"ibu makan dulu", cetusku kepada ibu yang masih saja diam di belakang kami, memperhatikan anak-anaknya makan. "Nanti nak, ibu sudah kenyang", jawabnya sedikit mendatar. sebelumnya aku tahu benar ibu belum makan. ia sibuk mengepuli dapur dengan masakan yang digorengnya.
waktu sudah menjelang larut, aku lihat ibu masih saja duduk di kursi belakang rumah kami, di kursi kayu reot yang sebentar lagi mungkin patah, berdirinya saja pongah. ibu terus menghitung uang, ia pun selalu menoleh ke langit-langit. tidak ada apapun disana, cuma ada bekas sarang laba-laba yang suram sekali , seakan tiada berpenghuni. ternyata aku tahu, ibu sedang membuat perhitungan.
"ibu sudah makan?", tanyaku kemudian kepada ibu, membuyarkan perhitungannya. gagap, ibu menoleh entah kemana, padahal suaraku jelas sekali dari samping kirinya. "ibu sudah makan?", kembali lagi kalimatku itu tertuju kepadanya. ia diam, tidak menggubris bahkan tidak untuk menyadari adanya suara itu memanggil dirinya.
aku lihat kulit tangannya yang mengelupas, aku lihat dahinya yang kerut merut, gosong dan kumal sekali wajahnya. wajar saja, ia bekerja serabutan dari menjadi buruh tani sampai menjadi tukang cuci tetangga. adikku ada 4 orang, ayahku pergi entah kemana, kadang aku berpikir untuk pergi dari rumah ini. tapi itu sama saja kabur dari masalah ekonomi. itu tidak akan membantu ibu untuk meringankan bebannya.
aku tak tega melihat ibu, aku menangis di kamar sendiri, di dalam mukenah yang masih kupakai sehabis solat tadi. "Nisa, jangan menangis, Allah masih sayang sama kita", sahut lembut ibuku menepis isak tangisku yang mendalam. "Tanpa-Nya, tak bisa kuberi kalian makan", kembali lisan ibu bergetar, membuatku pucat dan bahagia yang mendalam. ibu, apakah aku bisa membalas semua itu?
itulah ibuku, karenina namanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar