Dewasa kian meremajakan imajinasiku. Segala bentuk berontak telah siap kusempurnakan demi menjalani apa itu yang terlarang dan terumpatkan dari perintah orang tua.
Jangan sekali-sekali kau membuat malu ayah dan ibu, nak?
Memang kenapa yah?
Ayahmu adalah seorang pengacara dan ibumu adalah guru, jadi bersikaplah dengan baik agar mengindahkan citra ayah dan ibumu.
Tidak yah, aku sekarang sudah dewasa, sudah mampu mengendalikan mana itu kasih sayang dan egois.
Apa maksudmu?
Sudah sekian lama, hati dan pikiran ini memutar rekaman perintah-perintah seperti kaset lagu di dalam sebuah tape. Mungkin, sewaktu itu, aku masih berjalan ditempat, terlalu takut untuk mengatakan ‘tidak’. Baru kali ini, aku mulai memberanikan diri, meski gugup menemani bersama gemetar di sekujur tubuhku.
Ayah kembali menitahku untuk bersikap seolah bangsawan yang tanpa cacat. Ia menerapkan peraturan yang tidak bisa ku elak kan karena aku masih, anak kesayangannya.
Apakah ayah sayang kepadaku?
Tentu saja nak, coba jelaskan apa maksudmu?
Apakah aku lahir atas kasih sayang atau ada rencana lain?
Hah?
Ayahku terheran. Diam dan menungguku untuk berucap kembali. Namun, saat itu, aku ragu untuk menjelaskan perasaan yang seharusnya tidak kucakapkan kepada ayahku sendiri. Ia masih manunggu, berdiri di hadapanku, menatapku tajam. Aku tertunduk dengan topi yang mengenyahkan pandangan ayah ke bulatan mukaku. Aku berdoa dalam hati, ya Tuhan, jadikan apa yang baik itu menjadi kebaikan. Amin.
Andai saja, aku tidak bersikap baik bagaimana yah?
Jangan kau coba mengaku sebagai anak ayah.
Memang kenapa yah?
Seperti yang ku katakan tadi, hal itu bisa mencoreng nama baik keluarga kita.
Dan sebelum ku mulai, emosi sekian tahun menjadi seorang anak perlahan-lahan ku kumpulkan. Saat itu juga, aku menyerang ayahku dengan tatapan bagai seorang polisi kepada kriminil.
Satu hal yang harus ayah ketahui, Aku menginginkan terlahir dengan tujuan hasil dari benih kasih sayang kalian, bukan untuk rencana lain atau untuk hasrat egois kalian berdua..
Apa maks ..?
Sebentar, aku belum selesai. Tadi ayah berkata supaya jangan mencoreng nama baik keluarga kan? Memangnya aku ini apa? Anakmu atau alat untuk memperbaiki sebuah nama yang tidak nyata? Kau bisa menjawab pertanyaanku yah?
Asalkan kau tidak berlaku buruk, itu tak apa.
Oh ternyata ayah masih sama, EGOIS, tak paham maksudku. Ayah lihat apa yang hendak kulakukan nanti.
Aku merasa seperti robot buatan ayah dan ibuku sendiri. aku tidak melakukan apa itu yang salah, mungkin, karena itu pula, aku tidak pernah merasakan apa itu sesungguhnya benar yang sebenar-benarnya karena aku tidak melihat muka salah pada benarku. Dan untuk umurku yang beralih dewasa, ku makan semua pil pertanyaan yang ada sejak dulu. Kemudian, untuk keegoisan orang tua, aku berjalan di ruang gelap dimana tak seorang pun, melihatnya dengan mata. Aku tumbuh dan diajarkan hanya untuk membangun citra baik ayah dan ibu. Mereka menginginkanku sempurna, tak punya pilihan. Seperti hak yang telah terampas, aku mulai berkobar dengan airmata yang mungkin bakal ku teteskan.
dimas.
Jumat, 28 Agustus 2009
Kamis, 20 Agustus 2009
Sensasi Agustus Scriptamanologis
Dan agustus, merupakan bulan aneh seribu macam. Dari hampir pusat kisaran emosi, berawal dari bulan yang menunjukkan angka delapan. Aku adalah seorang manusia yang terbit dan tenggelam bersama matahari, bulan dan bintang.
Sepak terjang bulan yang lain seperti lapuk dengan ironi yang membasahi agustus yang sendu dan melankolis. Terlalu banyak klasikal romansa yang ku amati dan ku alami. Aku tersenyum, bersedih, tertawa, bermuram durja, hasil olahan mataku yang tak kunjung sempurna.
Sehari-hari, aku mengonsumsi berbagai macam cerita yang berkutub-kutub. Tak memautkan antara satu dan yang lain. Agustus. Mengapa menjadi bersayap? Terus hinggap kesana dan kemari. Banyak ujian, bercengkerama dengan nasib-nasib yang tak terbayangkan dan ku enyahkan dari mimpiku sebagai seorang bocah yang memiliki banyak cerita.
Sepak terjang bulan yang lain seperti lapuk dengan ironi yang membasahi agustus yang sendu dan melankolis. Terlalu banyak klasikal romansa yang ku amati dan ku alami. Aku tersenyum, bersedih, tertawa, bermuram durja, hasil olahan mataku yang tak kunjung sempurna.
Sehari-hari, aku mengonsumsi berbagai macam cerita yang berkutub-kutub. Tak memautkan antara satu dan yang lain. Agustus. Mengapa menjadi bersayap? Terus hinggap kesana dan kemari. Banyak ujian, bercengkerama dengan nasib-nasib yang tak terbayangkan dan ku enyahkan dari mimpiku sebagai seorang bocah yang memiliki banyak cerita.
Shakespeare, Bung Karno, dan Ramadhan berkumpul dalam bulan berwarna biru, dalam pandanganku. Dan setiap rasa yang ku lacurkan, tidak berbahasa baku. Bahasa indonesia, kuperdayakan dirinya menggambari bulan kecumbu. Bulan hasrat dan seonggok rupa-rupa kenangan.
Salam sayang sebagai seorang anak, teman, dan pacar. Setiap pergantian bulan, menyisakan memori yang terkadang membuat bibir ini melebar dan sesaat, membuat kerutan tajam pertanda tidak senang. Dan jalani, setiap keadilan yang bersaksi, karena pelanggaran akan terus teruji. Sensasi agustus, alur pendewasaan menjadi kekal dan sempurna meski hanya, sedikit saja.
Salam sayang sebagai seorang anak, teman, dan pacar. Setiap pergantian bulan, menyisakan memori yang terkadang membuat bibir ini melebar dan sesaat, membuat kerutan tajam pertanda tidak senang. Dan jalani, setiap keadilan yang bersaksi, karena pelanggaran akan terus teruji. Sensasi agustus, alur pendewasaan menjadi kekal dan sempurna meski hanya, sedikit saja.
Senin, 10 Agustus 2009
Proklamasi, Hingar Bingar Emosi Yang Terlupakan
Proklamasi. Secarik kertas yang kemudian Bung Karno bacakan bait demi bait. Emosi, kemenangan tertunda sekian lama akhirnya tercurah dari sebongkah liang jajah negara lain. Mereka memiliki rasa persatuan, sebuah bibit dimana kita hanya memilikinya dalam kelompok-kelompok kecil, sekarang. Yang satu ingin memisah, yang besar lainnya ingin mempertahankan. Andil menjadi sinyal kuat membentuk pasukan kemanusiaan yang berusaha nyaman dan menuntut kebenaran dari orang seorang.
Saat ini, ketika fajar mulai menyiratkan hari baru, semua berbeda. Hanya upacara dan pengibaran bendera hadir tertera dimana saja. Akhirnya, hanya canda, dan sejarah kandas seperti paus yang terguling di pesisir pantai.
Andai saja aku hidup dalam 1945, mungkin terasa berbeda, airmata yang menetes akan kemerdekaan dan airmata yang menetes akan percintaan“Mari kita mengenang para arwah para pejuang indonesia”, begitulah ucapan petinggi bangsa ini seraya menuntun guru-guru secara tidak langsung untuk mengikuti hal yang sama. Aku ingin tahu bagaimana itu terjajah, bukan cinta, tapi darah yang kupertaruhkan untuk kumenangkan. Karena mereka, pejuang Indonesia, lebih beruntung dibandingkan kita semua.
Aku akan merasa lebih terhormat andaikan hidup dengan dentum bom mengiang di telingaku dan bunyi tar tar dari selongsong timah panas mendengung serta mengikat kacu merah putih di kepala ini. “Untuk melanjutkan kemerdekaan para pejuang cara yang paling tepat adalah belajar”. Tidak begitu pun adanya. Berbeda konteks dan situasi waktu. Dan pastinya, logika ku lebih memilih melawan kaum kompeni dan nippon daripada melawan diriku sendiri. Karena malas dan arogan adalah diriku, dan musuh besar seluruh umat manusia adalah dirinya sendiri.
Hanya sesampaian rekaman pidato dari Bung Karno dan perlombaan yang bersuka cita, hegemoni massa meluap tanpa rasa menang dan kalah bertumpah darah. Terima kasih pahlawan, aku iri kepadamu, selalu. Proklamasi, hingar bingar emosi yang terlupakan dan menangis tersedu sedan.
Saat ini, ketika fajar mulai menyiratkan hari baru, semua berbeda. Hanya upacara dan pengibaran bendera hadir tertera dimana saja. Akhirnya, hanya canda, dan sejarah kandas seperti paus yang terguling di pesisir pantai.
Andai saja aku hidup dalam 1945, mungkin terasa berbeda, airmata yang menetes akan kemerdekaan dan airmata yang menetes akan percintaan“Mari kita mengenang para arwah para pejuang indonesia”, begitulah ucapan petinggi bangsa ini seraya menuntun guru-guru secara tidak langsung untuk mengikuti hal yang sama. Aku ingin tahu bagaimana itu terjajah, bukan cinta, tapi darah yang kupertaruhkan untuk kumenangkan. Karena mereka, pejuang Indonesia, lebih beruntung dibandingkan kita semua.
Aku akan merasa lebih terhormat andaikan hidup dengan dentum bom mengiang di telingaku dan bunyi tar tar dari selongsong timah panas mendengung serta mengikat kacu merah putih di kepala ini. “Untuk melanjutkan kemerdekaan para pejuang cara yang paling tepat adalah belajar”. Tidak begitu pun adanya. Berbeda konteks dan situasi waktu. Dan pastinya, logika ku lebih memilih melawan kaum kompeni dan nippon daripada melawan diriku sendiri. Karena malas dan arogan adalah diriku, dan musuh besar seluruh umat manusia adalah dirinya sendiri.
Hanya sesampaian rekaman pidato dari Bung Karno dan perlombaan yang bersuka cita, hegemoni massa meluap tanpa rasa menang dan kalah bertumpah darah. Terima kasih pahlawan, aku iri kepadamu, selalu. Proklamasi, hingar bingar emosi yang terlupakan dan menangis tersedu sedan.
Dangdut Ku Sambangi, Kasih Termodernisasi
Mamih, kau kampungan. Begitu anakku memanggilku, manja dirinya menyobek hatiku, nasibku salah di kata-katanya. Aku berusaha mencari nafkah dari suara, meski mendayu, meski melenggok pinggulku terkayuh.
Aku malu mih!!! Kenapa harus dangdut? Tanya Kasih, anakku satu-satunya. Dulu, sewaktu ia balita sambil merengek pertanda haus, ia tak pernah tahu kurawat dari susu hasil menyengkok nada. Panggung itu, sebuah mata dunia dalam kisahku, Kasih. Dari ujung panggung, semua kupijaki demi uang, membesarkan anak kita, suamiku sayang.
Sepeninggalmu, aku kacau. Rautku tak tahan lagi menyembunyikan kerut pelipis yang makin hari semakin runcing, tajam. Akhirnya, sedih kujatuhkan bersama air mata ini. Ia terus menyibirku tiada henti dalam prasangka buruk seorang biduan dalam modern tingkahnya. Entah, apakah aku bisa menahan ini lebih lama lagi.
Berhentilah menyanyi dangdut mih!!! Aku muak ..
Kasih!!! Cukup ..
Tidak mih, aku tidak ingin dilecehkan oleh teman-temanku hanya karena mamihku adalah seorang penyanyi dangdut ..
Dan emosiku tertelan lewat ludah. Kasihku beranjak dewasa dengan segala kesempurnaan yang harus siap sedia bersanding dengannya. Aku pun kosong, ingin ku apakan anakku ini. Mataku mulai mengerut, grahamku mulai bertabrakan membentuk bunyi keletuk. Saat itu, aku coba mengutarakan profesiku atas ego nya.
Apa yang salah dengan dangdut, bisakah kau jawab?
Dangdut itu norak, kampungan, apakah mamih bisa paham? Dari sekian banyak lagu, mengapa mamih memilih dangdut? Kenapa? Kenapa?
Kau seharusnya malu nak, ibu memilih dangdut karena sedari dulu, jenis dangdut menjadi identitas bangsa kita. Dan saat ini, kau menghinaku, sumpah demi Tuhan kau tak benar adanya? Kau adalah karuniaku. Ibu tak mau kau tumbuh dengan hinaan dimulutmu itu menjadi paten.
Aku masih memegang teguh, dangdut adalah aku. Dangdut adalah indonesia. Untuk apa bersusah payah mencintai irama bangsa lain sementara aku, biduan, merasa terasingi karena mereka. Aku hidup penuh dengan cerca, aku menerima. Dan aku tak terima, akar musik bangsa ini dihina oleh anakku sendiri, yang lahir dari rahim seorang Indonesia.
Dangdut. Satu budaya, satu karya, dan mereka seolah enggan untuk mengakuinya. Beberapa mungkin sehat akan budaya, namun yang lainnya mungkin juga sakit. Musik seperti pop, rock, punk, jazz, dan sebagainya memang indah tetapi bukan kita, bukan ibu pertiwi. Detik ini, dangdut masih bernapas menghiasi muka kelas tengah rada ke bawah, tidak kita, apakah kamu mau mengakui? Dan seperti semua, merasa menjadi kelas atas dan kelakuan tiap desakan zaman setipe menghina, menjerumuskan selayak bangsat, dibuang dengan alih-alih MODERN.
Aku malu mih!!! Kenapa harus dangdut? Tanya Kasih, anakku satu-satunya. Dulu, sewaktu ia balita sambil merengek pertanda haus, ia tak pernah tahu kurawat dari susu hasil menyengkok nada. Panggung itu, sebuah mata dunia dalam kisahku, Kasih. Dari ujung panggung, semua kupijaki demi uang, membesarkan anak kita, suamiku sayang.
Sepeninggalmu, aku kacau. Rautku tak tahan lagi menyembunyikan kerut pelipis yang makin hari semakin runcing, tajam. Akhirnya, sedih kujatuhkan bersama air mata ini. Ia terus menyibirku tiada henti dalam prasangka buruk seorang biduan dalam modern tingkahnya. Entah, apakah aku bisa menahan ini lebih lama lagi.
Berhentilah menyanyi dangdut mih!!! Aku muak ..
Kasih!!! Cukup ..
Tidak mih, aku tidak ingin dilecehkan oleh teman-temanku hanya karena mamihku adalah seorang penyanyi dangdut ..
Dan emosiku tertelan lewat ludah. Kasihku beranjak dewasa dengan segala kesempurnaan yang harus siap sedia bersanding dengannya. Aku pun kosong, ingin ku apakan anakku ini. Mataku mulai mengerut, grahamku mulai bertabrakan membentuk bunyi keletuk. Saat itu, aku coba mengutarakan profesiku atas ego nya.
Apa yang salah dengan dangdut, bisakah kau jawab?
Dangdut itu norak, kampungan, apakah mamih bisa paham? Dari sekian banyak lagu, mengapa mamih memilih dangdut? Kenapa? Kenapa?
Kau seharusnya malu nak, ibu memilih dangdut karena sedari dulu, jenis dangdut menjadi identitas bangsa kita. Dan saat ini, kau menghinaku, sumpah demi Tuhan kau tak benar adanya? Kau adalah karuniaku. Ibu tak mau kau tumbuh dengan hinaan dimulutmu itu menjadi paten.
Aku masih memegang teguh, dangdut adalah aku. Dangdut adalah indonesia. Untuk apa bersusah payah mencintai irama bangsa lain sementara aku, biduan, merasa terasingi karena mereka. Aku hidup penuh dengan cerca, aku menerima. Dan aku tak terima, akar musik bangsa ini dihina oleh anakku sendiri, yang lahir dari rahim seorang Indonesia.
Dangdut. Satu budaya, satu karya, dan mereka seolah enggan untuk mengakuinya. Beberapa mungkin sehat akan budaya, namun yang lainnya mungkin juga sakit. Musik seperti pop, rock, punk, jazz, dan sebagainya memang indah tetapi bukan kita, bukan ibu pertiwi. Detik ini, dangdut masih bernapas menghiasi muka kelas tengah rada ke bawah, tidak kita, apakah kamu mau mengakui? Dan seperti semua, merasa menjadi kelas atas dan kelakuan tiap desakan zaman setipe menghina, menjerumuskan selayak bangsat, dibuang dengan alih-alih MODERN.
Langganan:
Postingan (Atom)