"pelacur itu memberikan selangkangan, pengemis itu menadahkan tangan, tapi apa yang berdasi itu lihat, cuma sebatas pemandangan, bukan penderitaan yang tidak ia alami".
seorang bapak tua tiba-tiba saja naik ke dalam bis dengan menggenggam beberapa helaian kertas di tangan kanannya. bukan penumpang ternyata. mulanya ia memberikan salam, membuka acara di antara penumpang yang duduk bersandar pada jok. kemejanya penuh keringat, mungkin seharian ia mencari uang naik-turun bis, bukan bernyanyi melainkan membacakan puisi, puisi tentang kejujuran.
ada enam kertas sepertinya, tiga berwarna putih dan tiga berwarna biru. dikertas itu jelas sekali rentetan kata membentuk bait, berbaris seperti semut, terlihat kecil dan hitam. kemudian matanya terpejam sebentar, seperti melakukan ritual, lalu terbukalah mulutnya dengan kata yang ia baca pada kertas itu.
suaranya tidak besar, tidak pula menggema, bahkan sesekali saling balap dengan suara knalpot motor di luar sana. ia tetap setia membaca puisi itu, dengan intonasi yang manis ia selipkan diantaranya, berbunyi indah, bahkan untuk sebuah penderitaan yang ia ceritakan di dalamnya.
tangannya menunjuk keluar bis, saat kata yang ia bacakan berbunyi "orang-orang berdasi di gedung itu berbasa-basi, ketika para pengemis menjerit-jerit akibat perutnya melilit". entah siapa yang akan mendengarkan, beberapa penumpang terlihat mengencangkan sumpelan headsetnya seakan tidak peduli. kemudian penumpang yang duduk di belakang mengerungkan mukanya, mencoba mendengar suaranya membacakan puisi dengan lafal yang mengagumkan. ia bercerita tentang kemiskinan dan negeri ini, bukan cinta, bukan roman picisan seperti gibran, bukan perlawanan seperti chairil anwar. puisinya tentang sebuah kritik dan keputusasaan negeri ini dalam dunia kemiskinan yang ada disekitarnya, bahkan di tempat prostitusi.
sudah lembar keenam, dan sampailah ia pada akhir monolog. berhenti sudah rima-rima dalam bis, dan matanya sekali lagi terpejam sebentar, seolah ada ruh yang merasuki, dipersilahkan keluar dari tubuhnya. dan bapak itu berkata :
"saudara, tidak ada yang salah dari puisi ini, yang salah adalah negeri ini. bila kalian tidak menganggap puisi ini sebuah kejujuran, maka kalian telah membohongi diri sendiri sambil menutup hati. dengarkan, karena puisi tidak pernah berbohong, karena tiap kata memiliki makna. jangan salahkan puisi karena memang itu adanya, salahkan dunia menciptakan saya dan teman-teman dalam menyelipkan makna di dalam sini, di kertas ini. jujurlah, karena itu yang dirindukan negeri ini. maafkan saya, karena sudah jujur lewat puisi ini."
ia mengeluarkan kantung, seperti pengamen sehabis bernyanyi. ia menyodorkan kantung itu dengan senyum kepada para penumpang. terlihat tidak ada yang memberi. entah penumpang itu tidak suka dengan puisi yang ia bacakan atau memang mereka tidak mendengarkan, mungkin kupingnya terlalu sibuk dijejali lagu dalam volume keras empetri. sudah lelah si bapak itu sepertinya, dan akhirnya, kuberikan lembaran seribuan kepadanya. andai aku punya sepuluhan, maka akan kuberikan kepadanya. baru kali ini aku melihat penyair bukan pada tempatnya. sebenarnya aku ingin mengikutinya dan sedikit berbincang. tapi apa daya, aku sudah ada janjian. lain kali kita pasti bertemu lagi, penyair kejujuran.
- Bandung, 1 April 2010 -
bis mana nih?
BalasHapusdan ngomong-ngomong, memangnya di mama 'seharusnya' tempat para penyair?
tulisan bagus :)
di damri ka.
BalasHapus"baru kali ini aku melihat penyair bukan pada tempatnya".
saya baru liat penyair bacain puisinya di dalem bis, baru kali ini. sebelumnya yang pernah saya liat ya diatas panggung dan sebuah pentas.
trima kasih izka.