Senin, 22 Maret 2010

metamorfosis : ibu


Ibu, aku tahu di dunia ini tidak ada yang tidak menyayangi anaknya sepenuh hati. Ibu, aku tahu, betul aku tahu bagaimana rasanya menjadi anak. Aku keluyuran, bertingkah nakal, sampai suatu ketika aku sadar, aku sedang berada di luar. Tidak terlihat olehmu.

Aku sudah besar sekarang. Aku tidak lagi merasa kesepian, karena memang sedari dulu aku selalu diluar, bersama siang, bersama malam yang terkadang kelabu, terkadang penuh dengan bintang.

Tapi bagaimana ini ibu? Mengapa aku bisa tumbuh menjadi manusia yang penyayang, aku selalu suka dengan hal-hal yang harmoni, padahal engkau tidak pernah berada disampingku ketika aku mulai nakal, ketika aku mulai mempermainkan tuhan.

Entah aku ini sebenarnya keras bagai batu atau lembut seperti salju. Terkadang, aku ingin kita bersama duduk di sebuah taman, berteduh di pohon yang rindang tanpa terganggu deringan telepon genggam. Nyaman dan tentram. Terkadang, aku tidak ingin kita bertemu, karena aku hanya bisa diam, menutupi semuanya. Aku begitu karena aku mulai sadar, aku berbeda dengan mereka yang selalu disamping ibunya, ditemani kesana kemari untuk hal-hal yang sepele, bahkan membeli baju lebaran.

Aku kenal denganmu dan yang lain, sungguh aku kenal kalian dengan dalam. Tetapi, andai saja kalian tahu, aku ingin kalian mengenalku, dari dulu. Aku selalu menganggap kita semua sudah terlambat untuk membenahi, karena aku sudah terlalu sadar akan waktu. Aku bukan lagi seorang manusia kecil yang terlena karena bermain. Aku sudah dewasa, mungkin saja aku sudah tidak peduli dengan hal-hal seperti ini.

Satu hal yang selalu ingin aku berikan, membahagiakanmu sepanjang waktu, karena itu janjiku kepada tuhan. Aku tidak tahu berapa kali aku berkata sayang, tetapi tak perlu engkau mengetahui apa yang sudah engkau ketahui. Tenang saja, aku sudah kembali, aku sudah mengerti, ternyata tidak ada kehidupan yang benar-benar harmoni. Andai semua materi yang telah engkau habiskan untukku bisa diganti dengan hati, maka hiduplah aku seperti orang lain, penuh dengan ribuan mimpi dan ambisi.

Aku telah takluk. Aku bertekuk lutut. Aku takut. Aku takut engkau menjadi orang yang merasa dirinya penjahat. Aku juga tidak tahu, engkau merasakan ini atau tidak. Sudahlah, biarlah kita menyayangi satu sama lain, tidak ada lain. Terkadang, aku ingin memaksamu untuk tidak pergi mencari uang, terkadang pula aku ingin memaksamu untuk mengantarku membeli sesuatu yang aku inginkan. Karena aku tidak pernah merasakan, bagaimana hidup dengan materi dan hati berjalan beriringan.

Cinta, aku punya itu ibu. Aku bisa memberikannya kepada orang lain. Aku bisa karena aku anakmu. Bukan keabadian, melainkan kesementaraan yang akan selalu aku rindukan, yang akan selalu aku impikan. Karena kesementaraan yang telah kita nikmati, lalu kita berdoa dan berharap dunia kita akan abadi, selamanya. Terima kasih ibu, sudah melahirkanku ke dunia ini, dan terima kasih atas kesempatan waktu, yang engkau berikan kepadaku untuk mengenal alam yang sendu.

Beruntunglah aku kini, aku masih bisa melihatmu, aku masih memilikimu dan tidak akan pernah ingin engkau pergi lagi, meninggalkan dunia ini. Berdoalah ibu untukku, karena aku butuh itu untuk mencari cahaya malam. Berdoalah ibu untukku, karena aku butuh payung yang menjagaku dari panas sinar mentari. Dan ketika aku pulang, peluklah aku, dekaplah aku sehangat bulan juni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar