Jeihan Sukmantoro dan Remy Silado, dua sastrawan yang telah memelopori puisi Mbeling. Puisi yang dikenal dengan puisi nakal itu mengacau, mendobrak dunia kepenyairan yang selalu berpesan. Dengan lambang dan kata, puisi Mbeling yang mereka bentuk memiliki wajah atas protes ekspresi sastra angkatan tua seperti Chairil Anwar dkk. Sudah empat puluh tahun sejak lahirnya puisi Mbeling dan kini terangkum dalam sebuah buku hasil interpretasi Jakob Sumardjo atas puisi Mbeling Jeihan dalam bedah buku “Bukuku-Kubuku, Sajak Filsafat”.
Puisi Mbeling itu bergema sesaat sebelum acara dimulai. Hadirin terlihat antusias dengan tepukan tangan mereka meramaikan Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (25/10). Bedah buku yang digelar oleh majelis sastra bandung seakan tidak biasa. Topik kali ini adalah puisi Mbeling yang masih asing bagi mereka-mereka yang tidak berkecimpung di ranah sastra. Dengan sofa panjang yang terbentang dan sebuah meja berlapis kaca menjadi tempat para pembicara memadukan ilmu mereka mengenai puisi Mbeling.
Nama-nama pembicara yang menghadiri bedah buku ini sebagian besar berasal dari kalangan sastrawan dan menghadirkan seorang budayawan. Soni Farid Maulana yang juga seorang penyair menjadi moderator acara ini. Kemudian datang, salah satu pelopor puisi Mbeling Jeihan Sukmantoro dengan langkah kaki yang pendek. Meskipun tidak dalam situasi berduka, Jeihan terlihat memakai busana berwarna hitam dari ujung kepala hingga ujung rambutnya. Kopiah dan kacamata dengan lensa bundarnya masih lekat menutupi rambutnya yang mulai memutih dan matanya yang mulai tak awas. Kemudian hadirin terdiam ketika sambutan dibuka oleh moderator. Kini, puisi Mbeling sahut-sahutan di mulut para pembicara.
Puisi Mbeling adalah puisi yang unik. Hal tersebut disampaikan oleh penyair dari Tasik, Acep Zamzam Noor yang duduk paling kiri dari penglihatan para hadirin. Mendengar dari namanya, kata Mbeling berasal dari bahasa jawa yang artinya “nakal”. Usut punya usut, nama Mbeling bukanlah nama yang diciptakan orang bagi puisi ini melainkan nama yang diusung oleh pembuat puisi Mbeling. “Puisi ini berasal dari kaum muda dan untuk kaum muda”, begitulah Hawe Setiawan yang juga seorang budayawan memaparkan soal sejarah puisi Mbeling. Hawe mengetahui puisi Mbeling pada zaman pembentukannya dibuat oleh kaum muda yang berasal dari ekonomi menengah ke atas dan termasuk pula dari golongan terdidik.
Acep Zamzam Noor dan Hikmat Gumelar kemudian saling mengisi kekosongan mengenai nilai filosofis dalam puisi Mbeling yang mereka singkirkan dari sejarahnya. Acep dengan lantang mengatakan puisi karya Jeihan memiliki nilai filosofis meskipun dalam hal penulisannya memakai bahasa yang aneh. Jeihan pun ikut bicara. Dengan pelan tapi pasti ia meminta mic yang tengah dipegang oleh moderator. Jeihan langsung tanpa ancang-ancang berbicara mengenai penyair dan filsafat. Menjadi seorang penyair adalah satu fase untuk menjadi pemikir. Hal itu sangat berkaitan dengan pesan-pesan yang terdapat dalam puisi Mbeling karya Jeihan. Acep kemudian mengambil alih diskusi kembali dan sependapat dengan jeihan.
Acep memiliki pengalaman mengenai sajak dan filsafat yang juga tertulis dalam buku yang sedang dikupas pada siang itu. Acep dikejutkan dengan serangkaian kejadian aneh yang menimpa seorang anak muda akibat mengonsumsi makna sajak hingga ke akarnya. Acep berkelakar sehingga membuat bibir hadirin serta pembicara termasuk Jeihan melebar dan membuat gaduh seisi ruangan. Jelas saja, cerita mengenai seorang pemuda tersebut akibat efek samping dari sajak yang diutarakan oleh Acep. Korslet adalah istilah yang sering dipakai untuk gangguan arus pendek dalam dunia PLN, namun di dalam ruangan itu kata tersebut menjurus kepada kerusakan otak.
Acep yang memegang kendali tersebut tanpa gangguan terus melanjutkan kelakarnya yang berisi informasi. “Sudah saya bilang untuk menjadi penyair itu tak perlu belajar filsafat”. Rupanya ada seorang pemuda berusia sekitar 17 hingga 20 tahun yang mempelajari dunia kepenyairan. Semua terdiam dan dengan muka penasaran, hadirin dan pembicara menunggu kelanjutan cerita dari Acep. Acep bercerita jika anak muda itu kini menjadi gila lantaran terlalu dalam mempelajari filosofi dibalik tiap sajak. Anak muda tersebut sengaja masuk jurusan filsafat hanya untuk menjadi penyair. “Filsafat sebenarnya tidak perlu dipelajari oleh seorang penyair karena dengan sendirinya ia akan menjadi pemikir” seru acep yang sembari tertawa dan menghibur 30 hadirin yang datang.
Jeihan kemudian menambahkan komentar acep perihal penyair dan filsafat. Menurutnya seorang penyair adalah seorang yang kreatif sedangkan seorang filsuf itu adalah seorang yang cerdas. “Namun penyair bisa menjadi orang yang kreatif dan cerdas”, begitulah argumen Jeihan menyoal kepenyairan. Dan seorang filosofis itu nantinya menjadi dosen menurut Acep yang dibarengi dengan tawaan seluruh hadirin dan pembicara. Hawe dan Hikmat tidak terlalu bersuara kala topik mulai didominasi oleh acep dan jeihan. Mereka berdua duduk manis dan sesekali menyantap kue yang telah tersedia.
Puisi mbeling juga bisa dijadikan alat kritik sosial seperti yang tertulis dengan rapih dalam makalah yang disusun oleh hawe. Pada masanya, puisi mbeling kerap kali dijadikan alat menentang kebijakan orde baru yang membuat kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Hawe berupaya mengabarkan bahwa puisi mbeling memang merupakan puisi yang nakal namun patuh pada aturan. Sempat terlintas dalam pikiran hawe, puisi mbeling adalah langkah paling aman yang bisa dilakukan oleh pemuda untuk mengritik kebijakan orde baru tanpa kena ciduk. Jarang ada yang bisa menafsirkan puisi mbeling karena bentuknya yang aneh. Dan jeihan adalah pelopor kaum mbeling itu.
Jeihan kembali berbicara dan kali ini ia membacakan sebuah puisi yang baru saja dibuatnya pada acara ini. Puisi Mbeling yang berjudul sabun. “Sabun, istri kepada suami, cuci pake sabun, jangan lama-lama”. Jeihan tertawa sambil melemparkan pertanyaan kepada seluruh hadirin, “silahkan tafsir puisi tersebut menurut anda sekalian”. Dengan dibacanya puisi tersebut oleh Jeihan dan jarum jam bergerak membentuk 90 derajat ke arah angka 3 menandakan berakhirnya acara bedah buku ini.
Puisi Mbeling adalah puisi yang sengaja dibuat sebagai kritik sastra yang ekspresif. Puisi ini tak kenal gaya penulisan yang baku namun memiliki pesan-pesan di tiap baitnya. Dan untuk menjadi penyair, tidak perlu mempelajari pesan itu sampai belajar ke lain hal. Jeihan masih menginformasikan jika puisi Mbeling atau jenis puisi apapun bisa menjadi alat kritik sosial karena didominasi oleh kaum muda yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungannya. “Anak muda itu yang penting tertib berbahasa, tertib berpikir, dan tertib bertindak”, kalimat terakhir Jeihan bagi para pemuda yang menjadi generasi penerus bangsa ini.
Anak-anak adalah generasi penerus di masa depan. Namun, banyak dari mereka yang serba kekurangan dalam menjalani hidupnya menuju dewasa. Ditambah, bangunan-bangunan menjulang tinggi ke langit dengan tembok angkuh kian membatasi ruang gerak anak-anak dalam meluapkan emosinya. Seorang laki-laki bernama Phaerly Maviec Musadi Ratulangie atau yang akrab dengan sapaan Pei merasa terpanggil untuk menampung anak-anak dalam mengembangkan bakat serta menjaga eksistensi komunikasi antara orang tua dan anak. Pei selanjutnya membuat taman bermain yang diberi nama “Neverlands” di jalan Baranang Siang Kota Bandung yang masih satu pekarangan dengan kantor produksi clothing United Moron, Distribute dan Parental Advisory Baby Clothing. Dengan luas beberapa meter persegi dilengkapi arena skateboard mini, Pei mencoba untuk menampung aspirasi anak-anak dalam meluangkan waktunya untuk bermain.
Pei memang bukan orang ternama di Indonesia, namun rasa sosial dan rasa belajar dari pengalaman membuatnya patut untuk ikut campur baik secara moral maupun fisik demi masa depan anak-anak yang lebih baik. Pei memiliki pengalaman sewaktu ia kecil sehingga melatarbelakangi terbentuknya Neverlands. Dan semuanya berawal dari kisah masa kecil yang memicu dendam kepada sang ayah.
Sewaktu kecil, Pei berada dalam lingkungan keluarga yang berkecimpung di dalam militer. Kekerasan untuk Pei bukan lagi hal yang menghebohkan di sebuah keluarga. Sikap kasar kerap kali diterima Pei dari ayahnya mulai dari tamparan hingga pukulan-pukulan kepalan tangan yang bersarang ke wajahnya. “Apabila sepulang sekolah saya tidak mengangkat telepon lebih dari dua kali deringan, maka saya pasti disiksa oleh ayah saya”, ucap Pei yang mengenang masa lalunya yang tidak mengenakkan. Hingga kini, rasa dendamnya itu tidak luntur dalam ingatannya.
Pernah suatu ketika, Pei bersama kakaknya dibawa kabur oleh ibunya untuk menghindari sang ayah. Pei juga pernah tinggal di Jerman ketika ia dibawa oleh ayahnya yang terlebih dulu memutuskan mahligai rumah tangganya dengan sang ibu. Di Jerman, ia kembali mendapat perlakuan kasar dan beberapa kali disiksa oleh ibu tirinya. Perlakuan kasar itu ia terima hanya karena wajah Pei sangat mirip dengan wajah sang ayah. Hal itu ternyata dampak dari kekerasan rumah tangga yang sebelumnya dilakukan oleh sang ayah.
Kini, usia Pei sudah menginjak umur 33 tahun. Ia memang belum bisa melupakan kekerasan ayahnya namun ia mendapatkan pelajaran berharga dari sang ayah. “Dengan perlakuan kasar ayah, saat ini saya bisa sukses. Akan saya buktikan jika tanpa kekerasan pun, masa depan anak-anak pasti bakal lebih sukses daripada saya.”
Dari pengalaman tersebut, pada tahun 2006 Pei mengampanyekan hubungan orang tua kepada anak yang diberi nama “Never Grow Up Champagne”. Disini, Pei mengajak kepada orang tua untuk tetap memiliki jiwa kekanak-kanakan atau dengan sebutan stay young. “Masalah yang paling mendasar antara orang tua dan anak-anak adalah komunikasi”, seru Pei yang mencoba memberitahu kepada para orang tua mengenai komunikasi kepada anak. Semakin Pei menjadi dewasa, ia semakin yakin bahwa dirinya yang mesti disalahkan. Sebagai orang tua, ia terkadang memaksakan anaknya untuk menjadi dewasa.
Pei selaku orang tua mencoba untuk menyampaikan pesan ini kepada orang tua lainnya untuk tidak menuntut anak-anak mereka menjadi dewasa sebelum waktunya. Biarkanlah anak-anak tetap menjadi anak-anak dan jika sudah waktunya cepat atau lambat mereka pasti jadi dewasa. “Kepada orang tua, janganlah sok dewasa”, lanjut Pei dengan sigap. Dalam kampanye ini, ia menitikberatkan kepada orang tua atau orang dewasa untuk bermain bersama anak-anak, meluangkan waktunya demi kesenangan anak-anak. Kampanye bermain bagi anak-anak yang dibentuknya tidak lengkap tanpa ada fasilitas bermain. Pei akhirnya membuat Neverlands sebagai hasil dari kampanyenya tersebut.
Di Neverlands, tidak hanya skateboard yang menjadi arena bermain melainkan komputer, kamera, sepeda serta alat-alat sablon pun disediakan oleh Pei. Ia senang melihat anak-anak tumbuh dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Selain menyediakan tempat bermain, Pei memantau langsung perkembangan anak-anak di Neverlands.
Selain kebaikannya membuka lahan bermain untuk anak-anak, Pei memberlakukan tiga aturan utama yang harus dijalani oleh setiap anak. Tiga aturan utama yang dibuat Pei adalah jaga kebersihan, jaga antrean, dan jangan bicara anjing. Meskipun berada di daerah pemukiman yang padat dan di sekitaran gedung-gedung tinggi, Pei memberi tahu pentingnya untuk menjaga kebersihan lingkungan. Selain itu, anak-anak yang ingin bermain di Neverlands harus menjaga antrean. Dengan lokasi yang sempit, anak-anak harus bersabar menunggu giliran untuk bermain entah bermain skateboard, sepeda, komputer dan alat-alat yang lain.
Peraturan ketiga yang paling ditekankan oleh Pei kepada anak-anak adalah untuk tidak bicara anjing. Anjing dianggap sebagai imbuhan walaupun secara bunyi merupakan hinaan. Setiap anak yang berbicara anjing akan diberlakukan hukuman yaitu dengan push up sebanyak tiga kali. Dengan peraturan itu, Pei mencoba untuk menghilangkan kebiasaan buruk yang melekat di mulut anak-anak khususnya mereka yang tinggal di Bandung.
Mengubah kebudayaan yang telah mengakar sangatlah sulit namun tidak demikian dengan Pei. Dengan peraturan jangan bicara anjing ia mencoba menghilangkan budaya kasar tersebut. “Untuk mengubah suatu budaya salah satu caranya dengan membuat budaya yang baru”. Untuk menjadi nakal, seseorang tidak perlu mengikuti perbuatan buruknya. Pei memang mengaku anak metal namun ia juga tidak mengonsumsi rokok dan alkohol atau yang biasa disebut straight edge. “Mungkin itulah yang menjadikan anak-anak enggan untuk merokok dan minum-minum karena melihat saya”.
Pei menginginkan anak-anak tumbuh seperti apa adanya anak-anak. Jika di antara mereka ada yang nakal, ia berharap kenakalan mereka haruslah keren. Keren dalam arti mengesampingkan sifat-sifat buruk dan beralih kepada sifat-sifat yang berkesan di mata orang lain. “Selagi mereka masih anak-anak, kita harus mengarahkannya ke cara hidup yang baik dan hal itu tidak susah seperti menasehati remaja.”
Sosok Pei menjadi inspirasi bagi anak-anak yang bermain di Neverlands. Salah satunya adalah Rifki yang biasa dipanggil Iki. Iki mengaku selalu diajarkan oleh Pei bagaimana nakal yang keren. Ia juga menganggap Pei sebagai salah satu sahabat. Ia menganggap Pei sebagai seseorang yang dapat dipercaya karena bisa menjadi pendengar yang baik.
Banyak yang tidak terlalu tanggap tentang eksistensi dari taman bermain Neverlands ini. Masyarakat sekitar Neverlands hanya sebatas mengetahui jika tempat itu memang tempat bermain tanpa tahu alasan mengapa tempat itu berdiri. Oba, salah satu bocah yang biasa bermain di Neverlands juga mengaku bahwa orang tuanya tidak pernah menanyakan rutinitasnya bermain disitu. Menurut orang tuanya, Neverlands hanya taman bermain biasa seperti taman kanak-kanak. Meskipun dilengkapi dengan fasilitas yang bisa dibilang berbeda dari TK, Neverlands tidak terlalu mendapatkan perhatian dari orang tua sang anak.
Meskipun begitu, Pei tetap menjalan misinya tersebut. Ia tetap menyuarakan misinya kepada seluruh orang tua agar tidak harus berlaku seperti orang dewasa. Pei memosisikan dirinya sebagai orang yang lebih tua daripada anak-anak yang bermain di Neverlands dan mencoba menghargai apa yang dilakukan oleh mereka. Pei bisa dikatakan sebagai orang yang bermuka dua. Meskipun ia tidak menyukai apa yang anak-anak inginkan, namun ia mencoba untuk menghargai dan mencoba untuk memahami pikiran mereka. Dengan begitu, misi Pei untuk menjaga rasa kekanak-kanakan pada orang dewasa atau orang tua bisa tercapai dalam kampanye Never Grow Up, dalam taman bermain Neverlands.
***
Bisnis: Memulai Dari Roda Yang Paling Bawah
“Orang nakal juga bisa sukses”, begitulah ucapan Pei mengenai kisah hidupnya yang saat ini menjadi seorang enterpreneur. Ia mengalami begitu banyak halang rintang dalam meniti usahanya. Usaha yang ia jalani beragam dimulai dari bisnis clothing, retail hingga sablon. Dan untuk menjalani usahanya tersebut, kisah Pei dimulai dari titik nol.
Perjalanan karir Pei di dunia bisnis masih berhubungan dengan masa kecilnya. Setelah beberapa saat menetap dengan keluarga tirinya di Jerman, akhirnya Pei kembali ke Indonesia dan tinggal satu atap dengan neneknya. Ternyata, nenek Pei membuka usaha konveksi rumahan. Dari situ, ia belajar banyak mengenai teknik-teknik produksi konveksi hingga pemasarannya.
Selama tinggal di rumah neneknya, Pei cenderung berkumpul bersama pegawai-pegawai di belakang atau di tempat mereka memroduksi konveksi daripada menonton acara televisi bersama keluarganya. Hal itulah yang membuat Pei bisa mandiri dalam mengerjakan bisnisnya bersama sang istri, Ashya. Bersama sang istri, Pei membagi perjalanan bisnisnya kepada sang istri tanpa dukungan dari orang tua mereka masing-masing.
Bisnis pertama yang digeluti oleh Pei dan istri adalah usaha clothing. Sekitar tahun 2001, usaha distro di Bandung cukup minim dan hal ini merupakan peluang bagi dirinya untuk menjajal bisnis tersebut. Bisnis yang ia jalani waktu itu hanya bermodal 125 ribu rupiah. Dengan uang segitu, ia hanya memroduksi kaos metal yang sedang tren di kalangan anak muda jaman itu. Latar belakang Pei yang gemar dengan aliran musik kultur Barat itu membuatnya mampu membaca pasar. Akhirnya untuk menguatkan usaha clothing yang ia bangun tersebut, ia meminjam sejumlah uang di bank sebesar lima juta rupiah.
Dari hutang tersebut, Pei bersama istrinya hidup secara sederhana. Cicilan hutang sebesar lima juta rupiah harus diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun selama tahun 2001. Tak pelak, Pei dan istrinya sering kali menyantap makanan sepiring berdua. Saat hutang mereka telah lunas, mereka bisa bernapas lega dan bisa menyantap makanan dengan piring yang terpisah.
Ashya pun dengan sabar menemani Pei dalam merintis usahanya. “Saya yakin dengan keteguhan hatinya, oleh karena itu saya terus menemaninya hingga saat ini,” ucap Ashya yang menilai tekad suaminya dalam menjalani dunia bisnis. Ia pun tidak sungkan untuk makan sepiring berdua di masa-masa awal pembangunan usaha Pei. Ia mengaku hal itulah yang menjadikan hidupnya berwarna dalam mengarungi mahligai rumah tangga dengan Pei.
Usaha yang dijajal oleh Pei bersama Ashya kemudian mulai melebarkan sayap ke arah sablon dan retail pada tahun 2004. Usaha inilah yang membuat Pei menjadi salah satu produsen sablon berkualitas di Bandung. Konsumen yang mendatanginya berdatangan dari berbagai lapisan seperti rumah distro 347, Bikers Brotherhood, Tommy Soeharto dan lain-lain. Keuntungan yang ia dapat lebih besar ia dapatkan dari bisnis retail dibandingkan sablon. Keuntungan yang ia dapatkan melalui bisnis retail mencapai 30 hingga 50 juta dibandingkan dengan bisnis sablon yang hanya beberapa persen dari harga yang ditawarkan. Pada tahun 2007, Pei membuka usaha clothing kembali dengan nama Parental Advisory Baby Clothing.
Pei juga seorang enterpreneur yang membuka rumah plastisol (elemen pembuat screen printing) pertama di Indonesia. “Saya adalah orang pertama di Indonesia yang membuat sablon plastisol dengan mesin yang saya buat sendiri”, seru Pei yang bangga menjadi putra Indonesia. Ia pernah dicibir oleh beberapa orang asing karena dianggap primitif. “Saya ini bukan primitif tapi mencoba berbeda dari yang lain”, kembali Pei mengatakan dengan muka berseri karena mampu menyaingi usaha konveksi garment.
Kesuksesan kini ia telah ia raih dengan segala usahanya. Satu hal yang membuat Pei sukses adalah hutang. “Sebenarnya hutang dalam bisnis itu mendidik agar kita menjadi disiplin dan dapat menjaga kepercayaan.” Selain hutang, satu lagi yang ia masih kedepankan adalah omongan atau janji. Pei sadar betul bahwa omongan yang konsisten bisa menjaga kepercayaan pelanggan. “Arti dari sebuah kata adalah yang paling penting dari dunia bisnis”, tegas Pei yang selalu mengutamakan kata-kata sebagai pegangan.
Ia tidak pernah menjanjikan akan membuat produk yang berkualitas jika memang Pei tidak bisa melakukannya. Kejujuran dalam omongan adalah kunci utama dalam dunia bisnis. Modal bukanlah hal yang terpenting bagi Pei. Dengan omongan atau janji yang konsisten bakal membuat seseorang memiliki karakter. Hebatnya, Pei memegang teguh karakter yang ia miliki hingga saat ini. “Karakter itu bisa menghasilkan modal dan tidak sebaliknya”, ucap Pei yang membangun bisnis dengan modal yang tidak banyak.
Semangat Punk juga menjadi salah satu pegangan bagi laki-laki ini. Baginya, semangat Punk itu adalah memilih hidup sulit namun memiliki kebebasan. “Punk itu ada di hati, Punk itu adalah ketika saya memilih hidup yang susah tapi masih bisa menggenggam kebebasan yang absolut, dan bisnis bukanlah hal yang ringan,” tegas Pei yang menganggap dirinya tidak cengeng dalam menjalani pilihan hidup. Ia juga menggambarkan semangat Punk tersebut ke dalam kehidupan yang bukan sekedar lewat, bukan sekedar bekerja lalu menerima gaji.
Ternyata, laki-laki yang pernah berkuliah di NHI dan Unpad ini tidak dengan kepala kosong dalam membangun usahanya. Ia juga menerapkan metode 5M dalam membangun fondasi usahanya. Metode 5M itu terdiri dari Man, Method, Machine, Money, dan Material. Pei menekankan bahwa dalam pengembangan usahanya, ia tidak terlalu mementingkan unsur money atau uang. Baginya, tanpa uang pun usahanya masih bisa berkembang.
Pei mengaku kalau dia adalah anak yang nakal semasa remaja. Namun berkat kenalakan, ia mendapatkan banyak teman dan networking. Kelebihan menjadi anak yang nakal ternyata membantunya dalam mengembangkan usahanya. Kini, yang terpenting dari usahanya adalah ia bisa berderma dalam menyalurkan jiwa sosialnya kepada anak-anak dan mampu menghidupi beberapa kepala yang bekerja kepadanya. “Sukses dan bahagia itu relatif, yang terpenting bagi saya adalah bisa menghidupi orang lain dari bisnis saya ini,” ucap Pei memaknai arti kesuksesan dari usaha yang telah ia bangun sejak 2001.
Pei meyakini bahwa takdir tidak selamanya buruk bagi seseorang apalagi dengan kondisi kehidupannya yang berbeda dari orang lain. Berangkat dari filosofi tersebut, Pei mencoba merintis usahanya tersebut dari roda yang paling bawah. Akhir yang bahagia ketika kita melihat kehidupan Pei yang berkutat dalam dunia bisnis. “Saya memulai bisnis dari roda yang paling bawah dan terbukti dengan kegagalan yang pernah saya alami,” tegas Pei yang menatap pengalaman dirinya silam itu. Belajar dari kegagalan yang pernah hinggap dalam usahanya membangun bisnis, Pei akhirnya mengerti bagaimana menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Ketika semua berjalan sesuai alur,Nona Rosa bisa tersenyum. Dan ketika alur itu melangkah mundur, ia akan bernostalgia dengan dirinya yang selalu murung, selalu terbujur lemas tanpa daya gizi mengangkat gerak badannya dari empuknya kasur.
Rosa, nama seorang gadis yang memiliki lesung pipit begitu indah. Gigi calingnya mempermanis senyumnya, memperdaya sang adam dengan pingkalnya yang eksotis. Rosa bukan penari striptis, bukan pula jalang dengan senyum iblis. Ia adalah kembang dari dusun yang terletak di belakang gunung, diantara lebatnya pepohonan yang menjulang menutupi sinar matahari dari sela-sela ranting.
Namun, itu dirinya empat tahun yang lalu. Kini, ia berada di sebuah kota kosmopolitan yang penuh dengan gemerlap cahaya lampu jalan, penuh dengan sorot kendaraan. Tak bisa dipungkiri, Rosa dikalahkan dengan nominal. Ia hijrah ke kota dengan tujuan mencari lembaran dengan angka nol beruntun, untuk menghidupi dirinya dan keluarga di dusun. Namun, ia terjebak dalam siklus pencarian uang, terjebak dalam harum kembang yang menjadi lahan bagi pria hidung belang.
Selama empat tahun ia berjalan terhuyung, melihat dunia yang menyetirnya dari dusun sampai ke kota yang penuh biadab. Tak lagi ia mengenal pancasila yang mencantumkan istilah manusia yang adil dan beradab. Ia menjadi jalang di usianya yang terbilang muda. Habis daya, habis upaya, habis semua tata krama yang ia tuturkan sewaktu bangku sekolahan menghiasi hidupnya selama sembilan tahun.
Kini ia merindukan adanya tuhan, adanya malaikat yang segera menghakimi dirinya dengan kalimat-kalimat suci. Entah berapa lama lagi Rosa bertahan. Tangannya selalu tergandeng pria dengan setelan parlente ala kota kosmopolitan. Ia melacur dengan terpaksa, dengan tetesan airmata yang tiada habis ia peras setelah senggama. Tubuhnya yang aduhai telah terjamah, telah dijadikan remah-remah tangan setan yang tersenyum senang.
Ya tuhan, jika dirimu memiliki kendali, jadikan aku sebagai misilmu. Jadikan aku sebagai misil penghancur segala kenikmatan. Kalau perlu jadikan aku setan, jadikan aku jilat api yang membakar kelamin-kelamin para pria. Hilangkan kecantikanku, hilangkan payudaraku, hilangkan kelamin diantara selangkanganku. Aku memilih untuk tidak diberikan hidup jika diberi hidup untuk tidak bisa memilih.
I BREATH FOR PEACEFULL LIFE, BUT NOW, I BETTER OF FUCKIN DEAD. IM THE FLOWER IN THE MIDLE OF THOUSAND BEES.
aku ingin pulang, membawa dosa yang nantinya bercampur darah akibat pecutan parang orang tuaku, kepala dusun itu.
Pada akhirnya, Rosa bertemu dengan seorang laki-laki yang membawanya kembali ke hidup normal, bukan normal menjadi jalang tetapi normal menjadi wanita yang bermoral. Laki-laki itu, malaikat yang telah membawa kalimat suci yang pernah ia pinta di kehidupan suramnya.
Tuhan, ternyata kau tidak punya kendali. Aku pernah meminta untuk menjadi misil bagi kenikmatan dan kini, aku bersama kenikmatan tanpa gangguan. Aku meminta doa yang pernah ku suratkan padamu, tapi kau memberiku liku yang berharga untuk ditolak. Aku tunggu kendalimu jika memang kau berkehendak dan tidak ingin mati dalam doaku.