Selasa, 27 April 2010

Rani, Cinta dan Agama

sebuah cerita pendek:


Kita selesai, cinta kita tidak bisa dilanjutkan lagi.

Begitulah kata rani. Kekasihku yang lucu itu. Sudah lima tahun kita menjalani kasih sayang, menjalani perjalanan cinta seperti romeo dan juliet yang pada akhirnya berujung pahit. Kita bukan tidak saling cinta lagi, tapi dunia dan prasangka membuat kita melangkah tidak jauh kembali. PISAH, itulah kalimat terakhir rani untuk memutus kisah percintaan kita yang merdu dan selalu sendu.

Kenapa mendadak sekali rani?
Kamu dan aku berbeda sayang, memang dalam cinta kita sama tapi agamaku menuntut untuk mencari laki-laki yang seiman. Maaf sayang.

Aku kemudian terdiam. Aku tidak mendengar kata-katanya. Aku terhanyut oleh sebuah kata, perpisahan aku dan dirinya, bukan agama yang diucapkannya barusan. Sepiring ketoprak pun tidak jadi kusendok, padahal lontong dan togenya sudah siap kucungkil. Aku menatapnya, masih menatapnya dengan tajam. Seakan tidak percaya, aku mulai menaruh piring dan kemudian memegang bahu pacarku yang telah menjadi mantan dalam beberapa detik.

Rani tertunduk tak berani menatap mataku. Hujan belum turun tapi rasanya badanku sudah menjadi dingin. Ada angin kencang, rambut panjangnya beterbangan. Aku masih mengeratkan peganganku pada bahunya. Dia masih tertunduk, diam seribu bahasa.

Rani, katakan kau sedang bercanda?
Rani, bilang rani, bilang sekali lagi kalau itu tidak benar?

Rani masih diam. Dia berusaha memalingkan muka tiap kali aku ingin melihatnya. Dia tersengguk, menahan tangis sepertinya. Aku menjelma menjadi kesetanan. Kalut. Dia masih diam dan tanganku masih setia mengeratkan bahunya. Kemudian langit menjadi kelabu, seketika berubah menjadi mendung. Orang-orang melihat ke arah aku dan rani. Seperti tak ingin ada komentar yang menertawakan, aku ajak rani pergi dari sini.

Sepeda motorku tidak melaju kencang. Kaca spion kuarahpandangankan ke rani. Dia masih saja diam, entah apa yang sedang dipikirkan. Tibalah kita di sebuah tempat yang sunyi, dikelilingi rerumputan yang hijau cemerlang. Ada air mancur yang mengucur, sebentar lagi bakal turun air yang mengguyur, bukan hujan, tapi seliter tangisan. Pilu.

Tak pakai lama aku bergegas untuk menggenggam tangannya. Kukatakan beberapa kalimat yang mempertanyakan sebuah alasan mengapa romansa ini mesti dibubarkan. Aku tidak ingin ada cerita klasik disini, sebuah alasan yang sering didengungkan di sinetron remaja. Cinta segitiga atau cinta hilang karena siti nurbaya yang beredar lagi di masa kini.

Rani perlahan mengangkat wajahnya yang sudah dibasahi airmata seperti air mancur itu. Sudah kuduga. Dia memandangku. Matanya menangkapku dalam kesedihan. Sebentar lagi akan ia ceritakan apa yang membuatnya begitu. Aku menarik napasku dalam-dalam, bersiap menghadapi pernyataan dengan segala kemungkinan-kemungkinan.

Mendung sudah semakin menjadi-jadi. Angin dingin sudah menyiung berkejar-kejaran, membuat bulu kuduk mengayun-ayun di atas kulit. Agak dingin, tapi tidak beku seperti mulut rani. Dia masih bungkam, masih ingin berkata, tapi lagi-lagi tersedan-sedan melanjutkannya.

Akhrirnya rani kuberi jarak. Aku mundur dua langkah dari hadapannya. Biarkan rani merasa tenang untuk sekedar berkata apa yang menjadi masalah utamanya. Dia memandangku sekali lagi. Aku berdiri sambil berkacak pinggang dan membasahi bibirku sendiri dengan lidah yang dijulurkan.

Kita beda agama sayang.
Bukankah kita sudah membahas ini dari dulu? Bukan agama yang sedang kita mainkan rani, tapi cinta. Aku sayang kamu.

Dan kita berdebat cukup hebat. Satu hal yang tidak bisa ia tolak adalah permintaan dari orang tuanya. Ini seperti lelucon di mataku. Tidak lebih dari sinetron lagi. Sama saja, tidak ada yang membuatku lebih geli. Rani tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku sudah mendebatnya sedemikian hebat. Mendung semakin gelap, dan gerimis pun gemericik, sendu sekali sepertinya.

Dulu, aku dan rani sempat menyembunyikan perbedaan agama kita masing-masing dari orang tua. Bagiku, biarkan aku dan rani yang bermain cinta, biarkan kita berdua yang menikmatinya. Agama soal lain. Aku dan rani sudah dewasa, berhak sekali untuk menentukan masa depan sendiri. Tapi apa daya, rani masih tidak dipercaya untuk menjadi dewasa. Dia tidak pandai berkelit, tidak seperti diriku.

Kamu tidak menjelaskan cinta kita ini rani?
Menjelaskan apa, tetap saja mereka tidak mau mengerti, sebelum ini terlalu jauh lagi, aku ingin kita berpisah disini.

Rumput di sekitarku mulai dibasahi hujan. Jaketku pun basah. Rani pun basah. Agamaku, tidak menjadi penunjuk jalanku bersamanya, begitupun agama rani. Rani terlalu cepat untuk berkata, aku pun tidak siap untuk mendengarnya. Kami berdua dalam kesedihan, dan mendung tepat sekali menggambarkannya.

Aku mencintai agamaku lebih dari apapun. Karena Tuhanku yang paling aku sayangi, aku ceritakan semua kepada-Nya. Ternyata sunyi sekali. Dalam doaku pun, Tuhan seolah mendengar, karena aku dan rani pernah bahagia, tapi itu kemarin. Ternyata Tuhan telah diam. Dia tidak bisa mempersatukan.

Aku mengantarkan rani pulang, tiada kata lagi yang bisa aku berikan. Sebuah penyesalan yang kusesali, entah bagaimana rani sekarang. Di teras rumahnya, orang tua rani sedang duduk bersama. Ayahnya membaca koran dan ibunya sedang merajut. Knalpot motorku membuyarkan kesunyian mereka berdua.

Ayah rani perlahan menutup lembaran koran, mendangakkan dagunya ke arahku, tepat di depan gerbang pintu. Ibunya menghentikan gerak tanggannya, sama seperti sang ayah, ia juga melihat ke arahku. Tidak ada senyum lagi. Tidak ada sapaan hangat dan mesra. Rupanya rani sudah bercerita. Bercerita tentang perbedaan agama kami.

Pita suaraku seakan sudah putus daritadi, tidak bisa lagi aku mengucapkan salam kepada orang tua rani. Ayahnya terlihat meremat ganas koran di tangannya, ibunya biasa saja, masih duduk rapi, tidak beranjak dan berdiri. Tiba-tiba suara keras menjerit, bukan petir. Suara ayahnya memotong debur hujan sore ini.

Rani, lekas masuk dan mandi. Kamu kehujanan!!!!.
Iya yah.

Rani berlari masuk ke dalam rumah, sempat menoleh ke arahku sebelum membuka pintu gerbang. Petir saling sahut menyambar dan kilat seakan memotret tragedi ini, jelas di depan mataku saat ini. Aku masih tidak pergi dari sini, masih anteng di atas motor, ingin mengetahui kelanjutan dari cerita ini.

Benar saja, rani, perempuanku yang lucu itu berdebat dengan ayahnya. Aku tidak mendengarnya, aku hanya melihat, terlihat tanggannya ia ayunkan, sesekali mengarahkan kepadaku. Dan hujan membuat pandangan itu menjadi samar, beberapa kali ku elap air di wajahku. Dan mendadak, rani menghampiriku. Ia berteriak.

Pergi, pergi kamu darisini.
Tapi rani ..
Pergi saja yang jauh.

Baru aku ingin membalas kata-katanya, ia sudah pergi masuk ke dalam rumah. Bergegas sekali. Aku semakin tidak mengerti. Orang tuanya juga tidak hangat, tidak menerima kehadiranku dengan senyuman lagi. Agama, tiba-tiba menjadi sesuatu yang kubenci. Ia tidak bisa menyatukan aku dan rani. Ia memisahkan kami, dua insan sejoli.

Padahal, dulu tidak ada masalah sama sekali. Sayangnya, aku dan rani telah menipu diri kita masing-masing. Apa yang sebenarnya aku inginkan dengan cinta ini musnah. Agama, yang diucapkan rani kepada orang tuanya telah menjadi pemisah. Aku selalu berkata, jangan campuradukkan cinta dan agama, karena itu adalah sesuatu yang berbeda. Cinta adalah salah satu jalan membina hubungan dengan manusia. Dan agama bagiku, merupakan suatu jalan berkenalan dengan Tuhan.

Tapi satu dan lainnya sudah mengganggu, tidak bisa berjalan secara harmonis. Mengapa semua orang senang dengan keseragaman? Padahal aku dan manusia lainnya diciptakan berbeda-beda. Perbedaan bukan soal. Rani sudah mengerti, tapi ia tak cukup tangkas untuk memahami dan menyetelkan pada telinga orang tuanya. Tuhan bersama kita, dan entah apa rencananya.

Tuhan, mendengarkah engkau saat aku komat-kamitkan doa?
Tuhan, aku percaya kepada-Mu. Sekarang mengapa aku tidak percaya dengan kepercayaanku?

Aku masih bermandi hujan di atas motor. Masih di depan rumah rani. Ayahnya sudah menghajar sedari tadi. Matanya yang menembus barisan hujan sudah melihatku hina. Melihat perbedaan antara aku dan dirinya. Jika Tuhan membentuk cinta dan agama dengan serasi, maka aku harus berbuat sesuatu. HARUSKAH KU BUNUH SI TUA INI? Dia sudah menghalangi cintaku bersama rani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar