Rabu, 22 Juli 2009

Indonesia.


Stop. Negara ini merdeka namun merengek-rengek bagai bayi tua berboneka. Umur boleh tua tapi warga negaranya, berpikir terbuka dan ramah tamah. Hah?

Dalam carik kertas tua, teks merdeka dibuat, mempelopori nadir perjuangan yang pernah diangkat lewat bambu runcing. Sakti. Prokalamasi, kami …….

Negara indonesia, klenik atau yang orang bilang ‘tanpa teknik’ itu ternyata sudah ada sejak dulu, dan ilmu hitam, mengapa kau tak menyantet kompeni-kompeni dan tuan tanah? Dan sekali lagi, nominal lah yang berkuasa.

Mengapa aku tidak dilahirkan sebagai orang bule, berkulit pucat dan bebercak di di dada akibat mengonsumsi daging babi? Dan sawo matang, rupanya telah menjadi darahku dan kerendahan merasuki kepribadian warga indonesia, serupa dengan kepribadian bangsa ini, rendah hati dan sayangnya, rendah diri.

Teror, tak bisa kau biasa seperti afghanistan dan palestina. Dentumnya kuat dan korban, mengintai orang luar, bukan dosa, melainkan kesalahan negara dari orang luar tersebut. Aku adalah aku, dan negara hanyalah aku hidup. kau jihad, salah tempat kiranya.

Senin, 20 Juli 2009

curhatan janda kepada anaknya

Anakku menanyakan keberadaan ayahnya yang pergi, hilang dari semesta inderaku.

Setiap hujan turun, tanah itu melembek dan menjadi lumpur. Dia bertanya tentang air mulanya, kemudian merembet menjadi kata-kata yang berat bagi hatiku berjalan dalam pengalaman, dulu. dalam basah malam itu, genangan itu mengubah kerdip menjadi tanya.

Sejuk, ibu, itu, mata air, itu?

Entah apa yang ada di benak seorang bocah berumur empat tahun mengenai mata air. Ibu hibuk dengan jarum di telunjuk dan ibu jarinya di genggaman sambil berkata, kemudian berhenti, mengingat.

Oh, itu hanyalah air nak, kau masih bisa melihatnya. Jangan sampai, mata air yang kau perbincangkan kini, menjadi air mata saat nasib berbeda paham denganmu. Ayahmu demikian adanya.

Bocah itu, senyap dari kalimat dan sesaat memandang raut muka yang ibu pasang. Tiada yang lebih menyakitkan daripada ditinggal suami yang pergi, mengkhianati, dari seorang ananda yang pernah digombalinya.

Ayah kemana ibu?

Teruk sang bocah seakan-akan mengerti apa yang lalu dan kini diemban oleh ibunya. Dengan mata berkaca akibat kantuk karena malam kian larut, bocah itu menunggu, menunggu.

Tidulah nak, ayahmu sedang bekerja. Nanti juga pulang. Sabarlah menunggu hingga umurmu cukup untuk kedatangan ayahmu, bukan di matamu, melainkan dari kalimatku tentang ayahmu.

Senin, 13 Juli 2009

kau tidak pernah menyadari, aku menirun kalimat cinta hanya untuk berada di dekatmu dengan remah tawa di bulatan mukaku

tidak ada hujan diluar, cuma ada angin dan awan kelam. aku menunggunya hingga cemas berurat dan berakar. tak pernah sampai tujuan dimana aku mencicipi ranum indah wajahmu meski kau lalu lalang di depan mataku.

hingga kini, aku pun tak menyadari, kapan ini semua pergi dari helat kebaikan. memandangmu, seakan menghilangkan masam dari muka berlumur harapan yang mungkin saja dikremasi oleh kesatnya epidermis kulit.

karena diriku tak pernah membayangkan. meskipun dirinya semanis madu, tak begitu saja ia kureguk dan meskipun ia sepahit empedu tak begitu saja ia kumuntahkan. dirinya adalah satu diantara mutiara di dalam kerang, hanyut dalam laut dan kering tanpa basah yang menyelimut. menghanyutkan dalam tenang.

aku senang. aku bahagia..aku kalah..aku tak sengaja mengalah. merubah ingatan dalam kubah visi linier. suatu saat, aku mungkin saja terbang, terbawa sayap harapan yang mengangkatku dari derajat manusia yang tak terpuaskan oleh harta, tahta, dan wanita.

hari datang silih berganti membawa cinta dan senantiasa luka didekapmu. kemanakah senja pilu? semua menjadi satu kala butiran airmata yang kusimpan akhirnya tercurah. di depanmu, aku hanya tersipu, kutelan air liurku demi tak beroleh ucap.

kau tersenyum meski aku sama sekali tak mengerti maksud dari senyumanmu itu sayang. hanya empat pasang mata bola saling bertatap kemudian enyah dihempas angin. aku malu.

siksa aku dengan impian serupa nelayan berharap ikan. dan kemudian, kelelahan menjadi alasan disaat semua yang kuharapkan lepas begitu saja tanpa wibawa. cuma ledekan kecil di atas dagu.

kau pun aku tidak mengerti, bagaimana kemarin dan hari nanti. berlagu seperti kau adalah satu. menjadi tunggal ibarat bidadari bermandikan emas di kolam abadi. kemudian kau, tercebur, melompat sendiri, dari karang yang menggunung. hingga terjal kau abaikan namun aku memerhatikan.

waktu yang kutunggu dan kau tunggu tidaklah sama. jika milikmu berjalan konstan, jam dalam hariku berupaya curam dan kencang. periodesitas aku menginginkanmu mungkin akan habis dimakan siang, malam, dan senja di penggantian.

sengaja hanya kutuliskan dalam kertas virtual. jika aku menuliskannya di hatimu, mungkin kau akan terkejang dan bahkan tercengang. sosok dungu ingusan meresap di kepalamu dan kemudian kau cerca dan kau maki seperti lembaran daun, yang kau anggap uang bernominal tapi ternyata, hanya lembaran daun dengan belulangnya. kau sobek, kau peletek.

tulisan ini tidak menjelaskan apa-apa, hanya sebagian paradigma yang ada. aku akan menuliskannya sepanjang mungkin hingga habis sudah kata-kata untuk ku perdaya sebagai sarana penghibur hati dan curahan emosi.

dan aku enggan, menjadi sakti karena kosmologi tidak diisi oleh hal-hal yang beraroma cinta. kakus yang kau duduki itu sebenarnya adalah cinta. tidak berbentuk feses melainkan seluruh jengkal degupan hati yang menggenjot sepersekian detik. itu adalah kotoran.

egois. jika ada manusia yang berasumsi gila, cinta itu malapetaka. dan aku seraya meminta dan menyembah, kenapa aku dimiliki hidup ini bahwasanya yang maha kekal mengerti sesungguhnya apa itu cinta dan karma?

mawar, merahkan hidup ini dalam kesegaran warnamu dan warna, segarkan mawar itu dalam dekapan sayang seorang hawa kepada adam.

berat, keparat, laknat, semua berbau jahat, iblis bertahi uang, dan malaikat berdaki darah.


dimas .