Senin, 31 Mei 2010

Mei 2010

Bulan demi bulan telah berganti. Mei akan menemukannya kembali, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, ia bakal pergi untuk berganti dan berubah menjadi dirinya di tahun yang berbeda, tahun berikutnya. Apakah bulan ini hanya sebuah jumputan manis atau masam bagi seseorang atau khalayak negeri tentang situasi perasaan dan moral?

Serta segelimangan kejadian dan serentetan peristiwa laten di bulan Mei yang selalu diguyur oleh hujan. Polemik dan problematik yang mesti terpecarkan satu-satu, entah itu manis atau masam bagimu. Mei ini, sebuah bulan yang dalam pandangan subjektifku sendiri terasa amat sengkarut. Sengkarut yang berjibaku. Tiga puluh satu hari yang terlewatkan, dan sesaat terpikirkan, “apa yang sudah aku lakukan selama 31 hari ini?”

Diluar sana, selalu ada yang menyukai berakhirnya sebuah bulan. Entah, mungkin ada kemesraan khusus yang dianalogikan dengan teks singkat dalam mulutnya. Sebuah sastra estetik yang mengesampingkan tujuan asalinya. Sastra lisan yang tajam dan berbahaya.

Aku menemukan berbagai macam sastra teks dan retorika. Di kemunculan bulan ini, buruh-buruh turun ke jalan, sudah jelas maksud apa yang hendak mereka sampaikan. Tapi dari tahun ke tahun, kacamata buramku atas objek Marx ini tidak pernah mendapat jawaban oleh mereka yang bekerja dengan dasi, setelah necis dan pantalon. Peristiwa laten yang bosan namun patut untuk disimak.

Mereka berteriak-teriak di tengah terik, Bandung 1 Mei 2010. Menyerukan suara baru, menantang neolib, seperti memutar tusukan babi yang diputar di atas api yang berkobar, mereka terpanggang, dan keringat yang bercucuran membuat gemas si tukang kritik. Siapa? Aku, kamu, mereka atau siapapun yang memiliki atribut nihil soal ini. Cuma orang seorang yang mengerti, selebihnya biasa saja, menjadi ibu dan ayah bagi anak-anaknya, mencari uang demi sandang, pangan dan papannya.

Itu hanya sebuah kejadian yang terus-menerus terjadi. Apa yang bisa kita apresiasikan dengan Mei yang sebentar lagi berakhir? Aku lihat beberapa orang berbicara tentang hujan yang indah di Mei ini. Ada yang berbicara tentang romansa, ada yang berbicara tentang hidupnya, ada yang berbicara tentang biaya hidup menjadi seorang dewasa, ada yang berbicara mengenai wirausaha. Seluruh daya dan upaya, segala bentuk permohonan dan pengharapan yang semoga saja baik untuk diejawantahkan dalam kehidupan bersosial dan bertuhan. Tuhan bersama kita, entah benar atau dusta, terserah saja memilih satu di antara dwitafsir ini.

Jika ada yang merindukan hujan, ketahuilah, tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni (Sapardi Djoko Damono; Hujan Bulan Juni). Silang sengkarut yang bersitumbuh dalam Mei, dalam pandanganku yang tidak seposisi dengan kesenangan. Bak air jatuh dari wajan, duniaku merasa jatuh dari tempat yang datar. Sama saja, tiada senang tiada duka. Dan imagisme Sapardi yang mengajarkan banyak hal, seperti aku mengajarkan kesia-siaan kepada perempuan kecil ini.

Kesia-siaan macam mulut yang tajam seperti pisau, raut muka yang tengik seperti gembel terus-terusan diterpa terik. Teruk sekali. Mei yang sengkarut, membuatku menjadi manusia tidak terdidik. Entah kebal atau murahan, May Mei ini terlalu biasa dan sesekali bergejolak untuk romansa. Menggerojok asal-asalan ke muka dunia. Bagi mereka yang merindukan Juni, bersabarlah serta berharap berdoa, semoga kamu belum mati selama kamu masih merangkak beranjak ke tempat yang lebih baik.

Sastra, Mei tidak pernah meminta untuk berkata sesuatu hal. Ia hanya berjalan sempurna seperti silam, selalu sama, tanpa fluktuasi yang mencengangkan. Ada yang berfluktuasi di mataku, ada sebuah dekadensi dari seorang terpelajar. Dekadensi moral, mengaku terpelajar dengan sikap manusia-manusia yang sama sekali tidak terdidik. Apa kita sebuah kolonial? Apa kita seorang patriotik?

Aku lebih baik menjadi orang-orang pinggiran daripada berusaha menjadi terdidik ala kolonial. Kubur dalam-dalam kenanganmu, terserah ingin menangisi, Juni tinggal menunggu waktu, untuk dirimu, yang mungkin saja terasingi nanti. Untuk ketidakjelasan ini, kata terakhir dari Mochtar Lubis untuk Horison, “masih bertahan meski dalam kemiskinan”. Inilah hidupku, dan masih kabur siapa diriku yang melewati tiga puluh satu dari kumpulan dua puluh empat jam.

Dedikasi untuk Mei yang terlewati. Aku hanya ingat awal dan akhir Mei.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar