Sabtu, 27 Maret 2010

buat sesuap penganan, pura-pura jadi wartawan


Kota ini, saat semuanya menjadi kecil, bahkan untuk semesta. Aku tinggal di sebuah rumah susun, sangat kecil, bahkan untuk kencing pun aku harus menempelkan lengan di tembok. Aku tinggal dirumah ini sendiri, ibu ayah sudah ku angkut ke kampung, kasihan, disini mereka hanya akan melihat anaknya menjadi badung. Sudah pagi, aku bergegas bangun, mengambil buku kecil dan pena, berlagak jadi wartawan rupanya.

Di alun-alun, ada kampanye si bapak kumis. Dia biasanya memberikan uang. "Ini kesempatan", kataku sambil menatap ke kaca dengan senyuman meringis, bengis. Pukul 10.00 WIB, aku sudah siap sedia. Seperti biasa sebelum aku cabut, aku menyeruput kopi hitam tanpa gula, maklum minmi biaya, tapi setiap kali ditanya aku selalu menjawab,"gula itu bahaya, diabetes bisa bisa".

Ngiiiiiiiiikkkkkkkkkk, pintu reot ini sudah kubuka, siap cabut tanpa terkunci. Tidak akan ada yang berani masuk. Sungguh, tiada satu kucing pun berani masuk. Jelas saja, dirumahku yang sepetak ini cuma ada kutang dan kolor serta lumut yang mengerak di tembok. Sudahlah biarkan, saatnya mencari penganan.

Alun-alun sudah ramai. Deru knalpot motor saling saing menyaingi berebut perhatian dengan teriakan pedagang obat kuat menjajakan cairan olesan, mungkin cuma sekedar oplosan. Aku berjalan menyusuri, lirik kanan dan kiri. Ada panggung, di tengah alun-alun, ada si bapak kumis, sedang orasi rupanya. Kibaran bendera menutupi terik matahari. Pohon-pohon pun menjadi iri. Angin bersahabat sekali.

Aku menunggu si bapak kumis itu selesai berbasa-basi. Sembari menunggu, aku menclok ke seorang ibu yang bersorak sorai mendukung si bapak kumis. Kukeluarkan buku kecil dan pena yang terselip di lipatannya. Berlagak seperti dokter sebelum mendiagnosa, aku bertanya-tanya, tanpa perekam suara.

"bu, apa hebatnya bapak kumis itu sampai-sampai ibu teriak-teiak mendukungnya?", kataku dengan menajamkan pandangan mata serta tangan yang siap melakukan steno.
"itu mas, si bapak bagus", sahut sang ibu sambil menaruh tangannya di dahi, menutupi sinar matahari yang terkadang tertutupi oleh bendera dengan logo burung gagak itu.
"apa bagusnya bu?", kembaliku dengan penasaran.
"bagus visi misinya. cakep deh. kita ga akan melarat lagi"
"oh begitu ya bu? wahwahwahwah", kataku cetus.

Dari kabar yang kudengar, si bapak kumis ini orang kiri. Ini menarik buatku untuk memancingnya mengeluarkan sedikit duit yang membangkai di kantungnya. Si bapak kumis sudah selesai. Aku bergegas ke belakang panggung, bersopan santun kepada antek-anteknya terlebih dahulu, mengaku dari media besar tanpa tanya-tanya tanda pengenal. Ternyata, banyak juga wartawan yang datang. Aku malu, sedikit ketakutan, takut identitas pencarian uang ini ketahuan.

Aku buang pikiran itu, kusodorkan pertanyaan ke bapak kumis. Untung suaraku rada besar jadi mudah terdengar. Tiba-tiba langit menjadi kelam, seolah tahu perutku sudah lapar.

"bapak termasuk golongan kiri?", tanyaku sok tahu.
"pertanyaan macam apa itu, saya ini netral", jawab si bapak kumis.
"netral itu kan nama sebuah band pak, yang benar nih bukan orang kiri, oh oke kalo begitu, tidak seru ah", kataku menyudahi.
"sebentar, begini, saya tidak menganggap saya ini kekiri-kirian, tapi saya cinta rakyat dan ingin mereka makmur. itu aja", jawabnya pede.

Aku mencatat asal-asalan. Dia tidak melihat apa isi tulisanku karena yang dia inginkan adalah citra. Bukan citra natural seperti lagu Seringai. Duit pun keluar. Ini dia yang sudah ku tunggu.

"kenapa ini pak, apa ini pak"
"udah. ini buat kamu saja, beli makan buat anak istrimu, karena saya cinta rakyat"

Dan dia seperti penikmat cinta pertama, cinta sejati dan blablablabla, gombal sekali.

Panas mulai tenggelam dan aku dapat uang. Inilah negeriku, subjek dan objek sama saja. Idealis bukan tempatnya disini. Disini hanya penganan dan keterkenalan. Muak? Mau bagaimana lagi. Yang penting aku senang dan dia senang. Peduli apa aku tentang negeriku, karena aku hanya kenal perutku. Sudah, sudah terlalu banyak bacot tentang perubahan. Cuma omong doang. Disuruh terjun langsung malah pura-pura pamit ke belakang sebentar. Ini kemiskinan. Kekayaan hanya milik mereka yang doyan ceramah di depan sini.

dan segera, aku menuju tempat makan. selamat tinggal lapar. Besok aku akan menjadi wartawan aspal lagi. Karena profesi ini tidak membuat perutku ini menjadi manja, merengek-rengek minta dijejali penganan. ahahahahahah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar