Minggu, 29 Agustus 2010

antonim

Aku mengakui hidup, aku juga mengakui mati.

Aku bertemu, kemudian tiada yang bernyanyi, mengiringi kepergian yang memang akan terjadi. Dan yang hidup pastilah mati. Untuk sebuah kebalikan, untuk suatu hal yang selalu saja datang, tapi ia tidak pergi. Sebuah antonim, sebuah dunia yang membikinnya satu sama lain.

Tidak ada sinonim, seperti pertemuan dengan sebuah awalan. Ternyata, kesemuaan di dunia hanyalah antonim. Di setiap hal, di setiap ucapan dan tulisan, takdir, dunia, tidur dan sebagainya, aku menemukan antonim semacam pertemuan dengan perpisahan, awal dan akhir, bangun dan tidur, dan kesemuanya tidak dapat diatur, semuanya berjalan begitu, seperti hidup yang akan menjadi mati.

jika bisa, aku ingin meminta kepada yang kuasa, satu hal saja, untuk membuat sepotong kalimat tanpa tandingan, aku minta sepucuk tanpa lembaran. Aku meminta, aku berdoa, aku tunduk kepada dia yang tak terlihat, sebuah kepercayaanku, sebuah agamaku yang menjadi sebuah aturan. Tuhan, berikan aku sinonim, berikan aku kalimat indahmu tanpa seterunya. Mungkin tidak bisa, karena tuhan, dan ada yang berperan menjadi setan. Ada yang baik, ada yang berlaku jahat. Antonim, aku mencintaimu seperti kapas dan arang, seperti lilin dan karang.

Jika surga dan neraka tak pernah tercipta, mungkinkah kita hidup dalam kebiasaan berbahasa, berkosakata, mendahului tuhannya, bersentuhan kepada setan, mencumbui apa yang dilarang. Dan segala aturan tidak terbentuk, dan segala pelanggaran tidak terwujud. Andai saja, aturan tidak terbentuk dan kita sama sekali tidak mengenalnya, mungkin saja, kita juga tidak mengenal pelanggaran atau kesesatan dalam setiap kegiatan yang dihendaki. Semua kebebasan tanpa antonim, semua keindahan kepada sinonim.

Sayang, itu mimpiku, sama seperti doaku kepada tuhan di atas sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar