Semua orang ingin menari, semua orang ingin bergerak dimana pun, sesuka hati. Sebagian memilih lantai dansa untuk menciptakan seni, sebagian lainnya memilih kertas, irama, dan takdir. Aku mungkin memang kenal dengan teolog konservatif fundamentalis, yang berupa wahyu, yang secara historis sulit atau bahkan mustahil untuk diuji kebenarannya. Apakah menari itu teruji? Takdir itu teruji? Tidak ada rumus, tidak ada barang uji. Namun, aku tetap ingin menari, meski dalam jeruji, meski dalam takdir yang sekali lagi tidak teruji.
Menari di atas balok-balok minimalis dengan rangkaian alfabetis yang tidak berurut, tidak bertaut, itu kegemaranku, mungkin, kegemaranmu juga. Aku suka menciptakan cerita buatan yang hanya ada di kognisi, berdasarkan realita yang terjadi. Aku suka makna “kata adalah senjata” dan “kata adalah mainan”.
Selagi aku masih punya jari, selagi aku masih memiliki kuku di atas daging yang memadat, yang bisa digerak dengan saraf, aku akan mencoba tetap menari, dengan jangkauan hanya beberapa senti. Tapi, dengan gaya postmodern, beberapa lainnya menyebut menari dalam seni, adalah gerakan diri dalam dunia yang bulat, bumi yang luas tiada bertepi.
“Postmodernisme dimengerti sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam perubahan jaman ini ke dalam suatu seni yang diwarnai oleh ketakmendalaman, ketakterpusatan, ketakberdasaran; seni yang self-reflexive, penuh permainan, ekletik, serta pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya ‘tinggi’ dan budaya ‘pop’, antara seni dan hidup harian (Therry Eagleton, 1996: vii-viii).”
Namun, aku menentang takdir dalam menari. Aku lupa dengan siapa diri ini dibalut, dengan siapa akal dan semua itu dibentuk. Tuhan. Aku lupa menari untuk tuhan. Aku lupa bagaimana caranya menari dalam lima waktu, dalam tujuh belas rakaat. Aku ingin sekali menari bersamanya, bercanda dalam doa, bergumam segala nada, namun apa daya, segala welas asih yang telah tuhan tuangkan, aku tak dapat menampungnya.
Apa yang aku tanyakan kepadanya soal diri ini, soal menari, soal hidup yang akan mati dan tuhan kuasa atas seutas tali?
Karena, selalu timbul tanya, untuk siapa diriku bernapas, untuk siapa badan ini melepaskan semua derai panas. Karena Derrida, dalam Defferance yang ia kemukakan, mengucapkan, “sesuatu yang harus ditunda hingga saatnya tiba untuk membentuk suatu keyakinan final”. Dari situ, aku selalu bertanya, apa sorga itu ada, sedangkan hamba, belum pernah menjamah barang secuil kecuali di dunia.
Oleh karena itu, beberapa saat yang lalu, aku mengajak setan untuk menari, dan bertanya kepadanya, apakah kau (setan) dibentuk agar tuhan memuluskan dirinya menjadi esa dan perkasa? Dalam bacaan curhat setan yang telah kulahap beberapa waktu lalu, setan mengeluhkan dirinya yang sebatas halus nan dijiwai untuk menjadi kambing hitam.
Dan sial, kepalaku selalu penuh dengan teka-teki. Aku ingin menari dengan tuhan, bukan setan, karena tuhan lebih tahu, apa yang menjadi butuh ku, butuh mu, dan butuh kalian. Tanpa tuhan, aku tak akan bisa menari dalam kotak ini, pelacur takkan bisa menari lewat pasangan dada dan vaginanya untuk sang bayi, untuk memenuhi dasar ekonomi.
Sempat terbaca, orang-orang yang paling mengenal tuhannya, adalah penentang yang keras. Semoga aku bisa menjadi penentang yang baik, karena aku kenal siapa tuhan ku. Aku hanya berteman, belum mengakrabkan diriku dalam dirinya. Salam. Semoga aku selalu menari dalam seluncur ini, untuk tuhan yang mengadakan semua dengan dosa dan pahala. Menarilah selagi kau mampu. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar