Dia lebih merah ketimbang mawar, lebih indah ketimbang sakura yang berguguran di jepang. Dia mengelak, entah kabur kemana tanpa pesan yang bertanda, yang menyerahkan isyarat kepada tuan tentang irama. Tuan lupa akan irama, dan dia pergi meninggalkan bekas jarinya di putihnya tuts piano. Waktu itu, dia sempat mendentingkannya dalam hujan sore, malam, kemudian dini hari. Dan sekarang, tuts itu kembali berdebu dengan semut-semut yang berjajar mengerubungi. Jarimu ternyata terlalu manis, untuk semut, untuk semua yang pernah menangkapmu dalam gerhana bulan.
Jangankan manis, dia pun tidak terjangkau oleh nada yang musisi itu dendangkan, dengan pelan, dengan anak tangga yang disempurnakan. Tuan melihatnya sebagai lampu pijar, lampu menerangi segala ruang, terang benderang, menyaingi matahari tanpa terik yang membuat gusar, ini sungguh nyaman, saat tuan menikmatinya di teras taman.
Andai semua itu masih tuan dapat simpan, cinta mungkin hinggap di keduanya. Nona seribu sayang, dia terbang, bagaikan merpati ditelan awan. Tuan hanya punya jejak, bukan tapak, tapi senyum hangat dari dia yang menawan. Ingin dicari kemana dia? Tuan bingung sembari berbaring menelungkupkan wajahnya ke bantal. Tuan pusing. Tuan mual.
Sampai akhirnya, tuan marah besar. Tuan membenci cinta serta cinta atas kebencian. Tuan berharap dia kembali ke awal, dalam tuts piano, dalam irama klasikal kedaerahaan yang kental. Tuan sayang, tuan malang, kembalilah dia, dalam tatapan, dalam lalu lintas pandangan. Radang tuan kini menempel, bukan hanya di tenggorokan melainkan dalam jiwa, hati dan pikiran.
Tuan pernah meminta dia menjadi melati putih di taman, namun dia hanya tersenyum dengan seribu utopia yang terbesit di matanya. Alangkah kaget kala itu, saat dia meraba tuan, tidak seperti yang dia harapkan. Dan setan, kini mengajak tuan berteman, bersama malam-malam di depan dengan seribu tajuk rencana yang dituliskan. Akhirnya, tuan benar-benar kehilangan sepadat bait irama klasikal itu, dan kini, tuan semakin dirasuki dan dijejali dengan lagu-lagu setan nusakambangan. Inilah ujung dunia, dan tuan semakin tidak menemukan dirinya berada dalam hangat anugerah si kuasa. Tuan mati, tuan kini menjelma menjadi mayat hidup tanpa jari. Jari yang mengingatkan tuan kepada dia, yang terlalu manis.
Apa salahku kepadamu? Apa dosaku bersamamu? Aku hanya ingin dirimu, meski cukup untuk melihat saja. Aku mencintaimu bukan untuk mendapatkan sesuatu, namun memberi apa yang ku punya untuk dirimu, seorang. (Tuan)
Tuan malang, kembalilah kepada dirimu sebelum bertemu diriku. Selamat tinggal. Tetaplah mencinta, karena dengan itu, kau bisa merubah dunia, tuanku sayang. (Dia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar