Sabtu, 19 Desember 2009

Puisi Mbeling dan Korslet Kepenyairan

Jeihan Sukmantoro dan Remy Silado, dua sastrawan yang telah memelopori puisi Mbeling. Puisi yang dikenal dengan puisi nakal itu mengacau, mendobrak dunia kepenyairan yang selalu berpesan. Dengan lambang dan kata, puisi Mbeling yang mereka bentuk memiliki wajah atas protes ekspresi sastra angkatan tua seperti Chairil Anwar dkk. Sudah empat puluh tahun sejak lahirnya puisi Mbeling dan kini terangkum dalam sebuah buku hasil interpretasi Jakob Sumardjo atas puisi Mbeling Jeihan dalam bedah buku “Bukuku-Kubuku, Sajak Filsafat”.

Puisi Mbeling itu bergema sesaat sebelum acara dimulai. Hadirin terlihat antusias dengan tepukan tangan mereka meramaikan Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (25/10). Bedah buku yang digelar oleh majelis sastra bandung seakan tidak biasa. Topik kali ini adalah puisi Mbeling yang masih asing bagi mereka-mereka yang tidak berkecimpung di ranah sastra. Dengan sofa panjang yang terbentang dan sebuah meja berlapis kaca menjadi tempat para pembicara memadukan ilmu mereka mengenai puisi Mbeling.

Nama-nama pembicara yang menghadiri bedah buku ini sebagian besar berasal dari kalangan sastrawan dan menghadirkan seorang budayawan. Soni Farid Maulana yang juga seorang penyair menjadi moderator acara ini. Kemudian datang, salah satu pelopor puisi Mbeling Jeihan Sukmantoro dengan langkah kaki yang pendek. Meskipun tidak dalam situasi berduka, Jeihan terlihat memakai busana berwarna hitam dari ujung kepala hingga ujung rambutnya. Kopiah dan kacamata dengan lensa bundarnya masih lekat menutupi rambutnya yang mulai memutih dan matanya yang mulai tak awas. Kemudian hadirin terdiam ketika sambutan dibuka oleh moderator. Kini, puisi Mbeling sahut-sahutan di mulut para pembicara.

Puisi Mbeling adalah puisi yang unik. Hal tersebut disampaikan oleh penyair dari Tasik, Acep Zamzam Noor yang duduk paling kiri dari penglihatan para hadirin. Mendengar dari namanya, kata Mbeling berasal dari bahasa jawa yang artinya “nakal”. Usut punya usut, nama Mbeling bukanlah nama yang diciptakan orang bagi puisi ini melainkan nama yang diusung oleh pembuat puisi Mbeling. “Puisi ini berasal dari kaum muda dan untuk kaum muda”, begitulah Hawe Setiawan yang juga seorang budayawan memaparkan soal sejarah puisi Mbeling. Hawe mengetahui puisi Mbeling pada zaman pembentukannya dibuat oleh kaum muda yang berasal dari ekonomi menengah ke atas dan termasuk pula dari golongan terdidik.

Acep Zamzam Noor dan Hikmat Gumelar kemudian saling mengisi kekosongan mengenai nilai filosofis dalam puisi Mbeling yang mereka singkirkan dari sejarahnya. Acep dengan lantang mengatakan puisi karya Jeihan memiliki nilai filosofis meskipun dalam hal penulisannya memakai bahasa yang aneh. Jeihan pun ikut bicara. Dengan pelan tapi pasti ia meminta mic yang tengah dipegang oleh moderator. Jeihan langsung tanpa ancang-ancang berbicara mengenai penyair dan filsafat. Menjadi seorang penyair adalah satu fase untuk menjadi pemikir. Hal itu sangat berkaitan dengan pesan-pesan yang terdapat dalam puisi Mbeling karya Jeihan. Acep kemudian mengambil alih diskusi kembali dan sependapat dengan jeihan.

Acep memiliki pengalaman mengenai sajak dan filsafat yang juga tertulis dalam buku yang sedang dikupas pada siang itu. Acep dikejutkan dengan serangkaian kejadian aneh yang menimpa seorang anak muda akibat mengonsumsi makna sajak hingga ke akarnya. Acep berkelakar sehingga membuat bibir hadirin serta pembicara termasuk Jeihan melebar dan membuat gaduh seisi ruangan. Jelas saja, cerita mengenai seorang pemuda tersebut akibat efek samping dari sajak yang diutarakan oleh Acep. Korslet adalah istilah yang sering dipakai untuk gangguan arus pendek dalam dunia PLN, namun di dalam ruangan itu kata tersebut menjurus kepada kerusakan otak.

Acep yang memegang kendali tersebut tanpa gangguan terus melanjutkan kelakarnya yang berisi informasi. “Sudah saya bilang untuk menjadi penyair itu tak perlu belajar filsafat”. Rupanya ada seorang pemuda berusia sekitar 17 hingga 20 tahun yang mempelajari dunia kepenyairan. Semua terdiam dan dengan muka penasaran, hadirin dan pembicara menunggu kelanjutan cerita dari Acep. Acep bercerita jika anak muda itu kini menjadi gila lantaran terlalu dalam mempelajari filosofi dibalik tiap sajak. Anak muda tersebut sengaja masuk jurusan filsafat hanya untuk menjadi penyair. “Filsafat sebenarnya tidak perlu dipelajari oleh seorang penyair karena dengan sendirinya ia akan menjadi pemikir” seru acep yang sembari tertawa dan menghibur 30 hadirin yang datang.

Jeihan kemudian menambahkan komentar acep perihal penyair dan filsafat. Menurutnya seorang penyair adalah seorang yang kreatif sedangkan seorang filsuf itu adalah seorang yang cerdas. “Namun penyair bisa menjadi orang yang kreatif dan cerdas”, begitulah argumen Jeihan menyoal kepenyairan. Dan seorang filosofis itu nantinya menjadi dosen menurut Acep yang dibarengi dengan tawaan seluruh hadirin dan pembicara. Hawe dan Hikmat tidak terlalu bersuara kala topik mulai didominasi oleh acep dan jeihan. Mereka berdua duduk manis dan sesekali menyantap kue yang telah tersedia.

Puisi mbeling juga bisa dijadikan alat kritik sosial seperti yang tertulis dengan rapih dalam makalah yang disusun oleh hawe. Pada masanya, puisi mbeling kerap kali dijadikan alat menentang kebijakan orde baru yang membuat kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Hawe berupaya mengabarkan bahwa puisi mbeling memang merupakan puisi yang nakal namun patuh pada aturan. Sempat terlintas dalam pikiran hawe, puisi mbeling adalah langkah paling aman yang bisa dilakukan oleh pemuda untuk mengritik kebijakan orde baru tanpa kena ciduk. Jarang ada yang bisa menafsirkan puisi mbeling karena bentuknya yang aneh. Dan jeihan adalah pelopor kaum mbeling itu.

Jeihan kembali berbicara dan kali ini ia membacakan sebuah puisi yang baru saja dibuatnya pada acara ini. Puisi Mbeling yang berjudul sabun. “Sabun, istri kepada suami, cuci pake sabun, jangan lama-lama”. Jeihan tertawa sambil melemparkan pertanyaan kepada seluruh hadirin, “silahkan tafsir puisi tersebut menurut anda sekalian”. Dengan dibacanya puisi tersebut oleh Jeihan dan jarum jam bergerak membentuk 90 derajat ke arah angka 3 menandakan berakhirnya acara bedah buku ini.

Puisi Mbeling adalah puisi yang sengaja dibuat sebagai kritik sastra yang ekspresif. Puisi ini tak kenal gaya penulisan yang baku namun memiliki pesan-pesan di tiap baitnya. Dan untuk menjadi penyair, tidak perlu mempelajari pesan itu sampai belajar ke lain hal. Jeihan masih menginformasikan jika puisi Mbeling atau jenis puisi apapun bisa menjadi alat kritik sosial karena didominasi oleh kaum muda yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungannya. “Anak muda itu yang penting tertib berbahasa, tertib berpikir, dan tertib bertindak”, kalimat terakhir Jeihan bagi para pemuda yang menjadi generasi penerus bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar