Kamu indah, kamu adalah padi yang menguning di tengah sawah. Kesana kemari, digoyang semilir, laun dan perlahan. Dan kabut bersama dirimu saat pagi tiba, menyejukkan gubuk tua yang ada, tidak jauh bila kuperhatikan. Sesekali aku lewati hamparanmu sayang, kamu kuning dan membuatku berseri. Kamulah padi yang menghidupiku, kamu ratu di bawah langit yang membiru.
Petani-petani tua dengan rokok lintingannya yang setia menenunmu pada waktunya, ia berharap, “Tuhan, jadikan padi ini kecukupanku dan surgaku kelak”. Kamu tetap sabar dicabuti serabutan, karena yang kamu inginkan hanyalah menjadi santapan manusia, yang terkadang lupa. Lupa akan kamu yang ditanami untuk mereka, lupa akan Tuhan yang menikmatkan kamu atas dirinya.
Aku tahu, dunia ini begitu indah saat aku mendekatkan badanku kepadamu. Dengan kabut-kabut tipis yang membayangimu, aku hampiri kamu setiap hari. Hijau sekali rumahmu ini sayang. Aku bisa menyembuhkan mataku dengan melihat hehijauan ini, rumahmu, tempatmu tumbuh dan menguning.
Sayangnya, kemarin dan hari ini aku merasa hina. Aku melupakanmu sama seperti manusia-manusia lainnya. Aku buang kamu ke tempat yang tak seharusnya. Aku copot gelarku di kantor, aku ingin menjadi petani yang mensyukuri, yang mendoakan sebuah ketercukupan dan mendambakan surga Tuhan nanti. Karena aku adalah manusia yang selalu lupa diri. Lupa memberi dan selalu lupa untuk mensyukuri, apapun yang sudah kuterima.
Padi, ijinkan aku, jadi petani di rumahmu ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar