini memutar rekaman perintah-perintah seperti kaset lagu di dalam sebuah tape. Mungkin, sewaktu itu, aku masih berjalan ditempat, terlalu takut untuk mengatakan ‘tidak’. Baru kali ini, aku mulai memberanikan diri, meski gugup menemani bersama gemetar di sekujur tubuhku.

Ayah kembali menitahku untuk bersikap seolah bangsawan yang tanpa cacat. Ia menerapkan peraturan yang tidak bisa ku elak kan karena aku masih, anak kesayangannya.

Apakah ayah sayang kepadaku?
Tentu saja nak, coba jelaskan apa maksudmu?
Apakah aku lahir atas kasih sayang atau ada rencana lain?
Hah?

Ayahku terheran. Diam dan menungguku untuk berucap kembali. Namun, saat itu, aku ragu untuk menjelaskan perasaan yang seharusnya tidak kucakapkan kepada ayahku sendiri. Ia masih manunggu, berdiri di hadapanku, menatapku tajam. Aku tertunduk dengan topi yang mengenyahkan pandangan ayah ke bulatan mukaku. Aku berdoa dalam hati, ya Tuhan, jadikan apa yang baik itu menjadi kebaikan. Amin.

Andai saja, aku tidak bersikap baik bagaimana yah?
Jangan kau coba mengaku sebagai anak ayah.
Memang kenapa yah?
Seperti yang ku katakan tadi, hal itu bisa mencoreng nama baik keluarga kita.

Dan sebelum ku mulai, emosi sekian tahun menjadi seorang anak perlahan-lahan ku kumpulkan. Saat itu juga, aku menyerang ayahku dengan tatapan bagai seorang polisi kepada kriminil.

Satu hal yang harus ayah ketahui, Aku menginginkan terlahir dengan tujuan hasil dari benih kasih sayang kalian, bukan untuk rencana lain atau untuk hasrat egois kalian berdua..
Apa maks ..?
Sebentar, aku belum selesai. Tadi ayah berkata supaya jangan mencoreng nama baik keluarga kan? Memangnya aku ini apa? Anakmu atau alat untuk memperbaiki sebuah nama yang tidak nyata? Kau bisa menjawab pertanyaanku yah?
Asalkan kau tidak berlaku buruk, itu tak apa.
Oh ternyata ayah masih sama, EGOIS, tak paham maksudku. Ayah lihat apa yang hendak kulakukan nanti.

Aku merasa seperti robot buatan ayah dan ibuku sendiri. aku tidak melakukan apa itu yang salah, mungkin, karena itu pula, aku tidak pernah merasakan apa itu sesungguhnya benar yang sebenar-benarnya karena aku tidak melihat muka salah pada benarku. Dan untuk umurku yang beralih dewasa, ku makan semua pil pertanyaan yang ada sejak dulu. Kemudian, untuk keegoisan orang tua, aku berjalan di ruang gelap dimana tak seorang pun, melihatnya dengan mata. Aku tumbuh dan diajarkan hanya untuk membangun citra baik ayah dan ibu. Mereka menginginkanku sempurna, tak punya pilihan. Seperti hak yang telah terampas, aku mulai berkobar dengan airmata yang mungkin bakal ku teteskan.

dimas.

2 komentar:

  1. Apakah itu kisah nyata?

    Apapun itu.
    Terlepas tanggung jawab anak kepada orang tuanya maupun sebaliknya, setelah anak itu telah baligh.

    Sisanya adalah kasih sayang.

    Apapun perbuatan anak telah menjadi tanggung jawabnya sendiri setelah masa itu.

    Kewajiban anak adalah berbuat baik kepada orang tua...

    BalasHapus
  2. namun setelah baligh, anak itu masih menjadi robot orang tuanya . entah untuk kepentingan apa, dan si anak saat ini memiliki argumen sendiri untuk menghardik setiap yang salah .

    kasih sayang dan egoisme, dua hal yang saling berhimpitan dan sangat sensitif sekali .

    terima kasih bung gifar , ditunggu tulisan terbarunya . hehhehe

    BalasHapus