Senin, 10 Agustus 2009

Dangdut Ku Sambangi, Kasih Termodernisasi

Mamih, kau kampungan. Begitu anakku memanggilku, manja dirinya menyobek hatiku, nasibku salah di kata-katanya. Aku berusaha mencari nafkah dari suara, meski mendayu, meski melenggok pinggulku terkayuh.

Aku malu mih!!! Kenapa harus dangdut? Tanya Kasih, anakku satu-satunya. Dulu, sewaktu ia balita sambil merengek pertanda haus, ia tak pernah tahu kurawat dari susu hasil menyengkok nada. Panggung itu, sebuah mata dunia dalam kisahku, Kasih. Dari ujung panggung, semua kupijaki demi uang, membesarkan anak kita, suamiku sayang.

Sepeninggalmu, aku kacau. Rautku tak tahan lagi menyembunyikan kerut pelipis yang makin hari semakin runcing, tajam. Akhirnya, sedih kujatuhkan bersama air mata ini. Ia terus menyibirku tiada henti dalam prasangka buruk seorang biduan dalam modern tingkahnya. Entah, apakah aku bisa menahan ini lebih lama lagi.

Berhentilah menyanyi dangdut mih!!! Aku muak ..
Kasih!!! Cukup ..
Tidak mih, aku tidak ingin dilecehkan oleh teman-temanku hanya karena mamihku adalah seorang penyanyi dangdut ..

Dan emosiku tertelan lewat ludah. Kasihku beranjak dewasa dengan segala kesempurnaan yang harus siap sedia bersanding dengannya. Aku pun kosong, ingin ku apakan anakku ini. Mataku mulai mengerut, grahamku mulai bertabrakan membentuk bunyi keletuk. Saat itu, aku coba mengutarakan profesiku atas ego nya.

Apa yang salah dengan dangdut, bisakah kau jawab?
Dangdut itu norak, kampungan, apakah mamih bisa paham? Dari sekian banyak lagu, mengapa mamih memilih dangdut? Kenapa? Kenapa?
Kau seharusnya malu nak, ibu memilih dangdut karena sedari dulu, jenis dangdut menjadi identitas bangsa kita. Dan saat ini, kau menghinaku, sumpah demi Tuhan kau tak benar adanya? Kau adalah karuniaku. Ibu tak mau kau tumbuh dengan hinaan dimulutmu itu menjadi paten.

Aku masih memegang teguh, dangdut adalah aku. Dangdut adalah indonesia. Untuk apa bersusah payah mencintai irama bangsa lain sementara aku, biduan, merasa terasingi karena mereka. Aku hidup penuh dengan cerca, aku menerima. Dan aku tak terima, akar musik bangsa ini dihina oleh anakku sendiri, yang lahir dari rahim seorang Indonesia.

Dangdut. Satu budaya, satu karya, dan mereka seolah enggan untuk mengakuinya. Beberapa mungkin sehat akan budaya, namun yang lainnya mungkin juga sakit. Musik seperti pop, rock, punk, jazz, dan sebagainya memang indah tetapi bukan kita, bukan ibu pertiwi. Detik ini, dangdut masih bernapas menghiasi muka kelas tengah rada ke bawah, tidak kita, apakah kamu mau mengakui? Dan seperti semua, merasa menjadi kelas atas dan kelakuan tiap desakan zaman setipe menghina, menjerumuskan selayak bangsat, dibuang dengan alih-alih MODERN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar