Perempuan, ada yang membuatku berpikir. Bukan bermain, tapi peristiwa di sekitarku. Seperti waktu yang bertanya pada dirinya sendiri, perempuan, kamu berada di guratan keningku. Berjalan dan menjalar, seperti kaki-kakiku adalah kamu. Dan tapak-tapak atau jejak di pasir-pasir pantai, terdapat kamu, perempuan di pinggir samudera. Perempuan di jauh kota.
Perempuan muda, selalu bertanya tentang dirinya sendiri, dan aku adalah awan yang memberikan hujan atas pinta jawabmu. Perempuan, lihatlah di masa kecilku. Terlihat kamu adalah wanita. Wanita yang memburu waktu demiku. Wanita yang mau dibujuk rayu oleh depanku semu.
Perempuan, menyalaklah seperti anjing, senyumlah seindah kupu, dan belailah selembut kucing. Duniaku yang menanti terjadi dan dijadikan olehmu, perempuan. Perempuan, matanya selalu berkeliling di selang-selang waktu. Dia tiada memilikiku dulu. Dia, yang sudah berubah menjadi wanita, memintaku melangkah tanpa warisan kata-kata. Perempuan, malangnya kita dipertemukan. Andai saja besok masih ada, andai saja hujan tak lagi bercanda, cuma kita yang menggenggam semua, satu keranjang penuh cerita, satu baskom penuh cinta. Abadi. Selamanya.
Perempuan, apakah menjadi wanita itu sungguh berbeda? Apakah masa yang merentangkan dunia berada dalam dua, perempuan dan wanita? Keduanya, susah sekali aku sentuh. Wanita, cepat sekali kamu menguburkan dirimu dalam kenangan. Kembalikan wanita menjadi perempuan, supaya sederhana, supaya ia tak bisa melahirkan tanpa benih sperma. Masih suci. Belum ternodai.
Sehingga aku tak bertemu kamu. Supaya tiada tangisan, takkan ada sebuah penyesalan. Hingga emansipasi yang terlihat samar dalam Kartini. Aku yang meminta? Salahkah Tuhan dalam penciptaan-Nya? Jika ada setitik tangis, itu bukan aku, itu penyesalan, itu kekesalan. Jika ada sebahana tawa, ketahuilah itu bukan aku, itu kesempatan, itu satu-satunya kesempatan, kamu perempuan. Sebuah sentuhan perempuan.
Aku tidak minum susu darimu. Aku minum dari kotak air berwarna. Dan itu bukan susu. Itu cuma mainan. Kita tak pernah bersentuhan, kita dibiarkan jarak, sampai suatu saat cakrawala menagih janji. Aku tidak bisa menepati. Linglung, bingung, tergopoh, jatuh bangun. Perempuan, jangan jadi wanita. Itu akan membuatmu tua, dan membiarkan kesukacitaanmu padaku hilang bersama luka.
Perempuan, dengar, jangan tutup telingamu.
Perempuan, kesini. Lihat bulan itu, bagus sekali seperti ibu
Perempuan, pakai bajumu, udelmu membolong kesana kemari. Aku malu
Perempuan, aku butuh kamu, seperti siang butuh matahari
Perempuan, ikat selendangmu. Awas bayimu. Kamu sudah jadi wanita.
Perempuan, jangan pergi dulu. Aku cinta kamu, seperti Tuhan mencintai bumi.
Perempuan. Apa yang menjadi kendala saat menjelmamu? Tak pernah terbayangkan. Sekalipun, susah sekali terpikirkan. Kamu yang membuatku dari jatuh kembali berdiri atau membunuhku dari melihat kepada buta sama sekali.
Disini hujan, rintik rindu dan sendu. Kasat mata dan mendayu. Melayu sekali. Wanita, jangan coba ambil perempuan itu. Kamu belum siap mencakarnya, merenggutnya dari nikmat dunia. Tidak ada sorga kata Pram, karena ini bumi, bukan akhirat. Karena ini Indonesia, bukan luar negeri. Perempuan belum ingin bekerja, ia masih ingin bertamasya dengan mentari, dengan ilalang yang tinggi. Ia masih ingin menari seperti balerina dan bernyanyi seperti Arina Mocca. Perempuan sejati tidak menangis. Ingat, itu cuma kesal, bukan kamu. Itu cuma sesal, bukan badanmu.
Ingat Hudan Hidayat? Ingat Mariana Amirudin? Mereka berkata jika tidak salah, “aku kosong, bukan tubuh, bukan diriku”. Perempuan tidak mengakhiri cerita harinya, ia akan terus membagi sebanyak matahari membagi cahaya kepada orang, tumbuhan, hewan serta imaji. Perempuan jangan kecil lagi. Lihatlah dirimu menjadi perkasa, punya senjata, tapi bukan wanita. Awas, bukan wanita. Aku tidak ingin ada kej. Aku tidak ingin ada maki. Aku cuma merasa, wanita terlalu sibuk dengan dapur, sayur, dan uang untuk anak-anaknya. Uang adalah anaknya. Dan wanita adalah mesin. Mencetak lembaran, masih banyak tinta untuk nominal uang.
Menjadi wanita sama saja menunggu tua seperti yang tadi. Tidak hanya anak yang menjadikannya mesin dan menunggu, tapi kebutuhan barangkali, mungkin saja, untuk biaya ke sorga atau biaya sanjungan tinggi saat anaknya wisuda. Hasil uang tidak berguna. Hasil perasaan dan kasih sayang lebih berarti. Lihat saja Tuhan, ia tidak pernah membeli. Malaikat pun tak dibayar gajinya. Namun Tuhan terlalu sayang, sampai hina dan haram sudah aku laksanakan, ia tetap sabar, ia tidak meninggalkanku dalam kesendirian dan dosa-dosa yang tak tersadari.
Perempuan. Aku punya kepala botak. Aku ingin di elus. Tanganmu sama bukan dengan Bunda Maria? Kata-katamu hangat bukan, seperti Buddha? Aku tahu kamu, perempuan. Aku ingin kita sejajar, saling membutuhkan. Tapi, apalah artinya utopia jika kenyataan memang benar-benar menghindar dari dirinya. Kadang, aku benci diriku menjadi musuh dan merasa berkuasa. Kadang, aku terlalu menyayangimu sampai aku takut digeser olehmu. Kadang-kadang, jarang-jarang, manusia bisa hidup harmoni. Tapi perempuan, bukankah kemarin kita bertengkar hebat, seperti tokoh-tokoh mainan televisi yang tiada henti saling hujat?
Hari ini, sekarang dan nanti, perempuan, cuma satu permintaanku, “aku ingin disayang”. Andai saja Tuhan tak menghukum Adam gara-gara sebiji Khuldi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar