Minggu, 29 Agustus 2010
Lapis Legit
kaku
tutup mulutku, jangan bahas itu
cilpacastra, buat kata itu, cinta kepadanya
dia, buang cintanya kepada saya
sarung, tutup tubuhku
lumuri itu dengan sutranya
sayang, aku ini kaku
cuma tersenyum sedikit bertanya
giok, kalungkan itu pada jemariku
tonjok mukaku, jangan diam saja
waktu, buat aku lebam dan beku
buat aku cinta kamu sekali saja.
laut dan doa
aku rasa; badai sedang berkecamuk di belahan angin bagian utara;
tempatku selalu tertuju.
sedang angin yang beramai-ramai tertawa bahagia; membuat pasir tidak kuasa menahan tangis;
diberi ombak diberi laut yang sedang dirundung rindu mendalam.
kita harus tiba di persimpangan sana;
dengan tangan-tangan halus membelaiku mesra;
dengan pasrah membuka kesedihan terkelupas dari kulit kacangnya;
syukur;
doa;
tuhan bilang "aku dengar semua, bukan hanya dari mereka yang sedang menderita".
9 Juni 2010, Pulau Tidung.
antonim
Jika
hanya mengapa malam semakin murung
dan andai saja bulan berbicara banyak dan mentari bersiul semacam burung,
aku tahu aku, aku mendengar mereka tidak dengan telinga,
tapi hati, tapi kesadaran diri.
karena disini, bukanlah hamba adalah aku
karena disana, adalah aku dan hamba bukan disini,
berdiam diri, tetapi berlari dan menjerit keluar memaksa dari mati.
Sabtu, 28 Agustus 2010
menulislah, kelak.
jika tak mendokumetasikan apapun, kita tidak memiliki sesuatu untuk ditertawakan, jika tidak menulis, maka kita akan hilang dalam dunia, bahkan dalam masyarakat.
Sudah banyak waktu yang telah dilalui, sudah banyak canda yang terlewati. Jika berbicara kepada sesama saja sudah melebihi perasaan bahagia, apalagi menuliskannya ke dalam sebuah tempat dimana semua orang bisa membaca. Takjub, mungkin? Memang? Prinsipnya, aku tak pernah ingin hilang dalam masyarakat. Merangkum kejadian menjadi sebuah keterbacaan.
Menulis sebuah ketidakjelasan, bagiku menjadi sebuah kebahagiaan yang melebihi uang. Jelas uang bisa membeli semua, tapi aku menulis, aku ingin membeli diriku utuh dalam dunia. Jauh pergi kemanapun angin berkesiur, debunya tetap mengikuti, begitupun aku, mengalun dan berjalan dengan semua bahasa ini, bahasa yang memang aku sukai. Ia terus memaksa, karena memang itulah satu-satunya yang aku bisa. Cukup bermodal benda yang mengeluarkan warna, kemudian aku menulis huruf-huruf, mungkin secarik puisi yang tidak jelas maknanya.
Apalagi yang bisa membanggakan, jika piagam dan piala pun tak terpajang di dinding dan di atas almari, karena aku memang tidak punya. Menganggap diri sendiri pandai pun tak kuasa, karena aku belum menghasilkan uang, aku belum menghasilkan apapun untuk orang tua, khususnya untuk diri sendiri. Ibu, mengidam apa dirimu sehingga cita-cita pun tak jelas aku terka keberadaannya?
Ingin menjadi penulis, sepertinya mungkin, tapi teramat sangat malu. Di luar sana, lihatlah, mereka bisa menjadikan bahasa indonesia menjelma edar, sangat beragam. Aku terlalu malu untuk memulai, aku merendah dan semakin merendah. Aku bukan padi yang berilmu, semakin tinggi semakin merunduk, semakin pandai semakin santun. Pun aku bukanlah pohon kelapa di pinggir pantai, semakin tinggi semakin miring, hampir rubuh diterpa angin, semakin pandai menjadi semakin gila. Aku bukanlah manusia yang merasa pintar, baik, berbudi, cakap dan tangkas, aku adalah manusia biasa.
Aku hanya bisa menulis. Mudah. Tulisanku tidak indah, tidak menarik untuk dibaca, tapi aku suka. Bagiku, keindahan tidak dicari tapi diciptakan sendiri. Bagiku, tulisanku rendah. Bagiku, tak ada istilah merendah untuk meroket karena aku tak punya mancis untuk membakar sumbu. Ingin berpetualang kemanapun hobiku, pada akhirnya aku kembali, untuk menulis lagi.
Aku cuma ingin, suatu hari kelak, ada yang membaca ketidakjelasan bahasaku, keabstrakan makna bilangan hurufku. Sampai masa tua telah memanggil kegopohan, anak dan cucuku mengetahui, siapa aku sewaktu tegap.
Tuhan, kabulkan apa yang menjadi doaku, tidak banyak dan mudah bagimu untuk menulis semua, garis dan guratan jalan hidupku kini dan kelak.
Minggu, 22 Agustus 2010
langit
ada yang tak dimiliki langit, yaitu debu, karang dan batu.
dan hutan berbicara kesedihan, mengapa alam kian menjadi rutan
badanku dipenjara, hatiku ragu, menjadi babu atas diriku, sakit akan masa lalu.
Aku lihat, mata menangis, isak, tak satupun aku usap, karena itu.
masa lalu yang melibas. sesuatu yang tak pantas.
jika ada yang tak dimiliki langit, lalu apa yang dibanggakan tanah
apakah debu, karang dan batu.
langit punya hujan, dan ia diam, padahal dia membasahimu.
dia mendirikan hutan dengan hujan, bak rutan.
apa yang tak pernah aku temui, aku cari
saat kecilku, dengki.
biar hujan hutan itu, meremajakan keriput menjadi lembut.
Minggu, 15 Agustus 2010
ibuku, karenina
Sabtu, 14 Agustus 2010
yang tak pernah kita tahu
yang tak pernah kita tahu, selalu membikin kejutan
yang tak sangka kita duga, terkadang pesimis atau bahkan melebihi kadar optimis
akan dunia.
putri, di jalanan yang sepi tak pernah aku tahu akan bersamamu.
di ujung malam ini, yang manusia sedang nikmati, bunga tidurnya,
tak bisa melebihi pintaku akan dirimu,
yang tak pernah ku tahu, kamu, dalam wajah perangko Daerah Istimewa Yogyakarta.
7 Agustus 2010, Malioboro, Yogyakarta.
Dimas Dito