Selasa, 25 Mei 2010

Jejak kata (ngetes sebuah peran)

“Aku sakit, seharusnya aku tidak membaca amplop itu”, ucap dewa yang duduk di bangku taman dekat menara gendeng. Dewa adalah laki-laki dengan bulu dada yang lebat serta betis yang tebal berotot. Sayang, hatinya terlalu manis untuk menjadi laki-laki. Sejak kecil, ia begitu saja ditinggalkan oleh orangtuanya yang sudah terucap oleh sebuah surat.

Setan pun terlalu baik untuk orang sepertiku, dan dunia seakan terlalu kecil untuk senyumku yang selalu mereka hina.

Kemudian tahun, lambat laun membuatnya menjadi dewasa. Dewa tumbuh dengan psikologinya, entah menyerupai atau memang sejatinya perempuan. Ia berdandan, tak jarang ia berpupuran dan bermaskara. Gincu yang tebal dan dagu yang sengaja ia bentuk, menjadikannya seperti hidup di kalangan lemah lembut.

Sampai suatu ketika, tanpa tersengaja, ia melihat surat yang diberikan orangtuanya dahulu. Alisnya mulai menajam. Dengusan napasnya menjadi geram dan tangannya seraya mengepal. Bedak yang menggeluti wajahnya berangsur menjadi butiran, buih-buih keringat. Ia marah terlahir berbeda dari nilai-nilai ukuran standar sebuah gender manusia, yang membuatnya dipisahkan dari kesenangan.

“Apa aku tidak normal?”, serunya sambil memandangi cermin yang pas berada di depan parasnya. “Tuhan, salahkah aku menjadi begini, salahkah aku menjadi manusia jika hidupku penuh dengan derita?”, katanya dalam hati sambil tak kuasa menahan isakan tangisnya.

Ia tetap menaruh dendam meskipun hari sudah berjalan terlalu jauh dari masa mudanya. Segera ia membawa selembar amplop yang berisi surat tersebut. Ia berjalan keluar, mendobrak pintu kemudian membantingnya dengan keras. Ia tampak terburu-buru, angin-angin menjadi saksi bisu yang menemani seribu langkahnya menuju tengah kota.

Rambutnya yang panjang tersibak megar ditiup angin. Gincunya yang merah merona berantakan diseberangi airmata. Ia duduk dan menangis. Ia duduk dan tertunduk di bangku taman. “Tuhan, ambil saja aku kembali pada-Mu”, doanya pasrah.

Sambil mengusap tetes airmatanya, ia kembali membuka surat itu, surat yang menjadi jembatan atas hidupnya kini dan dulu. Ia kembali membacanya, beberapa kalimat yang membuatnya tiada henti untuk tersengguk.

Untuk dewa anakku sayang,

Ibu sayang Dewa. Bapak sayang Dewa. Dewa jaga diri ya. Ibu sama Bapak mau pergi. Dewa jangan nakal ya. kalo dewa sudah besar, menikahlah ya nak, ibu mohon.


Dewa semakin menjerit. Suara sengaunya mengalihkan pandangan kerumunan orang yang sedang berjalan di taman. Cuma ada merpati, yang setia menungguinya di sekitaran kaki.

“Tidaaaaaaaaaakkkkk. Apa ini bentuk kasih sayang. Apa ini bentuk ibu sayang aku, meninggalkanku karena aku bencong. Buat apa aku menikah jika kalian tidak ada disampingku.” ucapnya dengan suara yang lantang.

“Sudahlah, aku mau menikah denganmu”, sontak suara perempuan memecah serunya tangisan dan penyesalan. “Seruni, namaku”, ucapnya sangat lembut sambil memegang bahu kiri Dewa. Lonceng pun berbunyi dari menara gendeng.

Tangisan Dewa berhenti dan perlahan ia tengok sebuah wajah ayu sambil berkata,

“Kenapa ……. ?”


bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar