Rabu, 03 Maret 2010

ceritapendeksekali

Aku pernah melihatmu di sebuah beranda, bukan tepat disitu, tapi di kaca jendela. Bayangan itu membentuk suatu rupa, yang samar, tidak terbawa sinar. Aku masih saja duduk di sofa, persis di beranda, menghadap ke kaca dengan secangkir kopi yang masih hangat untuk kuseruput. Siapa dia? Aku mengalihkan muka, mengarahkan ke belakang, berharap dia tidak samar lagi oleh pandangan.

Ternyata hilang, aku sudah menolehkan muka. Ekor mataku tidak dapat melacak dia, yang tadi berada buram di kaca. Apa aku bermimpi? Apa aku berhalusinasi? Tidak, semua itu tidak terjadi.

Kutaruh cangkir kopi itu kembali di atas meja, dengan tatakan sederhana ditemani vas bunga yang mewadahi mawar merah jambu itu mekar. Aku duduk gelisah. Aku mengepalkan tangan dan menjadi sandaran untuk dagu. Waktu itu, aku merasa heran dan gelisah. Siapa dia? Apa aku berhalusinasi? Alah, itu terus yang menghantui.

Cukup sejenak, dan benar saja dia muncul kembali dalam kaca itu. Masih samar, masih buram. Apa aku harus menoleh? Apa nanti dia nyata jika mata ini memalingkan ekornya? Sudahlah, biarkan aku berhalusinasi. Di kantung jaketku masih ada beberapa lembar kertas dan sebuah pensil, jelas sekali aku akan menodai dan melacurkannya.

Awalnya, kugambar wajah dia, abstrak, tidak memiliki rupa. Aku tidak bisa melihat mata dan keseluruhan wajah si dia. Baiklah, kulanjutkan lagi. Aku melihatnya dengan balutan di atas kepalanya, mirip seorang wanita muslim, tapi rada janggal. Apa benar itu kerudung atau cuma rambut panjang biasa? Namanya juga kaca, begitu kabur.

Aku melukisnya dengan pensil ini. Kugerakkan asal dari kanan ke kiri hingga atas ke bawah. Tak luput menyerong dari sudut kanan atas ke sudut kiri bawah. Tak lama, habis sudah, lahan kertas yang kunodai dan tumpul pula cokelat warna pensil yang kusenggamai. Aku penuh nafsu, penuh hasrat yang menggebu. Aku hanya ingin tahu, bagaimana dirinya, nyata atau semu?

Ternyata, waktu ini begitu singkat dan malam pun mulai nyaring mengalahkan deru mobil. Aku pun terlelap dengan dengung, sekali pantul aku terbangun. Muncul juga pagi dengan kokokan ayam dan cecuitan burung. Kudengar, disamping ada suara cekikikan, itu jelas sepupuku, si malas. Lebih baik aku kembali ke beranda, mencari dia yang muncul di kaca, tempo hari.

Kejut, itu dia. Kemarin dia hanya mampir di kaca, begitu kabur, oh tuhan. Aku melihatnya langsung, dia nyata, bukan buatan atau halusinasi semata. Dia memakai kerudung. Dia islam. Dia wanita. Kukira dia waria, imajinasiku mulai menggila, mungkin karena kegirangan. Aku lebih baik menghampirinya sebelum di kabur dalam langkahku menujunya.

Tanpa sempat mencuci muka yang berminyak dan liur yang berkerak, aku menuju lantai bawah dengan gegabah menyelusuri anak tangga yang bersiku-siku sangat curam. Sesaat aku membuka pintu, astaga, ada yang terlupakan. Segera aku beringsut ke lantai atas, ke beranda.
“Itu dia gambarku, itu dia puisiku.”

Kugaet semua barang itu dan kemudian mengebut ke lantai bawah. Si malas, sepupuku heran, tapi aku tetap peduli setan. Aku hanya ingin bertemu dia, si wanita yang hadir dalam imajiku. Aku panggil dirinya keras, seperti sebuah toa di sebuah masjid, nyaring sekali. Aku tidak tahu namanya, tapi tetap aku panggil.
Cinta, itu kata yang aku lisankan untuk memanggilnya. Aneh memang, karena aku memang aneh. Dia menengok, mengernyitkan dahinya yang sedikit tertutup. Iya, satu kata pertama yang ia keluarkan dengan mata mengerut.

Segera, aku berhadapan dengannya. Matanya menatapku, penuh tanda tanya.
“Ini, gambarku dan puisiku, untuk kamu”, aku gugup setengah mati, meski aku tidak mau mati walau seribu tahun lagi. Dia masih heran, bingung. Tangannya mulai bergerak, berhasil juga aku menstimulus dirinya dengan barang ini, sebuah gambar dan puisi. Ia menggenggam gambar dan puisi dariku. Matanya melihat, masih melihat, tanpa ekspresi. “Apa ini?”, tanyanya. Entah aku harus bilang apa, yang pasti aku menjawab, “itu kamu”.

Kemudian aku berkeringat, entah belum sama sekali membasuh muka dan menyikat gigi atau malu serta gugup di hadapan wanita ini. Aku melihat dia tidak senang menerima barang ini.
“maaf ya mas, saya ga ada waktu buat hal macam ini, buang-buang waktu saya,”katanya sembari mengembalikan gambar dan puisiku ini. “tunggu dulu mbak, eh cinta, ini seni untuk kamu,” jawabku dengan nada tinggi. Dia bilang, dia tidak suka seni, dan dia bilang juga, “apa itu seni, itu cuma orang-orang gila yang ada di dalamnya.”

Kemudian, aku melipat kertas yang berisikan gambar dan puisi dan memasukkannya ke kantung celana. Dia melenggang pergi ke arah sana, entah kemana.
“cinta, hidup itu pendek, seni itu panjang”, aku berteriak kepadanya. Dia tetap berjalan dan berkata, “persetan dengan itu semua”.

Baru kali ini aku bertemu wanita yang buta jiwanya. Semoga dia nyaman dengan jiwanya, karena diriku tidak nyaman dengan kata-katanya, dengan sikapnya terhadap gambar dan puisiku. Sekali lagi aku berteriak kepadanya,
“cinta, hidup ini terlalu singkat untuk ditangisi dan ditertawakan, buatlah seni seakan kau akan mati esok hari, dan beritahu semua orang akan seni mu, seakan kau hidup seribu tahun lagi, bangsat kau!!”.

Dia orang yang salah, tapi tetap saja, dia yang menginspirasiku atas puisi dan gambarku. Apa perlu semua kertas ini kusobek? Aku tidak mengerti, apa aku ini orang gila? Dia bilang begitu, dan aku tak sepaham dengannya, jelas sekali. Aku menyesal telah menjadikan dirinya sebagai inspirasiku, tapi aku sama sekali tidak menyesali waktu dan seni.

“Waktu, aku berterima kasih kepadamu karena membuat aku menyeni. Seni, aku berterima kasih kepadamu karena telah membuat aku memanfaatkan waktu, dengan baik.”

Sudahlah, lebih baik aku kembali ke beranda, siapa tahu nanti akan terjadi suatu laksana, untuk tanganku beraksara di atas meja, diatas kertas yang siap untuk diajak berdansa.

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi


Chairil Anwar, Maret 1943



dimas.fiksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar