Matahari, menjelang tahun baru.
Lalu hilang, ditelan mendung
Besok, mulai lagi, langit biru
Tapi pasti, kembali mendung.
Pesta ini hanya sesaat, sebelum mati,
Sebelum hidup, menjelma tragedi.
Aku tunggu, dirimu, suatu waktu
Sampai kabar, menyuruh burung, untuk insan menyatu.
Satu, dua, jam itu lantang dengan jarum,
Menggeser parodi tengah masa, masih masa.
Ceria, kukatakan, menggantung senyum,
Berteriak riak, dalam sempit, kebaruan masa.
Aku hanya ingin berdoa, dalam malam, dini hari menjelang.
Seperti ruh, halus, tanpa dosa.
Sayang, baik ini tidak terang,
Dalam bangunan, dalam kemasan nista, dalam kerang-kerang sisa.
Bulan hujan, desember kelabu,
Berubah panjang, januari menunggu.
Aku tunggu kabar, dari seberang,
Mematahkan linang, dari kelopak, untuk sengat kumbang.
Airmata dalam wadah, bercampur canda,
Satu himpun pahala, yang tak kunjung bernyawa.
Setan bilang, malam ini, bunyi petasan.
Dia bebas, dalam angan, dalam kunjungan.
Serentetan roda, menyapu debu dari muka jalan
Orang tua itu, mengangkat beban, kaleng kerontang.
Ku hentikan tawa, dan seketika, orang tua itu berjalan
Menyusuri pelesiran tawa, ditengah kita, bukan orang.
Aku tidak ingin senang, di penghujung curam.
Setara, tanpa mengais sejumlah butir air demi beras.
Berdoa, kepada tuhan, bukan doa, tapi prosa.
Bukan prosa, kepada tuhan, tapi doa, untuk kesenangan, umat manusia.
Disini, disana, sama saja.
Sama saja, disana, disini, dalam senja kemudian.
Taruhlah itu benang, dalam gulungan,
Dalam warna indah bersatu, menumpuk asa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar