Sabtu, 28 Agustus 2010

menulislah, kelak.

jika tak mendokumetasikan apapun, kita tidak memiliki sesuatu untuk ditertawakan, jika tidak menulis, maka kita akan hilang dalam dunia, bahkan dalam masyarakat.


Sudah banyak waktu yang telah dilalui, sudah banyak canda yang terlewati. Jika berbicara kepada sesama saja sudah melebihi perasaan bahagia, apalagi menuliskannya ke dalam sebuah tempat dimana semua orang bisa membaca. Takjub, mungkin? Memang? Prinsipnya, aku tak pernah ingin hilang dalam masyarakat. Merangkum kejadian menjadi sebuah keterbacaan.


Menulis sebuah ketidakjelasan, bagiku menjadi sebuah kebahagiaan yang melebihi uang. Jelas uang bisa membeli semua, tapi aku menulis, aku ingin membeli diriku utuh dalam dunia. Jauh pergi kemanapun angin berkesiur, debunya tetap mengikuti, begitupun aku, mengalun dan berjalan dengan semua bahasa ini, bahasa yang memang aku sukai. Ia terus memaksa, karena memang itulah satu-satunya yang aku bisa. Cukup bermodal benda yang mengeluarkan warna, kemudian aku menulis huruf-huruf, mungkin secarik puisi yang tidak jelas maknanya.


Apalagi yang bisa membanggakan, jika piagam dan piala pun tak terpajang di dinding dan di atas almari, karena aku memang tidak punya. Menganggap diri sendiri pandai pun tak kuasa, karena aku belum menghasilkan uang, aku belum menghasilkan apapun untuk orang tua, khususnya untuk diri sendiri. Ibu, mengidam apa dirimu sehingga cita-cita pun tak jelas aku terka keberadaannya?


Ingin menjadi penulis, sepertinya mungkin, tapi teramat sangat malu. Di luar sana, lihatlah, mereka bisa menjadikan bahasa indonesia menjelma edar, sangat beragam. Aku terlalu malu untuk memulai, aku merendah dan semakin merendah. Aku bukan padi yang berilmu, semakin tinggi semakin merunduk, semakin pandai semakin santun. Pun aku bukanlah pohon kelapa di pinggir pantai, semakin tinggi semakin miring, hampir rubuh diterpa angin, semakin pandai menjadi semakin gila. Aku bukanlah manusia yang merasa pintar, baik, berbudi, cakap dan tangkas, aku adalah manusia biasa.


Aku hanya bisa menulis. Mudah. Tulisanku tidak indah, tidak menarik untuk dibaca, tapi aku suka. Bagiku, keindahan tidak dicari tapi diciptakan sendiri. Bagiku, tulisanku rendah. Bagiku, tak ada istilah merendah untuk meroket karena aku tak punya mancis untuk membakar sumbu. Ingin berpetualang kemanapun hobiku, pada akhirnya aku kembali, untuk menulis lagi.


Aku cuma ingin, suatu hari kelak, ada yang membaca ketidakjelasan bahasaku, keabstrakan makna bilangan hurufku. Sampai masa tua telah memanggil kegopohan, anak dan cucuku mengetahui, siapa aku sewaktu tegap.


Tuhan, kabulkan apa yang menjadi doaku, tidak banyak dan mudah bagimu untuk menulis semua, garis dan guratan jalan hidupku kini dan kelak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar